Pengharapan Terakhir Bunga-bunga Rimba
Kehilangan hutan telah menggoyahkan seluruh sendi kehidupan Orang Rimba. Sumber pangan dan obat tradisional menipis, memaksa mereka bergantung pada dunia luar.

Ritual memandikan bayi Orang Rimba dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022).
Aroma bunga dan rapalan dukun memanggil sang dewa burung gading. Di tengah hutan lebat, ritual memandikan bayi Orang Rimba digelar, awal Juli lalu. Basuhan pertama dari air sungai menandai ikatan anak manusia pada alam.
Bunga kuning (Saraca asoca)ditegakkan pada ujung tonggak-tonggak menuju titian di tepi sungai. Aroma lembut ”tanaman suci” itu dipercaya mendatangkan dewa-dewa. Selain dewa burung yang akan mengusir roh-roh jahat, ada pula dewa rimau dan dewa mergo untuk menghalau penyakit.
”Penyakit pergi ke hilir, dewa menjaga di hulu,” begitulah isi doa sang dukun.
Di tengah rapalan mantra, nenek sang bayi terus menari. Gerakan kedua tangannya mengepak bagaikan burung elang, diiringi suara tabuhan. Menjaga irama agar para dewa tetap hadir.

Warga komunitas Orang Rimba melaksanakan ritual memandikan bayi di wilayah Punti Kayu, Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, Sabtu (2/7/2022). Pelestarian hutan perlu diperkuat sebagai ruang hidup bagi komunitas pedalaman itu.
Bayi bernama Ngangkot itu dibawa dalam dekapan ibunya, Nidar, meniti turun ke sungai, lalu dimandikan. Basuhan air dingin memecah tangisnya. Menggema seisi hutan.
Ikatan pada alam diwariskan para orangtua sejak anaknya lahir. Lendir dari kulit kayu tenggeris (Koompassia excelsa) dioleskan pada dahi sang bayi. Orangtua memohon agar bayinya tumbuh besar dan kuat seperti tenggeris yang berkayu keras dan bertajuk luas, mampu menaungi seisi hutan.
Adapun ari-arinya dikubur dan ditandai ranting sentubung (Gonocaryum gracile). Maka, tenggeris dan sentubung menjadi lambang perlindungan bagi kehidupan bayi hingga kelak besar.
Kedua jenis tanaman itu tidak boleh dirusak apalagi ditebang. Sebab, itu sama saja membunuh manusia yang memiliki tanaman. Yang melanggar terkena sanksi adat terberat, berupa denda 500 lembar kain. Setara dengan hukuman bagi seorang pembunuh.
Karenanya, setiap orang menjaga kehidupan berjalan harmonis dalam hutan. Tak hanya pohon-pohon besar, tetapi juga bunga-bungaan pelengkap ritual adat, mulai dari ritual kelahiran, tumbuh kembang anak, hingga pernikahan maupun pengobatan. Seluruh ritual itu mensyaratkan aneka jenis bunga untuk mendatangkan para dewa. Yang terbanyak ada pada ritual pernikahanalias bebalai.
”Butuh seratuy (seratus) macam bunga untuk bebalai,” ujar Tengganai Besemen, penasihat adat Orang Rimba di wilayah Punti Kayu, Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, Rabu (6/7/2022).

Bunga diletakkan pada salah satu tiang sebagai alat ritual memandikan bayi Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022).. Pelestarian mendesak diperkuat untuk menjaga biodiversitas dalam hutan itu.
Semakin lengkap bunga terkumpul, semakin banyak dewa hadir memberi restu. Betapapun sulitnya mendapatkan bunga, para orangtua berupaya memenuhinya. Besemen ingat dirinya harus menempuh perjalanan kaki seharian penuh dari wilayah Punti Kayu menuju Kejasung. Naik turun bukit demi mendapatkan bunga ibul (Korthalsiasp)untuk melangsungkan sebuah ritual.
Ada pula pohon antui (Fissistigmalatifolium) yang hanya berbunga menjelang akhir tahun. Bunga ini paling dianggap penting dalam bebalai karena wanginya disukai dewa-dewa pelindung.
Tempat ritual berlangsung pada hutan yang paling rimbun. Penyelenggaraannya tidak dapat disaksikan orang luar. ”Kalau orang luar ikut, dewo akan pogi (dewa akan pergi),” ujar Prabung, salah seorang dukun dari komunitas Orang Rimba.
Baca juga: Saatnya Berikan Lebih Kepada Wilayah Pedalaman
Untuk melangsungkan bebalai, sebuah panggung dari kayu dipersiapkan jauh-jauh hari. Dikumpulkan pula bunga-bungaan dan beragam jenis umbi serta hasil buruan terbaik. Selepas ritual, seluruh warga makan bersama.

Warga menikmati makan seusai ritual memandikan anak di komunitas Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022).
Wujud doa syukur sekaligus permohonan senantiasa disampaikan komunitas agar hutan melimpahkan beragam hasil. Menjelang musim buah, dilangsungkan ritual bagi orang deboa, dewa musim buah. Begitu pula agar madu melimpah dalam hutan itu, digelar ritual bagi orang derepo, dewa penghasil madu. Supaya sumber padi melimpah, mereka sampaikan puji-pujian kepada orang depade, dewa padi.
Lalu, ada satu dewa yang dipercaya sebagai pencipta keanekaragaman hayati dalam rumah mereka di Ekosistem Bukit Duabelas. Itulah ciakman cipay, dewa penjaga biodiversitas. Kehadiran ciakman cipay dipercaya memperkaya seisi hutan.
Baca juga: Kisah Lenyapnya Bunga-bunga Rimba
Antropolog Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, menyebut komunitas Orang Rimba memiliki sistem religi yang sangat kuat. Menyandarkan hidup sepenuhnya pada anugerah alam. Ikatan yang kuat itulah membawa mereka terus menjaga hutannya utuh.
Kalu aek sungainyo keruh, dewo hopi ado datang (kalau air sungai keruh, dewa takkan datang). (Tumenggung Ngrip)
Ikatan kuat itu akhirnya mendapatkan pengakuan secara hukum, yakni lewat aturan zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas. Hukum negara dan hukum adat berpadu. Ada hutan yang pantang dilewati apalagi dihuni karena menjadi tempat berdiam dewa-dewa. Mereka sebut Tali Bukit (punggung bukit) dan Tano Pasoron (kuburan).
”Ruang-ruang adat ini kami tetapkan selaras sebagai zona inti taman nasional,” ujar Saefullah, Kepala Seksi Wilayah II Balai TNBD.
Balai Taman Nasional Bukit Duabelas mendata 128 jenis flora tersebar di sana. Terdiri dari 101 jenis tanaman obat dan 27 jenis cendawan obat. Jenis-jenis tumbuhan obat tersebut dimanfaatkan komunitas Orang Rimba untuk mencegah dan mengobati penyakit. Tidak kurang dari 41 jenis anggrek dari 18 marga hidup di sana, serta beragam jenis rotan, pohon penghasil getah, dan tumbuhan penghasil bahan anyaman. Begitu pula dengan beragam fauna sebagai sumber protein.
Pembangunan monokultur
Ironisnya, pembangunan selama 30 tahun terakhir telah melenyapkan lebih dari separuh rumah Orang Rimba di ekosistem Bukit Duabelas, Jambi. Luas ekosistemnya semula lebih dari 130.000 hektar beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, tanaman industri akasia, dan kawasan transmigrasi. Kini, tersisa sekitar 58.000 hektar bernama Taman Nasional Bukit Duabelas.

Induk Nidar membawa bayinya menuju tempat ritual memandikan anak di komunitas Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022).
Perubahan yang cepat itu, dinilai Robert, mengguncang komunitas Orang Rimba. Hingga kini mereka belum mampu menerima dalam nalarnya perihal kondisi hutan yang berubah. ”Orang Rimba sulit memahami bagaimana sebuah kekuatan besar dari luar mampu menghabisi rumah mereka begitu cepat,” katanya.
Rentetan wabah penyakit yang berbuntut kematian beruntun berlangsung dua kali pada 1999 dan 2014. Paceklik pertama dipicu pembukaan hutan menjadi kebun dan hutan tanaman industri. ”Pada masa itu, sekitar 30.000 hektar hutan yang menjadi sumber pangan Orang Rimba lenyap,” ujarnya. Kematian beruntun mengorbankan nyawa 13 orang.
Baca juga: Lahan untuk Penghidupan Orang Rimba di Jambi
Paceklik kedua tahun 2013 hingga 2014 menyebabkan 14 warga meninggal selama enam bulan. Pemimpin adat Orang Rimba wilayah Kedundung Muda, Tumenggung Nggrip, menyebut kehilangan hutan menggoyahkan seluruh sendi kehidupan mereka. Sumber pangan menipis membuat mereka bergantung pada makanan dari luar.
Begitu pula ritual adat sulit berjalan. Tiga tahun terakhir, tak pernah lagi digelar ritual bebalai untuk melangsungkan pernikahan.
Sungai-sungai mulai dicemari limbah pabrik dan perkebunan. Tersisa sebagian saja yang masih jernih airnya pada bagian hulu. Di bagian hilir, ritual memandikan bayi sulit berjalan karena sungai tercemar.
”Kalu aek sungainyo keruh, dewo hopi ado datang (kalau air sungai keruh, dewa takkan datang),” kata Tumenggung Nggrip.
Dari hampir 3.600 keluarga Orang Rimba, lebih dari kehilangan ruang hidup. Sebagian warga kini menumpang di tengah perkebunan sawit dan akasia swasta. Membangun pondok-pondok darurat beratap terpal. Tak jarang mereka berkonflik dengan orang desa dan perusahaan. Sebagian lagi mengemis di jalanan.

Alih fungsi ekosistem Bukit Duabelas di Jambi, telah menyebabkan rumah bagi komunitas Orang Rimba beralih menjadi kebun sawit swasta. Tampak sejumlah warga memunguti brondolan yang jatuh di tanah, 2014.
Bisikan duka disampaikan seorang pemimpin adat Orang Rimba. ”Halom lah rubuh. Ciakman Cipay lah pogi (Alam telah rusak. Dewa penjaga keanekaragaman hayati telah pergi),” kenang Robert.
(Liputan ini merupakan Fellowship Biodiversity of Tropical Rainforests in Southeast Asia diselenggarakan The Southeast Asia Rainforest Journalism Fund (RJF) dan the Pulitzer Center.)