Pemda DIY akan memfasilitasi rekonsiliasi terkait kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul. Meski begitu, investigasi terkait kasus tersebut tetap berjalan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Suasana gerbang depan SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (8/8/2022). Selama beberapa hari terakhir, sekolah tersebut menjadi bahan perbincangan karena adanya dugaan pemaksaan pemakaian jilbab yang dilakukan guru kepada seorang siswi.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta akan memfasilitasi rekonsiliasi terkait kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul. Dalam rekonsiliasi itu, orangtua siswi yang diduga dipaksa memakai jilbab akan dipertemukan dengan kepala sekolah dan guru. Meski begitu, investigasi terkait kasus tersebut tetap berjalan.
”Rekonsiliasi antara sekolah dan guru dengan orangtua, mudah-mudahan dengan siswinya juga kalau memungkinkan, akan kita lakukan secepatnya. Minggu ini harus kita lakukan,” ujar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) DIY Didik Wardaya, Selasa (9/8/2022), di Yogyakarta.
Sebelumnya diberitakan, seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan diduga dipaksa memakai jilbab oleh gurunya. Pada Juli lalu, siswi kelas sepuluh itu sempat dipanggil oleh beberapa guru lalu ditanyai kenapa tidak memakai jilbab. Siswi tersebut juga sempat dipakaikan jilbab oleh gurunya. Setelah peristiwa itu, sang siswi disebut merasa tertekan dan sempat mengurung diri di kamar selama beberapa hari.
Kasus itu kemudian dilaporkan ke sejumlah pihak, termasuk ke Dinas Dikpora DIY dan Ombudsman DIY. Pada 4 Agustus lalu, Dinas Dikpora DIY memutuskan untuk membebastugaskan sementara kepala sekolah dan tiga guru SMAN 1 Banguntapan. Pembebastugasan itu dilakukan agar mereka bisa fokus dan konsentrasi menjalani proses pemeriksaan dan klarifikasi yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Pelajar mengikuti pelatihan untuk menjadi anggota Paskibraka DI Yogyakarta di Pondok Pemuda Ambarbinangun, Kecamatan Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (2/8/2022).
Didik menyatakan, proses rekonsiliasi terkait kasus dugaan pemaksaan jilbab itu akan difasilitasi oleh Dinas Dikpora DIY serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY. Dengan rekonsiliasi itu, diharapkan kasus tersebut tidak terus menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
”Rekonsiliasi itu kan kesadaran dari masing-masing. Kalau apa yang dilakukan itu keliru, ya, mungkin saling bermaafan saya kira lebih bagus. Harapan dari rekonsiliasi, mudah-mudahan kasus ini segera reda,” ujar Didik.
Siswi tersebut juga sempat dipakaikan jilbab oleh gurunya. Setelah peristiwa itu, sang siswi disebut merasa tertekan dan sempat mengurung diri di kamar selama beberapa hari.
Meski proses rekonsiliasi akan dilakukan, investigasi terkait kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab itu tetap dilanjutkan. Didik menyebut, hingga saat ini, Dinas Dikpora DIY masih mendalami kasus tersebut untuk membuktikan apakah ada unsur pemaksaan yang dilakukan oleh guru atau tidak.
”Ini masih kita dalami semuanya. Nanti pada saatnya setelah ini akan kita sampaikan. Keterangan dari guru, kemudian juga dari psikolog yang mendalami, tentunya itu harus di-cross check. Saya belum bisa mengatakan apakah ini dipaksa atau sukarela,” tutur Didik.
Seorang jurnalis mengambil gambar karangan bunga yang diletakkan di halaman SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (8/8/2022). Beberapa karangan bunga itu dikirimkan setelah viralnya kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab yang dilakukan guru kepada seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan.
Kebebasan memilih
Didik menambahkan, sesuai regulasi yang berlaku, siswi di sekolah negeri memiliki kebebasan untuk memilih akan memakai seragam dengan model baju muslimah atau seragam dengan model reguler. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam Permendikbud itu disebutkan, pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya. Oleh karena itu, tidak boleh ada pemaksaan untuk mengenakan pakaian seragam dengan model baju muslimah, termasuk jilbab, di sekolah negeri.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, jika benar ada guru SMAN 1 Banguntapan memaksa siswinya untuk memakai jilbab, hal itu merupakan pelanggaran terhadap Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014. Oleh karena itu, apabila pelanggaran tersebut terbukti, guru harus tersebut mendapat sanksi sesuai aturan yang berlaku.
”Kalau memang ada unsur pemaksaan, itu bertentangan dengan bunyi peraturan menteri. Karena guru-guru dan kepala sekolah itu adalah pegawai negeri sipil (PNS),” ujar Sultan yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.
Salah seorang siswa non-Muslim (kanan) berinteraksi dengan temannya saat proses pembelajaran tatap muka di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai hari itu, siswa perempuan non-Muslim di sekolah ini mulai tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah.
Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala SMAN 1 Banguntapan Agung Istianto membantah adanya pemaksaan untuk memakai jilbab di sekolah tersebut. Dia menyebut, tidak ada kewajiban untuk mengenakan jilbab di SMAN 1 Banguntapan.
”Pada intinya, sekolah kami tidak seperti yang ada di pemberitaan. Jadi, sekolah kami tetap tidak mewajibkan yang namanya jilbab,” ujar Agung.
Agung mengakui, memang ada guru bimbingan konseling (BK) yang memakaikan jilbab ke seorang siswi. Namun, dia mengklaim, tindakan itu bukan bentuk pemaksaan, tetapi untuk mengajarkan tutorial atau cara memakai jilbab. ”Itu hanya tutorial. Ketika itu ditanya siswinya pernah memakai jilbab ndak. Ternyata belum,” katanya.
Menurut Agung, sebelum memakaikan jilbab, guru tersebut sudah bertanya lebih dulu ke sang siswi. Dia menyebut, siswi itu juga setuju untuk dipakaikan jilbab. Setelah mendapat persetujuan sang siswi, guru BK lalu mencari jilbab yang ada di ruangannya. Jilbab itulah yang kemudian dipakaikan kepada siswi tersebut.
”Artinya, memang ada komunikasi antara guru BK dan siswinya. Dan siswinya mengangguk (tanda setuju),” kata Agung.