Kehadiran Universitas Pertahanan di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste sebagai wujud dari komitmen pemerintah dalam membangun sumber daya manusia dari pinggiran negeri.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Derap langkah sepatu memecah keheningan pagi pada Selasa (2/8/2022). Dalam balutan hawa dingin, 175 anak muda berseragam loreng berjalan menuju arena senam. Pukul 04.30 Wita, mereka memulai rutinitas harian sebagai kadet yang tengah belajar meraih mimpi di Politeknik Ben Mboi, Universitas Pertahanan RI.
Selepas senam, mereka mandi dan menyiapkan diri untuk kegiatan pada hari itu kemudian kembali berkumpul di ruang makan pukul 06.00. ”Sudah satu tahun dengan pola seperti ini. Awalnya berat, tetapi lama kelamaan kami sudah terbiasa,” tutur Martina Mendonca Lopes (21), kadet, sebutan bagi mahasiswa Universitas Pertahanan RI.
Martina adalah kadet angkatan pertama yang kini duduk di semester III. Setelah lulus tes masuk, mereka tinggal dalam asrama di kompleks kampus. Lokasinya di Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, tidak jauh dari Atambua, perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.
Untuk bisa diterima di kampus itu, mereka melewati seleksi yang tidak mudah, seperti tes akademik, tes IQ, psikotes, kemudian mengikuti pendidikan dasar kemiliteran selama satu bulan. Setiap angkatan dibatasi 175 orang. Angkatan kedua tahun ini sedang mengikuti pendidikan dasar di salah satu batalyon infanteri TNI Angkatan Darat.
Kampus itu diberi nama Ben Mboi, yang merupakan Gubernur NTT periode 1978-1988. Ben Mboi, yang belatar belakang dokter tentara, dikenang sebagai gubernur tersukses memimpin NTT lewat berbagai program pertanian. Kampus itu diresmikan Presiden Joko Widodo pada Maret 2022. Turut hadir, istri almarhum Ben Mboi, Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan RI. Ada juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Martina merasa bersyukur bisa kuliah di kampus milik Kementerian Pertahanan RI itu. Kampus dengan sistem asrama, kuliah gratis, dan beasiswa penuh. ”Saya setelah lulus SMA, dua tahun saya kerja di toko. Orangtua saya tidak bisa biaya kuliah saya karena masalah ekonomi,” ujar anak eks pejuang integrasi Timor Timur itu.
Kurangnya pendidikan dan lapangan kerja membuat gadis seusia Martina di daerah itu banyak menjadi korban perdagangan manusia. Hampir setiap tahun selalu saja ada pengiriman jenazah pekerja migran Indonesia ke daerah itu. Mereka bekerja di luar negeri dengan upah murah bahkan tidak dibayar, dijadikan budak, dan kerap mendapat kekerasan dari majikan.
Kini, Martina memilih program studi pengolahan hasil laut perikanan. Harapannya setelah tamat nanti, ia membuka usaha sendiri. Daerah Atapupu dan sisi barat Pulau Timor yang terhubung dengan Laut Sawu merupakan salah satu sentra perikanan di NTT. Potensi perikanan tangkap di NTT diperkirakan sekitar 388.000 ton per tahun dan 65 persen di antaranya disumbang dari Laut Sawu.
Jenis ikan yang dominan di sana seperti tuna, cakalang, kerapu, tongkol, tenggiri, tembang, kakap, dan kembung. Sekitar 80.000 rumah tangga bekerja sebagai nelayan tangkap. Kualitas ikan tuna dari NTT mendapat pujian dari asosiasi tuna dari Amerika Serikat. Itu disampaikan saat Kompas datang ke kantor mereka di Honolulu, Hawaii, beberapa tahun lalu.
Sayangnnya, di beberapa sentra produksi di NTT, ikan hanya sekadar untuk konsumsi rumah tangga, sebagian dijual, dan selebihnya diberi makan ternak bahkan dibuang. Belum ada industri perikanan skala besar di sana. ”Saya ingin punya usaha olahan ikan untuk buat seperti bakso, nugget, dan lumpia,” ujar anak pertama dari lima bersaudara itu.
Andicky Tefu (20), kadet lainnya, juga bernasib serupa dengan Martina. Setelah tamat 2020, ia mencari keberuntungan dengan melamar jadi anggota TNI. Ia juga sempat mengikuti tes sekolah kedinasan seperti Institut Pemerintah Dalam Negeri, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan beberapa lagi. Ia memilih jalur itu karena keluarga tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai kuliahnya.
Setelah diterima menjadi kadet di Politeknik Ben Mboi, ia memilih jurusan pertanian lahan kering, yang sesuai dengan kondisi daerah setempat. Pulau Timor merupakan daerah yang didominasi karang. Sebagian besar lahan tandus, minim sumber air, curah hujan rendah, dan langganan kekeringan ekstrem setiap tahun.
Dengan bekal pengetahuan dari kampus, Andicky bermimpi punya lahan pertanian sendiri. Ia akan menanam padi, jagung, dan tanaman hortikultura. Selain untuk kebutuhan di daerah itu, bisa juga diekspor ke negara Timor Leste. ”Selama ini banyak barang kebutuhan Timor Leste dibeli dari Indonesia. Ini peluang besar,” katanya.
Peluang untuk memajukan pertanian di daerah perbatasan terbuka lebar. Pemerintahan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo memberi perhatian besar. Di dekat kampus itu, kini telah beroperasi Bendungan Rotiklot yang dibangun dengan anggaran Rp 496 miliar. Dengan daya tampung 3,3 juta meter kubik, akan menyuplai air baku 40 liter per detik dan mengairi 149 hektar lahan pertanian.
Membangun manusia
Dekan Politeknik Ben Mboi, Universitas Pertahanan, Brigadir Jenderal Agus Winarna mengatakan, kehadiran kampus tersebut sebagai wujud dari komitmen pemerintah membangun sumber daya manusia di pinggiran negeri. Pemerintah ingin anak-anak di perbatasan dapat mewujudkan mimpi mereka lewat jalur pendidikan. ”Mereka yang nanti menjadi penggerak pembangunan di perbatasan,” ujarnya.
Oleh karena itu, program studi yang disiapkan di kampus itu sesuai dengan potensi lokal seperti perikanan, pertanian lahan kering, dan peternak. Dari setiap angkatan yang berjumlah 175 orang, 70 persennya adalah pemuda NTT. Selebihnya mewakili berbagai provinsi lain di Indonesia.
Setelah lulus diploma III di kampus itu, mereka akan memasuki dunia kerja dengan berbagai pilihan. Mereka bisa membangun usaha sendiri, bekerja di dunia industri, melamar jadi aparatur sipil negara, atau anggota TNI/Polri. Mereka sudah punya modal disiplin dan kompetensi yang mumpuni.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berharap, lulusan dari kampus itu menjadi pelaku usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Mereka didorong menjadi pendukung program bertajuk ”Tanam Jagung Panen Sapi”. Potensi itu sangat besar untuk dikembangkan. ”NTT butuh anak muda sebagai pencipta lapangan kerja,” ujarnya.
Kehadiran Universitas Pertahanan RI membawa Martina, Andicky, dan pemuda lainnya untuk berani menerbangkan mimpi ke level yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Kini mereka memiliki kesempatan yang sama dengan generasi yang tumbuh di kota-kota besar. Mereka bangga jadi anak perbatasan.