Inisiasi Pengolahan Sawit Berskala Mini dari Desa Sumbersari
Di Desa Sumbersari, Kecamatan Air Dikit, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, sejumlah warga menginiasi pengolahan minyak sawit mentah berskala kecil. Upaya ini demi mendapatkan nilai tambah dan mendongkrak pendapatan petani.
Sejumlah pekerja membawa sabut buah kelapa sawit untuk dipilah, Rabu (27/7/2022). Pemilahan itu guna memisahkan sabut dengan biji sawit. Sabut dipakai untuk bahan bakar mesin pengolah sawit menjadi minyak sawit mentah atau crude palm oil, sedangkan biji sawit akan dijual tersendiri dengan harga Rp 2.000 per kilogram.
Tak jauh dari tempat pemilahan sabut sawit tampak sebuah tangki besar berwarna oranye. Tangki itu merupakan tempat penyimpanan minyak sawit mentah (CPO) sebelum dijual ke pedagang. Penjualan dilakukan setelah jumlahnya mencapai 16 ton agar margin yang diperoleh maksimal karena terkait dengan efisiensi ongkos angkut.
Kepala Desa Sumbersari Sabaruddin Marpaung mengatakan, pengolahan CPO baru berjalan dua bulan dan saat ini masih dalam tahap uji coba. Dia dibantu oleh Sudarto (63) untuk mengurus bagian produksi terutama proses pengolahan sawit. Sabaruddin dan Sudarto sama-sama memiliki pengalaman bekerja pada perusahaan pengolah sawit selama bertahun-tahun.
Baca juga: Harga Sawit Terkerek Pelan
Pengalaman inilah yang menjadi bekal mereka merintis pabrik pengolahan sawit berskala kecil. Modal usaha yang dibutuhkan sekitar Rp 500 juta. Seluruh modal itu berasal dari tabungan mereka. Belum ada sentuhan program pembiayaan dari lembaga keuangan.
Sabaruddin mengatakan, pabrik pengolahan ini didirikan karena potensi kelapa sawit di Desa Sumbersari sangat melimpah. Lebih dari 70 persen penduduk desa yang totalnya 375 keluarga dengan jumlah warga 1.500 jiwa bertani sawit secara swadaya. Mereka juga bekerja di perkebunan milik perusahaan besar untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
”Di saat harga tandan buah segar (TBS) sawit jatuh seperti sekarang ini, kondisi petani sangat terpuruk karena ekonomi mereka hanya bergantung pada sawit. Sementara itu, kebutuhan keluarga tidak bisa ditunda,” ujar Sabaruddin.
Setelah melakukan riset, dia pun memutuskan mengolah brondolan sawit, bukan tandan buah segar yang menjadi primadona industri. Brondolan merupakan buah sawit yang jatuh di tanah. Jumlah brondolan ini mencapai 5 persen dari total buah sawit yang dihasilkan dalam 1 hektar (ha). Rata-rata produktivitas petani maksimal 1 ton per ha.
Sebagai daya tarik, brondolan dibeli dengan harga sama dengan harga TBS sawit. Harga yang ditawarkan ini mengacu pada harga pabrik, bukan harga tengkulak. Terdapat selisih harga sekitar Rp 300 per kg antara pabrik dan tengkulak. Sebagai gambaran, harga pabrik mencapai Rp 1.070 per kg, sedangkan tengkulak hanya membeli Rp 700 per kg.
Baca juga: Petani Sawit Merana Pemerintah Diminta Intervensi
Brondolan sawit diolah menjadi CPO dengan rendemen sekitar 30 persen. Alat pengolah CPO ini dirancang sendiri oleh Sudarto dibantu sejumlah pekerja. Adapun kapasitas pengolahannya mencapai 2 ton per jam. Prinsip kerja mesin pengolah CPO ini terbilang sederhana.
Brondolan sawit direbus dengan suhu 80-100 derajat celsius. Setelah masak, brondolan yang berubah menjadi lunak langsung dimasukkan ke dalam mesin pres untuk memisahkan kandungan bahan cair dengan sabut kulit sawit. Bahan cair ini kemudian dimasak dengan suhu tinggi hingga keluar CPO.
Setelah berhasil memproduksi CPO, Sabaruddin berpikir membangun pabrik pengolahan menjadi produk turunan seperti minyak goreng curah, biodiesel, dan bahan campuran produk kosmetik seperti sabun. Dia mengklaim permintaan CPO cukup tinggi di pasar domestik sehingga pihaknya tidak khawatir barangnya tidak laku terjual.
Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan sawit bisa diolah lagi menjadi produk yang berguna. Misalnya, sabut buah sawit yang telah dikeringkan bisa dipakai bahan bakar mesin pengolah CPO. Adapun limbah padatnya diolah sebagai pupuk, pakan ikan, pakan maggot.
Jumlah perusahaan itu masih belum setara dengan luas perkebunan sawit yang terus bertambah. Oleh karena itulah, butuh kehadiran investor baru yang bergerak di bidang industri pengolahan CPO dan produk turunannya. (Gianto)
Kehadiran industri kecil pengolahan sawit diharapkan menjadi pasar alternatif bagi petani sehingga mereka tidak hanya bergantung pada tengkulak dan perusahaan besar. Harga sawit juga diharapkan menjadi lebih kompetitif agar petani berpeluang meningkatkan pendapatannya.
Di sisi lain, dengan berkembangnya industri kecil pengolah produk turunan CPO menjadi minyak goreng curah, masyarakat bisa membeli dengan harga lebih terjangkau. Selama ini terjadi ironi karena petani sawit dan masyarakat di daerah penghasil sawit harus membeli minyak goreng curah dengan harga tinggi serta barang yang susah diperoleh di pasaran.
Sabaruddin mengatakan, pihaknya berharap pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat mendukung upaya hilirisasi sawit yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat kecil. Dukungan itu berupa fasilitasi pelatihan keterampilan mengolah sawit menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi.
Dukungan lain adalah dalam bentuk pendampingan dan fasilitasi kemudahan perizinan baik izin usaha hilirisasi sawit maupun izin lingkungan terkait pengelolaan limbahnya. Pemkab Mukomuko, misalnya, diharapkan memberikan pendampingan di bidang pengolahan limbah supaya lebih bermanfaat dan tidak mencemari lingkungan.
Sementara itu, Pemprov Bengkulu diharapkan memberi pendampingan di bidang pengolahan untuk meningkatkan kualitas produk. Selain itu, membimbing dalam pengurusan izin usaha agar produknya bisa diterima pasar dan memiliki daya saing tinggi. Adapun pemerintah pusat mengintervensi dengan bantuan alat untuk mengolah CPO menjadi beragam produk turunan seperti minyak goreng curah.
Mengolah nira sawit
Upaya menghasilkan produk turunan sawit juga pernah dilakukan oleh masyarakat Desa Rawa Mulya, Kecamatan IV Koto, dengan mengolah nira menjadi gula merah. Proses pengolahannya mengadopsi produksi gula merah berbahan nira kelapa dan nira aren.
Kepala Desa Rawa Mulya, Kecamatan IV Koto, Nodo mengatakan, upaya tersebut hanya bertahan sekitar dua bulan. Masyarakat enggan melanjutkan produksi gula merah sawit karena proses pengambilan niranya tidak mudah. Ada banyak duri sawit yang harus dikepras setiap kali hendak menadah nira.
”Proses pemasakan nira sawit menjadi gula merah memakan waktu lebih lama. Selain itu, kualitas gula merah yang dihasilkan kalah dibandingkan gula merah berbahan kelapa. Gula merah sawit teksturnya lebih lembek,” papar Nodo.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Mukomuko Gianto mengatakan, hilirisasi pengolahan sawit merupakan kebutuhan mendesak bagi daerahnya agar petani mendapatkan nilai tambah. Hal itu karena 80 persen ekonomi masyarakat bergantung pada sawit dengan pola perkebunan rakyat. Jatuhnya harga TBS sangat memukul ekonomi petani dan keluarganya.
Menurut Gianto, struktur ekonomi masyarakat didominasi oleh sektor pertanian subsektor perkebunan dengan komoditas sawit. Luas sawit yang dikelola rakyat mencapai 103.000 ha, sedangkan luas sawit yang dikelola Perkebunan Besar Swasta (PBS) hanya 52.000 ha. Sawit petani ini diserap oleh perusahaan pengolah yang jumlahnya 14 perusahaan.
”Jumlah perusahaan itu masih belum setara dengan luas perkebunan sawit yang terus bertambah. Oleh karena itulah, butuh kehadiran investor baru yang bergerak di bidang industri pengolahan CPO dan produk turunannya,” kata Gianto.
Pemkab Mukomuko menghendaki intervensi pemerintah pusat berupa pembangunan sentra industri kecil pengolah sawit menjadi CPO di sejumlah desa. Selain itu, meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendukung usaha rakyat mulai dari jalan usaha tani, jalan sentra perkebunan, pelabuhan laut untuk mempermudah pengiriman CPO, dan pengembangan bandar udara.
Kepala Desa Lubuk Talang, Kecamatan Malin Deman, Suwandi mengatakan, infrastruktur terutama jalan usaha tani berpengaruh pada harga TBS sawit. Di desanya dengan kondisi jalan yang sebagian masih berupa tanah merah, harga TBS sawit petani hanya Rp 500 hingga Rp 600 per kg.
Harga itu tidak sebanding dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani untuk membudidayakan sawit. Upah panen, misalnya, mencapai Rp 250 per kg, sedangkan ongkos angkut Rp 900.000 per truk dam dengan kapasitas 8 ton. Sebulan rata-rata panen sebanyak dua kali atau setiap tiga minggu sekali panen. Adapun rata-rata usia sawit rakyat 25-30 tahun.
”Saat ini panen TBS harus tunggu kabar dari tengkulak atau pembeli. Pabrik membatasi pembelian sawit sehingga truk harus antre untuk bongkar muatan di gudang. Hal itu juga menyebabkan biaya angkut semakin mahal karena kendaraan harus menginap untuk menunggu giliran bongkar,” ucap Suwandi.
Hadirnya industri kecil pengolahan sawit diyakini mampu memperbaiki nasib petani. Namun, faktanya, mereka tak bisa berjuang sendiri. Butuh intervensi pemerintah kabupaten, provinsi, pemerintah pusat, dan juga kalangan swasta agar mimpi para petani tersebut segera menjadi kenyataan.
Baca juga: Masa Depan Industri Kelapa Sawit