Babel dalam Semangkuk Lempah Kuning
Kebiasaan dan adat tradisi daerah salah satunya bisa dilihat dari kuliner yang disajikan. Di Babel, gambaran ini pun terlihat.

Masakan Lempah Kuning Rumah Makan Tebing, Pangkal Pinang, Bangka.
Potret masyarakat Bangka-Belitung tersaji dalam semangkuk lempah kuning, sup kuah kuning khas daerah itu. Santapan itu menggambarkan masyarakat Babel yang sangat terikat alam dan lingkungannya.
Senin (18/7/2022) siang, warung makan Lempah Kuning Tebing di Jalan Raya Sampur, Kota Pangkal Pinang, ramai. Pegawai warung langsung mengarahkan setiap pembeli untuk memilih ikan segar sehingga ikan bisa segera dimasak.
”Ikannya mau digoreng apa dibumbu lempah kuning?” tanya pekerja itu. Sesuai dengan permintaan konsumen, koki pun bergegas memasak menu pesanan selama lebih kurang 30 menit. Inilah istimewanya, masakan yang terhidang, fresh.
Rata-rata pelanggan memilih ikan dimasak lempah kuning. ”Lempah kuning masakan khas Bangka, makanya banyak diminati. Sudah seperti masakan sehari-hari,” kata Yang Utomo (62), pengelola warung.
Saking ramainya warung yang dibangun sejak 5 tahun lalu itu, dalam sehari mereka menghabiskan 50 kilogram (kg) ikan segar. Ikan segar di antaranya kerapu dan kakap putih. Warung buka sejak pukul 09.00-13.30 WIB. ”Jam segini sudah habis. Kami dalam sehari menghabiskan 50 kg ikan, yang dimasak hingga 600 porsi,” kata Utomo.
Baca juga: Menikmati Lempah Urong Tugang

Masakan Lempah Kuning Rumah Makan Tebing, Pangkal Pinang, Bangka.
Mereka bukan pegawai di sini. Kami menjalankan warung bersama-sama. Mereka adalah keponakan, besan, dan saudara lain. Kami membangun warung bersama dan mendapatkan hasil dengan sistem bagi hasil
Lempah kuning adalah masakan ikan bumbu kuning dengan kuah bening. Rempah-rempah bawang merah, putih, cabai, dan aneka rempah lain, dimasak dengan irisan buah nanas sehingga menciptakan rasa segar. Campuran rasa asam, pedas, manis, dan segar. Sangat pas di tengah terik mentari Bangka siang itu.
”Ikannya segar sehingga masakan khas Bangka ini benar-benar nikmat,” kata Akbar, penikmat lempah kuning di warung tersebut. Menurut dia, setiap rumah pasti bisa memasak lempah kuning. Masakan diwarisi dari generasi ke generasi.
Hal istimewa dalam semangkuk lempah kuning siang itu adalah warungnya. Warung Lempah Kuning Tebing adalah warung keluarga. Setiap mereka memiliki andil dalam kesuksesannya. Bukan urusan pemilik dan pekerja.
”Mereka bukan pegawai di sini. Kami menjalankan warung bersama-sama. Mereka adalah keponakan, besan, dan saudara lain. Kami membangun warung bersama dan mendapatkan hasil dengan sistem bagi hasil,” kata Utomo yang merupakan keturunan Tionghoa.
Baca juga: Lempah Kuning Kaya Rasa

Masakan Lempah Kuning Rumah Makan Tebing, Pangkal Pinang, Bangka.
Menariknya, mereka yang bekerja bersama Utomo adalah warga keturunan Melayu. Untung-rugi ditanggung bersama. Barangkali, hubungan kekerabatan dan gotong royong lintas etnis itulah yang membuat semangkuk sup lempah kuning sungguh kaya rasa.
Sosiolog Universitas Bangka Belitung Fitri Ramdhani Harahap mengatakan, lempah kuning tidak sekadar masakan. Lebih jauh, ia menjadi potret kehidupan masyarakat Babel.
Lempah kuning adalah sejenis sup ikan. Dan, ikan adalah hidup keseharian nelayan. Bangka Belitung selain dikenal sebagai lumbung timah, juga sentra perikanan. Meski begitu, bahan utama tidak selamanya ikan. Bisa juga lempah kuning berbahan ayam, daging, atau sayuran.
Baca juga: Petualangan Lidah di Bangka Belitung
”Lempah kuning ikan akan menjadi sajian untuk tamu penting. Ini simbol bahwa tamu diterima dengan tangan terbuka, dan dianggap sebagai bagian keluarga. Ada ikatan kebersamaan. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Babel cukup terbuka, cair, bersahabat, dan adaptif,” kata Fitri.
Adaptif, karena isi sayur lempah kuning bisa berbeda-beda, sesuai apa yang ada di kebun. ”Lempah kuning ikan biasanya dilengkapi sayur akar keladi. Kalau lempah kuning ayam biasanya dilengkapi daun kedondong dan seterusnya. Ini menunjukkan masyarakat Babel sangat adaptif dalam masakannya, menyesuaikan apa yang ada di sekitar,” kata Fitri.

Barista Warung Kopi Kong Djie sedang menyeduh kopi untuk pelanggannya di Tanjung Pandan, Pulau Belitung, Bangka Belitung, Jumat (22/7/2022).
Kopi
Di tempat berbeda, tepatnya di Belitung, kopi menjadi keseharian masyarakat. Pagi, siang, sore, hingga malam tak lengkap tanpa minum kopi.
Di Belitung berderet-deret warung kopi buka di sepanjang jalan. Saking banyaknya, julukan ”Kota 1001 warung kopi” disematkan untuk Kabupaten Belitung Timur. Patung teko dipajang di pusat kota sebagai penegas bahwa warung kopi menempati ruang khusus di sana.
Warung kopi bukan sekadar tempat nongkrong. Lebih jauh, warung kopi adalah ruang interaksi (sosial). Di sini, masyarakat bisa saling berbagi informasi, melepas penat, dan mencari solusi persoalan.
”Boy…,” sapa seorang pelanggan yang langsung mencari tempat di bagian dalam kedai kopi Kong Djie Coffe, Jalan Siburik, Tanjung Pandan, Belitung, Jumat (22/7/2022) malam. Pria yang disapa Boy, yaitu barista kedai tersebut, langsung menanggapi. ”Ya, Bang, seperti biasa ya...?,” tanyanya sambil berteriak.
Baca juga: Lewat Pantura, Jangan Lupa Nikmati Kuliner di Probolinggo
Saling sapa adalah hal lumrah di kedai kopi yang sudah ada sejak tahun 1943 tersebut. ”Ini karena semua adalah pelanggan lama. Kalau orang baru, biasanya akan mulai berkenalan dan bertanya terlebih dahulu,” kata Boy (28), pria yang sudah belasan tahun menjadi barista di sana.

Suasana Warung Kopi Kong Djie di Tanjung Pandan, Pulau Belitung, Bangka Belitung, Jumat (22/7/2022).
Bagi Boy, kedai tempatnya bekerja adalah ”rumah bersama”. Lokasi warung tak jauh dari Pelabuhan Perikanan Tanjung Pandan. Sejarahnya, kedai dulunya adalah tempat nongkrong kuli angkut pelabuhan pada zaman kolonial.
”Sampai sekarang, kami sengaja tidak mengganti kebiasaan lama. Misalnya, ada orang membeli kopi dengan plastik, seperti kebiasaan pekerja pelabuhan zaman dahulu, tetap kami layani. Kami juga tidak mengubah kedai menjadi modern. Karena bagi kami, inilah tradisi dan budaya kami. Harus kami lestarikan. Ini pilihan kami,” kata Boy.
Baca juga: Gerakan ”Ngopi” dari Belitung
Justru, dengan menjaga ”kesejarahan”, kedai terus laris dari waktu ke waktu. Dalam sehari, lebih dari 4 kg kopi habis. Secangkir kopi harganya mulai dari Rp 8.000.
Kedai nan ”homey” membuat pelanggan betah. ”Di sini bukan sekadar tempat nongkrong, tetapi tempat ngobrol politik hingga kejadian di sekitar. Bagi kami, tempat ini jadi ajang sharing pekerjaan. Yang tidak punya job pun bisa cerita, dan cari job dari yang lain,” kata Anmal Deka (25), warga Belitung yang menjadi seorang tour guide.
Dari warung kopi, keramahan Belitung terasa menyejukkan. Seperti halnya, semangkuk sup ikan lempah kuning nan menyegarkan. Tak bisa dimungkiri, masyarakat Babel sejatinya terikat dengan alam dan lingkungan. Tersaji pada semangkuk lempah kuning, dan menyeruak di kehangatan warung-warung kopi.