Merajut Kemerdekaan dari Kampung Transmigran
Transmigran berkontribusi besar menggerakkan roda pembangunan terutama di daerah pinggiran nusantara. Bersama penduduk lokal, mereka bahu membahu menggarap lahan sebagai jalan menuju kesejahteraan.
Banyak yang berhasil, tetapi tidak sedikit yang masih harus terus berjuang merajut kemerdekaannya.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 waktu setempat saat tiba di Desa Lubuk Talang, Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, Selasa (26/7/2022). Hujan yang mengguyur sejak Senin pagi hingga Selasa dini hari menyebabkan jalanan sepanjang 20 kilometer yang dilalui menjadi becek dan licin.
Dari Kantor Desa Lubuk Talang, rencananya perjalanan dilanjutkan menuju Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Lapindo sejauh 16 kilometer. Namun, belum sampai 1 kilometer, laju kendaraan dihentikan oleh sejumlah petani sawit dan penggarap ladang palawija yang berpapasan di jalan. Mereka mengatakan kondisi jalan tidak bisa dilalui kendaraan biasa.
”Mobilnya pakai satu atau dua (berpenggerak tunggal atau ganda)? Kalau satu, tidak bisa lewat, jalannya tanah dan penuh air. Harus menginap dulu semalam tunggu jalan kering,” ujar Sumarno (55), warga Desa Gajah Makmur, saat berpapasan.
Melihat situasi tersebut, upaya mencari pinjaman kendaraan berpenggerak ganda pun ditempuh. Namun, sejumlah pemilik kendaraan mengeluhkan ketersediaan bahan bakar minyak jenis solar subsidi milik mereka yang menipis. Harus membeli di SPBU di pusat kota Mukomuko yang berjarak sekitar tiga jam.
Sesampai di SPBU pun belum tentu bisa membeli solar karena ketidakpastian pasokan dari Pertamina. Truk tangki bisa datang datang malam hari atau dini hari. Sementara itu, antrean kendaraan yang akan membeli solar telah mengular. Mayoritas truk pengangkut sawit dan truk batubara.
Kepala Desa Lubuk Talang Siswandi mengatakan, UPT Lapindo merupakan permukiman khusus para transmigran program Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang dibangun sejak 2007. Jumlah keluarga yang ditempatkan di sana awalnya 200 keluarga dengan luas lahan 611 hektar (ha).
Setiap keluarga menerima 2 ha dengan rincian 0,25 ha untuk permukiman dan sisanya 1,75 ha lahan garapan untuk perkebunan kelapa sawit. Seiring berjalannya waktu, jumlah transmigran yang mayoritas berasal dari Jawa Tengah itu berkurang tinggal 107 keluarga. Dari jumlah tersebut, hanya 86 keluarga yang menetap, 21 keluarga lainnya mencari kerja di luar desa dan jarang pulang.
Ekonomi transmigran di Lubuk Talang hanya bertumpu pada bagi hasil pengelolaan kebun sawit (plasma sawit) sebesar Rp 200.000-Rp 300.000 per tahun per keluarga. Untuk menyambung hidup, warga bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan yang dikelola oleh perusahaan sawit.
”Untuk meringankan beban ekonomi, hampir 80 persen keluarga transmigran menerima program bantuan sosial seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai),” ujar Siswandi.
Selain jalan yang sulit diakses dan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas, permukiman transmigran Lubuk Talang kerap berkonflik dengan satwa, terutama harimau, yang memakan ternak warga, seperti kambing dan sapi. Hal itu terjadi karena lokasinya dekat dengan kawasan hutan.
Baca juga: Teladan Juang dari Bengkulu
Siswadi mengatakan, UPT Lubuk Talang butuh sentuhan dari Kementerian PDTT, Pemprov Bengkulu, dan Pemkab Mukomuko agar dapat berkembang menjadi desa definitif sehingga kesejahteraan warganya meningkat. Prosesnya tidak mudah, tetapi dia optimistis bisa dilakukan jika pemerintah saling bersinergi.
Di Mukomuko telah banyak kampung transmigran yang berhasil berkembang menjadi desa definitif. Salah satunya, Desa Rawa Mulya, Kecamatan XIV Koto, yang berjarak 17 km dari kantor Bupati Mukomuko dengan akses jalan sebagian beraspal dan sebagian lagi berbatu koral. Untuk mencapai pusat pemerintah desa harus melalui perkebunan sawit rakyat di atas tanah gambut.
Kepala Badan Permusyawaratan Desa Rawa Mulya Sugeng mengatakan, desanya dulu bernama SP (Satuan Permukiman) VII. Kampung ini ditempati 300 keluarga transmigran dari Kabupaten Boyolali, Jateng, yang tergusur proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo. Selain itu, terdapat 75 keluarga transmigran lokal Bengkulu.
Sugeng merupakan salah satu transmigran dari Boyolali. Awalnya dia datang bersama istri dan satu anak. Sekarang Sugeng telah memiliki tiga anak dan seorang cucu yang merupakan generasi kedua dan generasi ketiga kampung transmigran. Dia tak mau lagi kembali ke Pulau Jawa karena telah hidup sejahtera dengan berkebun sawit dan menanam hortikultura di pekarangan yang luas.
Kepala Desa Rawa Mulya yang juga generasi pertama transmigran dari Boyolali, Nodo (57), mengatakan, total penduduk saat ini 617 keluarga. Jumlah warganya dulu sekitar 1.000 jiwa dan saat ini lebih dari 2.000 jiwa. Setiap keluarga menerima lahan 2 ha dengan rincian 0,25 ha untuk rumah dan 1,75 ha untuk sawah.
”Dulu, para transmigran diminta mengolah sawah berbekal keterampilan dari daerah asal. Namun, hingga tahun 1994, usahanya gagal karena lahan yang digarap berupa gambut dan sering banjir. Uang saku dari pemerintah habis dan tabungan ludes. Untuk makan setiap hari, harus bekerja sebagai buruh perkebunan sawit yang dikelola perusahaan,” ucap Nodo.
Para transmigran kemudian memberanikan diri beralih menanam kelapa sawit. Mereka mengandalkan pengetahuan yang diperoleh selama bekerja sebagai buruh perkebunan. Tiga tahun berselang, pohon-pohon sawit itu mulai dipenuhi tandan buah segar yang laku keras di pasaran.
Dari hasil perkebunan sawit inilah, jalan kesejahteraan para transmigran terbuka lebar. Taraf ekonomi warga berangsur meningkat, rumah-rumah yang dulu dari kayu mulai dibangun permanen bahkan berlantai dua. Anak-anak mereka juga mampu meraih pendidikan hingga perguruan tinggi.
”Seandainya saya dulu tidak ikut transmigrasi, mungkin tidak akan mampu menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi,” ujar Nodo, pensiunan aparatur sipil negara sebagai Sekretaris Desa Rawa Mulya.
Nodo dan istrinya, Lasiyem (55), dikaruniani tiga anak, yakni Tono, sarjana strata satu matematika; Tini, sarjana S-1 pendidikan; dan Siti yang masih kuliah di jurusan matematika. Saat di Kedung Ombo dia menyewa lahan Perhutani untuk ditanami palawija di bawah tanaman tegakan selama dua tahun. Namun, karena lahan Perhutani terkena proyek pembangunan waduk, dia pun kehilangan ladang garapan.
”Saat itu saya bersikeras ikut transmigrasi bersama petani penggarap lainnya. Saya yakin transmigrasi jalan satu-satunya untuk memperbaiki nasib. Alhamdulillah selama 32 tahun ikut transmigrasi keyakinan saya pun akhirnya terwujud,” kata Nodo.
Lubuk Talang dan Rawa Mulya adalah potret kehidupan di kampung transmigran. Kabupaten Mukomuko merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Utara. Pembangunan di daerah yang berjarak 269 km dari Kota Bengkulu ini tak bisa dilepaskan dari peran transmigran yang didatangkan secara besar-besaran sejak 1980-an atau masa Orde Baru.
Baca juga: Kota Bengkulu Melintasi Waktu
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Mukomuko Gianto mengatakan, jumlah penduduknya 190.000 jiwa dan 35 persen di antaranya merupakan transmigran, terutama dari Pulau Jawa. Perekonomian daerah ditopang oleh usaha sektor pertanian subsektor perkebunan dengan komoditas unggulan kelapa sawit.
”Luas perkebunan sawit yang dikelola rakyat secara swadaya mencapai 103.000 hektar, sedangkan perkebunan besar swasta (PBS) hanya 52.000 ha. Artinya, perkebunan rakyat menjadi tulang punggung ekonomi daerah,” kata Gianto.
Kehadiran transmigran berkontribusi signifikan sebagai penyedia tenaga kerja di sektor perkebunan sawit dan pengelola perkebunan sawit rakyat. Transmigran juga membuka jalan bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sehingga lahir produk-produk inovatif, seperti usaha pembuatan gula merah dari nira sawit dan produksi kerupuk yang dikembangkan Desa Rawa Mulya.
Kepala Dinas Penanaman Modal, Perizinan, dan Ketenagakerjaan Mukomuko Juni Kurnia Diana mengatakan, seluruh kampung transmigran telah bertumbuh pesat menjadi desa definitif dan desa mandiri, kecuali UPT Lapindo di Desa Lubuk Talang. Pihaknya telah mengusulkan pemekaran unit transmigrasi Lubuk Talang menjadi desa definitif ke Pemprov Bengkulu dan Kementerian PDTT dan berharap segera ditindaklanjuti.
Pemkab Mukomuko tidak mampu menyelesaikan persoalan di Lubuk Talang sendirian karena terbatasnya anggaran, sumber daya manusia, dan masalah kepemilikan lahan. Di sisi lain, hampir seluruh desa definitif dan desa mandiri eks transmigran tengah menanti pengembangan. Salah satunya kebutuhan lahan garapan bagi keturunan transmigran agar mereka semakin produktif.
”Anak-anak transmigran semakin banyak. Mereka juga telah memiliki keluarga baru sehingga butuh lahan garapan baru untuk menopang kebutuhan ekonominya. Pengembangan lahan inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemda,” ucap Juni.
Perjuangan merajut kemerdekaan di kampung transmigran memang bukan perkara gampang. Namun, peluang mencapai jalan kesejahteraan itu tetap terbuka lebar jika terus diisi dengan daya juang tinggi dan sinergi dari seluruh pemangku kebijakan di negeri ini.