Ratusan tahun tinggal di daerah terpencil di tengah hutan Tapanuli, warga Pasir Naulit di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, hidup mandiri dari hasil kemenyan. Hutan yang jadi harta dan sumber kehidupan warga dijaga.
Oleh
NIKSON SINAGA
·7 menit baca
Sejumlah warga Dusun Pasir Nauli baru saja pulang dari hutan Tapanuli, Rabu (27/7/2022) sore. Wangi kemenyan menyeruak dari bakul-bakul yang mereka bawa. Saat matahari mulai terbenam, warga bergegas membuka aliran air sungai untuk memutar turbin pembangkit listrik. Sementara sebagian kaum ibu sibuk menumbuk padi yang baru kering dengan lesung tenaga air.
Dusun Pasir Nauli adalah daerah terpencil di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Dusun itu berada di tengah hutan Tapanuli yang merupakan bagian dari Ekosistem Batang Toru. Ratusan tahun, warga turun-temurun mendiami dusun itu. Mereka hidup mandiri dari hasil hutan dan menjaga kelestarian alam.
Berada sekitar 320 kilometer di selatan Kota Medan dan sekitar 50 kilometer dari kota Tarutung, ibu kota Tapanuli Utara, tidak mudah menjangkau dusun itu. Mobil dan sepeda motor biasa hanya bisa sampai ke pusat desa di Simardangiang. Dari sana harus berjalan kaki dua jam menyusuri hutan Tapanuli agar sampai ke Dusun Pasir Nauli.
Hanya sepeda motor yang sudah dimodifikasi yang bisa melintasi jalan sepanjang delapan kilometer itu. Ban sepeda motor itu harus dililit rantai dan gir depan diperkecil untuk mendapat tenaga lebih besar.
”Sudah 77 tahun Indonesia Merdeka, kami warga Pasir Nauli belum sepenuhnya menikmati layanan pemerintah. Tak ada akses jalan memadai ke dusun kami, tak ada listrik PLN, layanan kesehatan, dan sekolah. Kami berusaha mandiri dan tidak pernah mengeluh,” kata Usman Sitompul (52), warga Pasir Nauli.
Sinyal telepon seluler pun hanya didapat di titik-titik tertentu dan hampir tidak bisa mengakses data seluler. Namun, hal itu tak terlalu merisaukan warga yang terbiasa hidup mandiri dari hasil hutan.
Usman mengisahkan bagaimana moyang mereka membangun permukiman dan sawah di area yang datar di dekat sungai di antara bukit-bukit yang menjulang tinggi. Kebun kemenyan mereka berada di bukit sekelilingnya. ”Sudah ratusan tahun moyang kami membuka (permukiman) dusun ini,” kata Usman.
Hari itu Usman sibuk membersihkan dan menyortir getah kemenyan untuk dijual ke pasar di pusat desa setiap Jumat. Hasil kemenyan memang menjadi fondasi utama ekonomi warga di Pasir Nauli, juga Desa Simardangiang. secara keseluruhan. Semua keluarga punya kebun kemenyan di desa itu.
Setiap pekan, warga bisa menjual sekitar lima kilogram getah kemenyan jenis tahir (kualitas kedua) dengan harga Rp 150.000 per kilogram. Mereka akan memanen kemenyan jenis silukkapi dan mata (kualitas nomor satu) yang harganya sekitar Rp 300.000 per kilogram setiap akhir tahun. Setiap keluarga umumnya bisa menjual 50-100 kilogram saat panen raya akhir tahun.
Hasil penjualan kemenyan digunakan untuk membayar uang sekolah, uang kuliah anak di luar daerah, hingga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sandang, pangan dan papan. Utang-utang sepanjang tahun pun akan dibayar di akhir tahun.
Mandiri energi dan pangan
Dusun Pasir Nauli tergolong mandiri secara energi. Mereka membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro berkapasitas 4.000 watt, memanfaatkan aliran Sungai Parihanan. Tenaga listrik itu menyalakan lampu di 12 rumah warga.
Warga secara bergantian juga bisa menghidupkan televisi, radio, dan pemutar musik. Mereka hanya perlu membayar Rp 15.000 per bulan untuk perawatan turbin, khususnya untuk mengganti tali kipas yang menghubungkan turbin dengan dinamo.
”Selama setahun terakhir, kami bahkan tidak mengutip iuran karena uang kas masih cukup untuk perawatan,” kata Usman.
Turbin dioperasikan hanya malam hingga menjelang pagi agar dinamo dan tali kipas awet. ”Kecuali kalau ada acara penting seperti pemilihan presiden, Piala Dunia, atau jika ada atlet Indonesia bertanding di Olimpiade. Kami akan tetap hidupkan turbin agar bisa menonton televisi atau mendengar radio,” kata Usman.
Ada pula warga yang punya pembangkit listrik tenaga surya yang dibangun mandiri. Dengan keberadaan tenaga surya, warga itu bisa menikmati listrik di siang hari untuk menonton televisi atau sekadar mendengar musik.
Untuk urusan menumbuk padi pun warga dusun juga memanfaatkan lesung tenaga air. Ada tiga lesung yang beroperasi di dusun itu.
Keberadaan lesung sangat berarti untuk mengolah padi yang dihasilkan dari hamparan sawah di sana. Ini menjadi bagian dari kemandirian pangan masyarakat di sana.
Dalam mengolah sawah, warga bergotong royong. Sawah di sana juga tidak bisa diperjualbelikan dan hanya bisa diusahakan oleh mereka yang tinggal di desa. Sayur-sayuran pun ditanam di pekarangan dekat rumah.
Untuk urusan lauk-pauk, warga tinggal mencari ikan di Sungai Parihanan. Seperti halnya Hendri Sitompul (26), warga Pasir Nauli, yang hari itu sibuk mencari ikan di sela-sela batu. Ikan yang terlalu kecil atau yang diketahui bertelur dikembalikan ke sungai.
Selain dari sungai, warga juga membuat kolam ikan. Mereka juga membeli ikan laut dan ikan asin setiap pekan setelah menjual kemenyan.
Keselarasan hidup dengan alam juga tampak dari bagaimana warga menjaga kelestarian orangutan Tapanuli, satwa kunci hutan Sumatera yang dinyatakan sebagai spesies baru pada 2017. Jika bertemu orangutan, mereka hanya akan menyebut kepada orangutan untuk tidak saling mengganggu dan agar mencari makan bersama dari hutan.
Keterbatasan
Di tengah kemandiriannya, warga Pasir Nauli tentu mengalami sejumlah keterbatasan karena berada di dusun yang hampir tidak terjamah pembangunan pemerintah. Mereka kesulitan menjual hasil bumi dan membeli kebutuhan pokok karena keterbatasan akses jalan. Selain itu, mereka juga terisolasi karena keterbatasan akses informasi dan telekomunikasi.
”Layanan kesehatan dan pendidikan juga sangat sulit kami dapat,” kata Usman.
Pernah suatu ketika, seorang ibu terluka telapak tangannya karena terkena parang saat mencari kayu bakar. Upaya memberi pertolongan dilakukan Hendri dengan menelepon petugas kesehatan di pusat desa. Namun, untuk bisa menelepon, ia harus pergi ke tempat yang cukup jauh dan agak tinggi untuk mencari sinyal. Saat panggilan telepon tersambung, ternyata petugas kesehatan itu mesti dijemput.
Hendri lantas memacu sepeda motornya untuk menjemput petugas kesehatan. Setelah hampir dua jam, petugas itu pun tiba di Pasir Nauli. Ibu yang terluka sudah sangat lemas karena pendarahan yang tak berhenti. Lukanya pun langsung dijahit dan ditangani.
Kondisi darurat untuk mendapatkan layanan kesehatan memang cukup merisaukan warga. Seperti halnya Usman yang kehilangan istrinya 20 tahun lalu karena tidak bisa mendapat pertolongan setelah digigit ular. Sering juga warga harus menandu ibu melahirkan berjam-jam agar persalinannya bisa ditangani di fasilitas kesehatan.
Anak-anak mereka juga tidak bisa bersekolah di dusunnya. Anak yang masih duduk di bangku SD harus berpisah dari orangtuanya agar bisa bersekolah di pusat desa atau tempat lain. Mereka hanya bertemu saat libur akhir semester.
Urusan akses jalan juga menjadi salah satu yang paling sulit di Pasir Nauli. Untuk menjual kemenyan ke pusat desa, mereka mesti melilitkan rantai pada ban sepeda motor agar bisa melewati jalan tanah yang terjal dan sebagian berlumpur.
Selama ratusan tahun, jalan ke dusun itu merupakan jalan yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Sekitar tahun 2016, jalan setapak diperlebar untuk persiapan pengerasan dan pembangunan jalan program Tentara Manunggal Masuk Desa yang dilaksanakan Kodim 0210/Tapanuli Utara.
Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul berharap pembangunan bisa merata hingga ke Pasir Nauli. ”Pembangunan yang paling penting di Pasir Nauli adalah pembukaan akses jalan dan membangun jaringan listrik PLN," kata Tampan.
Saat musim hujan, kata Tampan, sepeda motor pun hampir tidak bisa melintasi jalan yang ada saat ini. Warga pun harus berjalan kaki dua jam memanggul hasil bumi ke pusat desa atau untuk berbelanja kebutuhan.
Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan menyebut, pembangunan desa tertinggal merupakan prioritasnya. Pasir Nauli pun menjadi salah satu dusun yang akan dibangun secara bertahap. ”Saya sudah pernah tidur di rumah warga di Pasar Nauli untuk merasakan langsung kehidupan warga di desa terpencil,” kata Nikson.
Pembukaan akses jalan menjadi menjadi salah satu prioritasnya. Pemkab Tapanuli Utara juga sudah membangun jalan beton sekitar dua kilometer dari pusat desa ke Pasir Nauli. Sekitar enam kilometer lainnya akan dibangun secara bertahap. Selain itu, PLN akan membangun jaringan listrik, seiring dengan pembukaan jalan.
Hidup selaras dengan alam yang membuat warga Pasir Nauli mampu berdikari dalam memenuhi kebutuhan pangan dan energi, bisa menjadi inspirasi. Namun, kehadiran negara dalam menyediakan layanan dasar tetap dibutuhkan agar kesejahteraan warga kian baik.