Saking Kayanya, Warga Desa Mengkang Tak Pernah Menutup Keran Air
Desa Mengkang begitu kaya akan air bersih, sampai-sampai warganya tak pernah menutup keran. Di balik keberlimpahan itu, terdapat tanggung jawab besar untuk melestarikan hutan yang senantiasa memberi kehidupan.
Desa Mengkang di belahan selatan Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, begitu kaya akan air bersih, sampai-sampai warganya tak pernah menutup keran. Di balik keberlimpahan itu, terdapat tanggung jawab besar untuk melestarikan hutan yang senantiasa memberi kehidupan.
Sudir Tanda (52) mengaku tak pernah sengaja membuang-buang air bersih. Namun, ia membiarkan selang di dalam kamar mandi semipermanen rumahnya menyemburkan air tanpa henti, mengisi bak plastik yang sebenarnya sudah penuh hingga meluber.
“Bukan boros air, tetapi supaya pipa-pipa sambungan nda pecah. Sudah banyak kejadian pipa bocor karena orang tutup keran,“ ujar Sudir saat ditemui pada Sabtu (16/7/2022) siang di Dusun II Desa Mengkang
Ia menduga, penyebabnya adalah debit air yang melaju deras setiap detik ke dalam jaringan distribusi air bersih desa. Tekanannya begitu kuat pada dinding-dinding pipa sehingga warga tak punya pilihan selain membiarkannya terus mengalir.
Sumbernya adalah dua mata air di perbukitan sekitar desa. Yang satu dikenal sebagai Yoyataban di perkebunan selatan, sedangkan yang lain Dolipoga di barat desa, tepatnya di dalam kerapatan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
Bak-bak beton penampung telah didirikan di kedua lokasi itu. Entah berapa liter air yang menyeruak dari dalam tanah setiap detik, yang pasti bak-bak tersebut tak pernah berhenti terisi.
Airnya selalu jernih, bahkan saat hujan lebat. Masyarakat pun bebas memakainya untuk segala kebutuhan sehari-hari, dari minum, mandi, mencuci, hingga membuat campuran bahan bangunan.
Kini, mata air Yoyataban memasok air ke 78 rumah dan fasilitas umum seperti balai desa, sementara Dolipoga ke 21 rumah serta kolam renang dan kolam ikan di seberang balai desa. Tak ada satu pun penduduk yang tak menikmati manfaatnya, baik yang sudah resmi menjadi warga Desa Mengkang maupun yang belum.
Idil Damopolii (58), warga Dusun II, mengatakan, jaringan air bersih tersebut diadakan pada 2007 ketika Mengang diresmikan sebagai desa demi memuluskan laju pemekaran Bolaang Mongondow menjadi satu kota dan empat kabupaten. Setiap rumah hanya perlu membayar iuran Rp 10.000 setiap bulan untuk pemeliharaan bak serta jaringan pipa.
Situasi ini jauh lebih baik dibanding empat dekade sebelumnya. Dahulu, Mengkang adalah hutan yang dibuka menjadi lahan perkebunan oleh warga Desa Kopandakan yang terletak sekitar 26 kilometer di utara. Mereka kemudian mendirikan pondok-pondok untuk ditinggali selama mengurus kebun, termasuk keluarga Idil.
Pemerintah sampai mendirikan sebuah sekolah dasar di Mengkang karena semakin banyak warga yang mulai bermukim di sana. Namun, tetap tidak ada sambungan listrik dan air bersih.
”Jadi, kalau mau ambil air harus jalan jauh ke sungai, timba pakai ember atau jeriken. Tapi, sekarang sudah enak, sudah ada sambungan ke rumah-rumah dan airnya lancar terus,” ujar Idil.
Jaringan air bersih itu membuat kehidupan warga lebih manusiawi. Sutami Kunsi (46), Kepala Urusan Pemerintahan Desa Mengkang, mengatakan, sebelum desa resmi berdiri, masih banyak warga yang buang air besar dan kecil di sungai yang sama sehingga kebersihan air minum yang tampak jernih sekalipun tak dapat dijamin.
”Setelah desa definitif, ada anggaran APBD 2007 dari kabupaten untuk bikin bak dan sambungan (air bersih) ke rumah-rumah. Tetapi, karena belum mencukupi, ada lagi bantuan dari Pamsimas (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat),” ujar Sutami.
Petugas Pamsimas juga membantu desa membentuk lembaga pengelola jaringan air bersih, yaitu Kelompok Keswadayaan Masyarakat (KKM) Bogani yang kini diketuai oleh Sutami. Tugas utamanya adalah memelihara bak serta jaringan pipa tersebut dengan iuran bulanan dari warga.
Namun, kata Sutami, membayar saja tak cukup. Warga harus turut berperan aktif dalam pemeliharaan dengan cara sederhana, yaitu membiarkan keran air di rumahnya terbuka demi mencegah kebocoran pipa distribusi.
”Misalnya di rumah ada tiga keran, minimal ada satu yang dibiarkan mengalir terus. Alhamdulillah, kami belum harus berhemat karena mata air tidak pernah kering dan penduduk masih sedikit,” paparnya.
Akses mudah
Pamsimas kembali hadir di Mengkang pada 2021. Sebuah bak penampung baru dibangun di Yoyataban, sedangkan bak lain yang telah lama berdiri direhabilitasi dan diperbesar demi meningkatkan kapasitas tampung.
Secara nasional, Pamsimas telah dilaksanakan dalam tiga tahap di seluruh Indonesia antara 2008 dan 2021. Program itu telah menjangkau 35.928 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Hasilnya, 24,5 juta orang mendapat akses fasilitas air minum secara berkelanjutan dan 16,4 juta jiwa dapat menikmati fasilitas sanitasi yang layak, tak terkecuali di Desa Mengkang.
Haryo Pamungkas, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Air Minum di Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulut—instansi di bawah Kementerian PUPR—menyatakan tak banyak tantangan dalam pelaksanaan Pamsimas di Desa Mengkang. Sebab, mata air yang terletak di perbukitan otomatis membuat air mengalir ke wilayah permukiman warga di lembah.
Keadaan ini jauh berbeda dengan, misalnya, Desa Ratatotok Timur di pesisir Minahasa Tenggara. Petugas harus menggali sumur hingga kedalaman 100 meter demi mendapatkan air tanah. Biaya operasional yang digelontorkan pun jauh lebih mahal.
”Di tiap desa, standar kami Rp 245 juta, tetapi menyesuaikan kondisi di lapangan. Memang sumber mata air membuat biaya operasional lebih murah karena sistem pengolahannya tidak kompleks, paling cuma saringan pasir lambat,” kata Haryo.
Kini, Mengkang termasuk dalam 86,3 persen dari 1.839 desa dan kelurahan di 15 kota/kabupaten di Sulut yang telah memiliki akses air bersih. BPPW Sulut, kata Haryo, akan berupaya mendampingi daerah-daerah yang telah terjamah Pamsimas sembari meningkatkan capaian hingga 100 persen.
Tugas menjaga
Pada 2021 pula, pemerintah Desa Mengkang mendirikan bak penampung di mata air Dolipoga yang terletak di dalam kawasan TNBNW beserta jaringan pipanya dengan memanfaatkan Dana Desa. Hasilnya, layanan air bersih dapat mencakup lebih banyak warga.
Kemudahan akses air bersih pun, menurut Sangadi (kepala) Desa Mengkang, Lam Makalalag (56), menjadi wujud kemerdekaan desanya. Apalagi, sumbernya tak pernah kering dan mampu memenuhi segala kebutuhan dasar warga.
Namun, di balik itu, terdapat tanggung jawab besar untuk melestarikan hutan di sekitar kedua mata air. ”Pemerintah desa sudah mengeluarkan peraturan terkait perlindungan di hulu mata air. Seluruh masyarakat, baik warga Desa mengkang maupun bukan, dilarang menebang pohon dan tanaman di sekelilingnya karena debit air pasti akan berkurang,” katanya.
Menurut Lam, pemerintah desa selalu menjaga komunikasi yang baik dengan Balai TNBNW sebagai otoritas yang bertugas menjaga kelestarian ekosistem asli di kawasan hutan seluas 282.089,93 hektar yang membentang dari Sulut hingga Gorontalo itu. “Kami selalu berkolaborasi, bersama-sama mengawasi,” ujarnya.
Antara 2007 dan 2021, Balai TNBNW senantiasa berjalan beriringan dengan Desa Mengkang. Setidaknya area terbuka seluas 30 hektar di sekitar desa telah dipulihkan lagi dengan penanaman beragam pohon buah-buahan asli hutan TNBNW, seperti kemiri, durian, pala, serta jenis kayu-kayuan seperti beringin, cempaka, dan nantu.
Menurut Kepala Balai TNBNW, Supriyanto, masyarakat diharapkan dapat memetik keuntungan dari hutan tanpa harus menebang, yaitu dalam bentuk buah-buahan. ”Sumber airnya juga akan terjaga dan semakin besar,” katanya.
Kendati demikian, hutan TNBNW di wilayah Bolaang Mongondow kini tengah menghadapi ancaman serius pertambangan emas tanpa izin (PETI), tak terkecuali di Kecamatan Lolayan, tempat Desa Mengkang berada. ”Masyarakat ingin memperoleh jumlah (uang) yang besar dalam waktu singkat,” kata Supriyanto.
Pada 2020, dua warga Desa Mengkang yang terlibat PETI harus dipenjarakan selama 13 bulan karena mengancam aparat yang sedang berpatroli. Sejak itu, hubungan Desa Mengkang dan Balai TNBNW merenggang.
Hal itu pula yang ditengarai menjadi alasan izin pemanfaatan mata air Dolipoga yang berada di dalam kawasan TNBNW belum diurus. ”Kami akan mencoba memberi pendampingan, kendalanya di mana, supaya izinnya bisa cepat keluar. Selama saya ada di kantor, satu hari akan selesai,” kata Supriyanto.
Keberlimpahan air bersih di Desa Mengkang, sebagaimana dikatakan Lam, adalah suatu anugerah yang memerdekakan. Menjaga keutuhan hutan taman nasional menjadi cara mempertahankannya karena air bersih tak akan pernah tergantikan, bahkan oleh emas.