Jadi Basis Pengaderan Jaringan Teroris, Alarm Keras bagi Aceh
Jaringan teroris menyusup dengan senyap ke komunitas-komunitas warga. Selain isu keagamaan, isu kemiskinan juga dapat menjadi bahan bakar untuk memicu kobaran kebencian pada pemerintah.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Winardy memperlihatkan foto-foto alat bukti dari terduga teroris, Sabtu (23/1/2021)
Penangkapan terduga teroris di Kabupaten Aceh Tamiang pada Juli dan Agustus 2022 seperti peristiwa yang berulang. Tahun 2010, aparat keamanan pernah mengungkap jaringan teroris di pegunungan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Ini alarm serius bagi pemerintah daerah. Kampanye keberagaman dan perdamaian harus diperkuat.
Dalam waktu sebulan Juli-Agustus 2022, sebanyak 15 orang terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Lokasi penangkapan tersebar di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Utara, Langsa, Bireuen, dan Banda Aceh.
Mereka terdiri dari 13 orang anggota Jamaah Islamiyah dan 2 orang anggota Jamaah Ansharut Daulah. Mereka yang ditangkap di Aceh Tamiang adalah DN, SY, JU, RS, FE, ES, RU, MU, A, dan ISA. Sementara AK dan MR ditangkap di Banda Aceh. MH dan MS diringkus di Aceh Utara, sedangkan MA ditangkap di Langsa.
Baca juga: Manfaatkan Lokasi Strategis, Pengembangan JI di Aceh Perlu Diwaspadai
Satu di antaranya, yakni ISA, disebut sebagai koordinator Jamaah Islamiyah wilayah Aceh. Kini mereka yang ditangkap ditahan aparat kepolisian untuk diproses hukum. Sebagian besar yang ditangkap itu warga Aceh.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Winardy menuturkan, ISA ditangkap di Kantor Desa Sidodadi, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. ISA juga Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Sumatera Bagian Utara untuk Wilayah Aceh Tamiang.

”ISA merupakan koordinator, dia memiliki peran penting dalam struktur Jamaah Islamiyah. Saat ini dia diamankan di Rutan Polda Sumut,” kata Winardy.
Ini bukan kali pertama Densus 88 mengungkap jaringan teroris di tanah ”Serambi Mekkah” itu. Pada Januari 2021, aparat juga menangkap lima terduga teroris di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Langsa.
Baca juga: Membaca Pikiran Teroris
Menarik jauh ke belakang, antara Februari dan Maret 2010, Densus 88 menemukan pusat latihan teroris di perbukitan Jalin, Jantho, Aceh Besar. Ini menjadi pengungkapan jaringan teroris terbesar di Aceh. Saat hendak ditangkap, teroris menyerang polisi dengan tembakan.
Beberapa hari tembak-menembak terjadi antara teroris dan polisi. Lokasi tembak-menembak terjadi di kawasan permukiman warga, yakni di Lamkabeu dan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, serta di Banda Aceh.
Dari tiga lokasi itu, sembilan anggota polisi tertembak, tiga di antaranya meninggal. Dua warga sipil juga tewas diterjang peluru nyasar dan satu teroris tewas.
Jalin menjadi pusat latihan militer bagi anggota teroris. Sebanyak 15 orang ditangkap, tetapi puluhan anggota teroris bagian dari kelompok Jalin tersebar di banyak daerah lain untuk melakukan aksi teror. Mereka diburu, sebagian berhasil ditangkap.
Baca juga : Penyebab Teroris Menargetkan Polisi
Para terduga teroris yang ditangkap memiliki latar belakang atau profesi beragam mulai nelayan, pedagang, mahasiswa magister, guru pengajian, hingga pegawai negeri sipil. Ini menunjukkan kaderisasi terorisme masuk ke berbagai lapisan warga. Tanpa penapisan kuat penetrasi kaderisasi pemahaman itu akan semakin luas.
Geografis strategis
Pengamat teroris yang juga dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar, menuturkan, Aceh telah lama menjadi basis pengaderan terorisme. Pengungkapan jaringan terorisme 2010 di Aceh Besar cukup mengejutkan. Kini justru menyebar ke banyak kabupaten.

Menurut Al Chaidar, secara geografis Aceh sangat cocok jadi tempat pengembangan bagi teroris. Selain jarak yang jauh dari Ibu Kota, Aceh diapit Samudra Hindia dan Selat Malaka yang membuat akses ke luar negeri mudah.
Penyelundupan senjata dari Thailand atau Filipina mudah dilakukan melalui Selat Malaka. Ini jalur penyelundupan senjata saat konflik Aceh. Senjata untuk Gerakan Aceh Merdeka juga dipasok dari sana.
Pada 2010, jaringan teroris yang diungkap adalah Jamaah Ansharut Daulah. Kini, Jamaah Islamiyah juga memilih Aceh untuk basis pengembangan gerakan. Pasca-penggerebekan teroris Jalin, pengawasan untuk Aceh sedikit melemah. Kondisi ini membuat Jamaah Islamiyah kian mudah melakukan pergerakan.
Geografis Aceh sangat cocok jadi tempat pengembangan bagi teroris. Selain jarak yang jauh dari ibu kota, Aceh diapit Samudra Hindia dan Selat Malaka membuat akses ke luar negeri mudah. (Al Chaidar)
Al Chaidar menuturkan, dua jaringan teroris ini tidak saling terkoneksi, tetapi sama-sama ancaman terhadap negara dan Aceh. Walaupun Aceh tidak menjadi sasaran serangan, warga Aceh menjadi sasaran pengaderan.
Baca juga : Anak Muda, Sumber Regenerasi Teroris
Secara kultur Aceh dinilai punya potensi untuk ditebar ideologi radikal. Karakter orang Aceh yang keras dan pernah menjadi kelompok yang melawan pemerintah sehingga sangat mungkin untuk dirangkul ke dalam kelompok teroris,” ujar Al Chaidar.
Menurut dia, meskipun 15 orang telah ditangkap, kader teroris dua jaringan itu masih berada di Aceh. Jika tidak dituntaskan, kaderisasi berpotensi semakin membesar. Al Chaidar mengingatkan aparat penegak hukum agar mengungkap semua jaringan tersebut.
”Aceh bukan sasaran penyerangan, tetapi menjadi basis pengembangan, pengumpulan logistik, dan kaderisasi,” ujar Al Chaidar. Dia juga berharap pemerintah memperkuat upaya pencegahan penyebaran jaringan teroris di Aceh.

Salah satu mural di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh kampanye, melawan penyebaran Covid-19, Sabtu (6/8/2022). Selain persoalan Covid-19, Aceh harus berusaha keras untuk mencegah penyebaran paham radikal yang menjadi cikal gerakan terorisme.
Sinergi cegah radikalisme
Pemprov Aceh menyadari ancaman itu. Namun, tak mudah menepis penyebarannya karena jaringan teroris menyusup dengan senyap ke komunitas-komunitas warga. Selain isu keagamaan, isu kemiskinan juga dapat menjadi bahan bakar untuk memicu kobaran kebencian pada pemerintah.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Aceh Mahdi Effendi mengatakan, pemerintah daerah berusaha untuk mencegah penyebaran paham radikal. Tiga strategi yang dilakukan Pemprov Aceh adalah sosialisasi, memetakan potensi, dan memonitor.
Satu unsur dari kelompok radikalisme, antara lain, selalu menyalahkan amaliyah orang lain, menuduh orang lain sesat, interaksi sosial yang eksklusif, dan selalu mendukung organisasi-organisasi ekstremis. (Mukhlisuddin Ilyas)
Sosialisasi dan kampanye nilai-nilai toleransi dilakukan ke kelompok warga mulai dari pelajar, pemuda hingga warga desa. Di beberapa desa dibentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) agar potensi gerakan teroris dapat dicegah sejak dini.
”Kami terus bersinergi dengan para pihak untuk mencegah radikalisme dan terorisme di Aceh,” kata Mahdi.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh Mukhlisuddin Ilyas menuturkan, keberadaan jaringan terorisme di Aceh adalah fakta yang harus direspons dengan serius. Upaya pencegahan paham radikal harus diperkuat agar tidak semakin banyak warga Aceh terpapar ideologi tersebut.
Menurut Mukhlisuddin, jaringan teroris akan terus berupaya melahirkan kader-kader baru. Penyebaran paham radikal dimulai dengan menciptakan kelompok-kelompok intoleran, selanjutnya menjadi pelaku teror.

Warga bermain bersama keluarga di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Provinsi Aceh, Sabtu (6/8/2022). Pasca perdamaian, warga kian bebas berkumpul dan bersosialisasi. Damai juga membuat Aceh kian maju.
”Satu unsur dari kelompok radikalisme, antara lain, selalu menyalahkan amaliyah orang lain, menuduh orang lain sesat, interaksi sosial yang eksklusif, dan selalu mendukung organisasi-organisasi ekstremis,” ujar Mukhlisuddin.
Oleh karena itu, pencegahan harus diperkuat, misalnya dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal. Komunitas-komunitas di akar rumput harus didorong untuk menjadi agen kampanye perdamaian dan toleransi.
Baca juga : Mengapa di Dunia Ada Teroris?