Industri Hilir Kelapa Sawit di Kalteng Belum Berdampak Signifikan ke Petani
Industri hilir kelapa sawit di Kalimantan Tengah belum berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. Hal ini karena jumlah industri hilir dan produk yang dihasilkan masih terbatas.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Industri hilir kelapa sawit di Kalimantan Tengah belum berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. Hal ini karena jumlah industri hilir yang mengolah produk kelapa sawit di Kalteng masih relatif sedikit. Produk yang dihasilkan oleh industri hilir tersebut juga masih terbatas.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng Hatir Tarigan, Jumat (5/8/2022), mengungkapkan, industri hilir kelapa sawit sebenarnya sudah lama hadir di provinsi tersebut. Saat ini, di Kalteng setidaknya ada dua pabrik pengolahan minyak mentah menjadi minyak goreng.
Namun, industri hilir tersebut baru beroperasi di dua wilayah, yakni Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur. Padahal, perkebunan kelapa sawit di Kalteng tersebar di 14 kabupaten/kota.
Menurut Hatir, industri hilir kelapa sawit belum berdampak banyak ke perekonomian Kalteng. Dampak industri tersebut pada kesejahteraan petani sawit juga masih minim. Sampai saat ini, petani sawit masih berkutat pada harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang belum normal.
Di Kabupaten Pulang Pisau, khususnya di Desa Kantan Atas, harga TBS masih berkisar Rp 600-Rp 665 per kilogram. Harga itu jauh dibandingkan dengan harga di Kotawaringin Timur yang saat ini sudah tembus Rp 1.200 per kilogram.
”Nasib petani sawit belum mujur karena kebijakan pemerintah dan kepentingan pengusaha,” kata Hatir.
Industri hilir tersebut baru beroperasi di dua wilayah, yakni Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur. Padahal, perkebunan kelapa sawit di Kalteng tersebar di 14 kabupaten/kota.
Hatir menambahkan, selama ini, petani sawit di Kalteng masih dibelenggu persoalan klasik, yakni masalah harga. Di berbagai wilayah, harga sawit milik para petani mandiri cenderung lebih rendah dibanding harga sawit dari petani yang bermitra dengan perusahaan.
Padahal, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018, pembelian TBS diatur untuk semua petani tanpa membedakan petani mandiri dan petani mitra. ”Tetapi, kenyataan di lapangan, ada perbedaan antara yang bermitra dengan perusahaan dan petani mandiri. Harga TBS dari petani mitra lebih tinggi dibanding yang mandiri,” kata Hatir.
”Masalah lainnya adalah biaya perawatan yang tinggi. Kami berteriak minyak goreng mahal, tetapi pupuk juga ikutan mahal. Padahal, pupuk itu penting untuk keberlangsungan panen selanjutnya,” kata Hatir.
Pengamat ekonomi dari Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina, mengatakan, industri hilir kelapa sawit di Kalteng belum optimal karena masih didominasi oleh pembuatan minyak sawit mentah. Sementara itu, pembuatan produk turunan lainnya belum banyak berkembang.
Selama ini, kata Fitria, industri hilir kelapa sawit di Kalteng belum dilengkapi infrastruktur yang memadai. Padahal, industri hilir bisa membuka banyak lapangan pekerjaan dan berdampak baik pada kesejahteraan petani.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo menjelaskan, pemerintah daerah terus mendorong industri hilir yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kalimantan Tengah.
Pemerintah Provinsi Kalteng membuat zonasi untuk industri hilir yang sedang berkembang. Wilayah barat Kalteng, yakni Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Lamandau, Seruyan, dan Sukamara, menjadi prioritas pembangunan industri hilir kelapa sawit.
Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memang menjadi penopang perekonomian Kalteng. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas lahan sebesar 3,9 juta hektar. Namun, lahan yang beroperasi hanya 1,13 juta hektar.
Pada tahun 2021, produksi perkebunan kelapa sawit di Kalteng mencapai 5,1 juta ton. Jumlah itu terdiri dari produksi perkebunan sawit rakyat sebesar 277.701 ton dan produksi perkebunan besar swasta sebesar 4,8 juta ton.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kalteng juga mampu memproduksi 8,8 juta ton minyak sawit mentah (CPO) per tahun tahun. Dengan jumlah produksi itu, Kalteng berkontribusi sebesar 25,3 persen terhadap produksi CPO nasional. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pada Agustus 2019, produksi CPO nasional sebesar 34,7 juta ton per tahun.
”Produksi CPO memang sempat menurun lantaran larangan ekspor beberapa waktu lalu sehingga perusahaan membatasi memproduksi CPO dan membatasi pembelian TBS ke masyarakat,” kata Kepala BPS Kalteng Eko Marsoro dalam jumpa pers di Palangkaraya, Jumat siang.
Eko menambahkan, pada triwulan kedua tahun ini, pertumbuhan perekonomian Kalteng sebesar 7,31 persen. Sumbangan terbesar untuk pertumbuhan ekonomi itu berasal dari sektor pertambangan dan ekspor CPO.