Jateng di Puncak Kemarau Agustus Ini, Anggaran Atasi Kekeringan Menurun
Dampak musim kemarau di Jateng diperkirakan tidak separah sebelumnya. Kendati demikian, antisipasi tetap disiapkan, salah satunya anggaran distribusi air bersih.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Puncak musim kemarau di Jawa Tengah diperkirakan terjadi sepanjang Agustus. Tahun ini, musim kemarau tergolong basah dan dampaknya dinilai tidak separah biasanya. Hal itu membuat anggaran penanggulangan kekeringan tahun ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, mayoritas kabupaten/kota di Jateng mengalami hari tanpa hujan (HTH) sekitar 10-20 hari sepanjang Agustus. Namun, ada sejumlah daerah yang mengalami HTH selama 21-30 hari, seperti Kendal, Sragen, Klaten, dan Sukoharjo. Wilayah-wilayah itu perlu mewaspadai potensi kekeringan.
Diprakirakan hanya ada satu wilayah di Jateng yang mengalami HTH selama 31-60 hari, yakni Wonosobo bagian selatan. Daerah itu masuk ketegori siaga kekeringan.
HTH yang terjadi di Jateng tahun ini jauh lebih singkat dari HTH pada masa puncak kemarau tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2019, misalnya, HTH paling panjang di puncak musim kemarau mencapai lebih dari 90 hari.
”Kemarau tahun ini tergolong basah, di mana HTH-nya sangat pendek. Dari pantauan kami, sampai saat ini, ada beberapa wilayah yang masih musim hujan,” kata Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi BMKG Semarang Iis Widya Harmoko, Minggu (7/8/2022).
Menurut Iis, sudah tiga tahun terakhir Indonesia mengalami kemarau basah. Hal itu terjadi karena adanya fenomena La Nina. Fenomena ini menyebabkan curah hujan menjadi lebih tinggi.
Adanya kemarau basah itu membuat anggaran penanggulangan kekeringan di Jateng pada tahun ini dikurangi. Pada 2019, misalnya, anggaran penanggulangan kekeringan mencapai Rp 600 juta. Jumlah itu kemudian menurun pada 2020 menjadi Rp 120 juta.
”Tahun ini anggaran untuk penanggulangan bencana kekeringan di Jateng hanya sekitar Rp 100 juta. Sampai saat ini, dana itu masih utuh. (Anggaran itu) belum terpakai karena memang belum ada laporan bencana kekeringan,” ujar Kepala Bidang Penanganan Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Dikki Ruli.
Penanggulangan bencana kekeringan itu antara lain dilakukan dengan menyalurkan air bersih.
Selain pemerintah provinsi, penganggaran penanggulangan bencana kekeringan juga dilakukan oleh pemerintah di kabupaten/kota, terutama yang wilayahnya menjadi daerah langganan kekeringan. Selain dari dana anggaran pendapatan belanja daerah, pemerintah kabupaten/kota juga bekerja sama dengan pihak swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan.
Peta Rawan Kekeringan
Dikki menyebut, BPBD di kabupaten/kota sudah memetakan desa-desa yang rawan kekeringan. Di Kabupaten Batang, misalnya, ada enam desa yang sering kali dilanda kekeringan saat kemarau.
Enam desa itu, meliputi Desa Penundan di Kecamatan Banyuputih, Desa Kemiri Barat dan Kemiri Timur di Kecamatan Subah, serta Desa Batiombo, Wonomerto, dan Wonodadi di Kecamatan Bandar. Masyarakat di desa-desa itu diminta untuk melapor jika ada butuh bantuan suplai air bersih.
Masyarakat di desa-desa itu diminta untuk melapor jika ada butuh bantuan suplai air bersih.
Selain menunggu bantuan suplai air dari pemerintah, masyarakat bersama dengan pemerintah desa di wilayah rawan kekeringan telah berupaya mencari solusi jangka panjang. Di Desa Penundan misalnya, masyarakat bergotong royong membuat Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).
”Pamsimas ini dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi sekitar 2.300 warga. Sebelum ada Pamsimas, kami sempat menggunakan sumur bor. Tapi, sumur itu selalu mengering saat musim kemarau tiba,” kata Kepala Desa Penundan, Ahmad Yusuf.
Sementara itu, di Desa Batiombo, warga mengambil air hingga ke desa-desa tetangga saat musim kemarau tiba. Di desa itu sebenarnya ada Pamsimas, tetapi saat kemarau, debit airnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
”Kalau debit air Pamsimas menipis, warga bisa mengambil air sebanyak empat hingga tujuh kali sehari ke desa tetangga. Jika air dari desa tetangga juga kian menipis, kami melapor ke BPBD supaya dikirimi air bersih,” tutur Kepala Desa Batiombo Slamet Sukardi.