Nurani Bebas Suku Pengembara Laut di Kepulauan Riau
Tak jauh dari jalur perdagangan tersibuk dunia, Selat Malaka, masih bertahan salah satu suku bangsa Melayu tua. Di atas sampan beratap daun pandan, mereka hidup berpindah mengikuti nurani bebas di laut lepas.
Oleh
PANDU WIYOGA
·6 menit baca
Belasan rumah panggung dari kayu berjejer mengelilingi pesisir sebuah pulau yang tak bernama. Beberapa sampan beratap kajang atau anyaman daun pandan hutan ditambatkan di tiang-tiang rumah yang menancap ke laut.
Di salah satu serambi rumah, seorang laki-laki berambut putih tengah mengisap kipal atau pipa rokok. Ia dikelilingi orang-orang bermata merah dengan rambut keriting yang badannya tegap dan kulitnya legam.
Pak tua itu adalah Akub, ketua kelompok suku Laut di Kampung Air Bingkai. Di sana ada 17 keluarga. Tempat tinggal mereka masuk wilayah administrasi Desa Tajur Biru, Kecamatan Temiang Pesisir, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Akub yang seluruh rambutnya telah pudar memutih itu tak ingat kapan ia lahir. Namun, ia mengira-ngira usianya kini sudah lebih dari 70 tahun.
Suku Laut, seperti kelompok Akub, dulu mengemban peran sebagai wira laut pada masa Kerajaan Sriwijaya sampai Kesultanan Riau-Lingga. Mereka diberi kuasa oleh raja dan sultan untuk mengawasi perairan luas yang membentang dari pantai timur Sumatera hingga Thailand Selatan.
Di Semenanjung Malaka, suku pengembara laut dikenal dengan berbagai nama. Di Thailand, mereka disebut suku Urak Lawoi. Sedangkan di Malaysia kelompok etnis itu lebih dikenal sebagai suku Moken.
Suku pengembara laut merupakan salah satu suku bangsa proto Melayu. Suku Urak Lawoi, Suku Moken, ataupun suku Laut memiliki kesamaan pola hidup nomadik, yakni berpindah-pindah menggunakan perahu.
”Dulu saya sering dayung sampai Batam, bahkan terus (mendayung) sampai Singapura juga. Tapi sekarang tak lagi, karena saya kira dunia ini sudah beda. Saya takut ditangkap kalau pergi jauh-jauh,” kata Akub, Sabtu (16/7/2022).
Hingga sekitar tahun 2010, Akub masih hidup berpindah-pindah bersama istri dan tujuh anaknya. Seluruh anggota keluarga mereka tinggal dalam tiga sampan kajang yang masing-masing panjangnya lebih kurang 9,5 meter.
Sampan kajang adalah rumah sekaligus dunia kecil suku Laut. Semua aktivitas, mulai dari memasak, tidur, menangkap ikan, hingga melahirkan, dilakukan di dalam sampan.
Suku Laut mengandalkan serampang atau tombak untuk menangkap ikan. Serampang ini terdiri atas beberapa jenis, ada mata satu, tiga, dan lima. Tombak itu mereka pakai untuk menangkap ikan, cumi, dan penyu.
Selain menangkap ikan, sesekali suku Laut juga turun ke darat untuk berburu babi serta pelanduk. Saat berburu di darat mereka menggunakan lembing atau tombak pipih bermata satu.
Di dalam sampan, suku Laut memelihara koyok atau anjing, serta burung bayan, sejenis nuri. Koyok berguna membantu mereka berburu di darat. Adapun burung bayan dipercaya bisa membaca tanda-tanda alam dan memberi peringatan saat cuaca buruk akan terjadi di laut.
Selain untuk berburu babi dan pelanduk, suku Laut juga turun ke darat untuk mengambil air tawar dan mengubur jenazah. Namun, mereka tak suka berlama-lama di darat. Bagi mereka darat adalah tempat orang mati. Adapun orang yang masih hidup harus terus bergerak mengembara di laut lepas.
Di Kepri, diperkirakan ada 44 kelompok suku laut yang jumlahnya sekitar 12.800 jiwa. Sebagian besar, 30 kelompok di antaranya, tersebar di pulau-pulau kecil sekitar Kabupaten Lingga.
Pada awal 1970-an, pemerintahan Orde Baru memulai proyek pembangunan masif di Pulau Batam, Kepri. Bersama Singapura dan Johor, Batam dicita-citakan membentuk poros pertumbuhan ekonomi segitiga emas di Selat Malaka.
Buntutnya, suku Laut yang hidup secara nomaden pada masa itu dianggap sebagai warga negara tertinggal. Kala itu, pemerintah mencanangkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing bagi Suku Laut di Batam dan sekitarnya.
Pemerintah memberi bantuan rumah kepada ribuan pengembara laut agar mereka meninggalkan sampan dan menetap di darat. Di sinilah paradoks kehidupan suku Laut bermula, haruskah mereka berubah menjadi modern seutuhnya, atau bertahan dalam adat moyang dengan segala konsekuensinya.
Orang kami menganggap laut itu ibu dan hutan itu bapak. Ke sanalah kami mengadu. Kalau hutan tak ada lagi dan laut sudah rusak, ke mana kami harus pergi. (Tinong, warga suku Laut)
Kini, Suku Laut yang masih mempertahankan pola hidup mengembara cenderung membatasi pergerakan di perairan yang jauh dari keramaian. Mereka lebih sering berada di pulau-pulau kecil sekitar pesisir Lingga, sebelah selatan Pulau Batam.
Di sana juga Akub dan kelompoknya tinggal. Rumah-rumah yang mereka tempati adalah bantuan pemerintah pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kini, mereka hidup dalam masa transisi, setengah menetap dan setengah mengembara.
Perkampungan di Kampung Air Bingkai itu akan kosong selama Agustus-Oktober. Pada periode itu, Akub dan kelompoknya mengembara ke perairan sebelah utara, ke arah Pulau Batam, mengikuti arah migrasi ikan.
”Pada bulan-bulan lain pun, sebenarnya kami sering juga berkelam (mengembara dengan sampan). Cuma memang tak lama seperti dulu, cukup satu atau dua minggu saja, lalu nanti pulang lagi ke sini,” ujar Akub.
Sebagian besar suku Laut di Air Bingkai kini hidup seminomadik. Namun, ada beberapa orang di sana yang justru memilih kembali hidup mengembara sepenuhnya di atas sampan.
Salah satunya adalah Acung. Sehari-hari, ia mengembara dengan sampan bersama istri dan satu anaknya. Mereka hidup berpindah mengarungi selat-selat di antara ratusan pulau kecil sekitar Lingga dan Batam.
Sesekali, Acung dan keluarganya pulang ke Kampung Air Bingkai. Namun, mereka tidak singgah ke rumah sama sekali. Keluarga itu hanya singgah sebentar di kampung untuk menjual ikan dan membeli perbekalan.
”Lebih enak (tinggal) di sampan, mudah pindah kalau bosan. Rumah (bantuan dari pemerintah) itu sudah lapuk, kami takut mau masuk,” kata Acung.
Asa wilayah adat
Namun, sampai kapan suku Laut bisa bebas mengembara? Suku Laut yang hidup bergantung dengan alam kini harus menghadapi kerusakan lingkungan akibat tambang di laut, alih fungsi hutan bakau, dan penangkapan ikan berlebih.
Peneliti Sea Nomads dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, Wengki Ariando, berharap agar negara segera memberikan pengakuan dan perlindungan hukum kepada suku Laut. Hal itu bisa dimulai pemerintah daerah dengan memasukkan wilayah adat suku Laut ke dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
”Sayangnya, di Kepri, tidak ada satu pun wilayah suku Laut yang dimasukkan dalam RZWP3K. Akibatnya, suku Laut di Kepri kehilangan hak untuk diprioritaskan dalam pemanfaatan ruang laut yang sejatinya merupakan wilayah adat mereka,” kata Wengki saat dihubungi.
Pada Minggu (17/7/2022), masyarakat suku Laut dari Lingga bertolak ke ibu kota Provinsi Kepri di Tanjung Pinang, yang berjarak sekitar 122 kilometer. Mereka mengadu kepada Gubernur Kepri mengenai munculnya sejumlah tambang pasir kuarsa yang merusak hutan bakau dan mencemari laut.
”Orang kami menganggap laut itu ibu dan hutan itu bapak. Ke sanalah kami mengadu. Kalau hutan tak ada lagi dan laut sudah rusak, ke mana kami harus pergi,” keluh Tinong, warga suku Laut di Pulau Linau, Kecamatan Lingga Utara.
Kehidupan khas yang dilakoni suku Laut merupakan kekayaan negeri, warisan budaya maritim. Kemerdekaan jiwa-jiwa pengembara di lautan luas mesti tetap diberi ruang. Tanggung jawab semua untuk teguh menjaga laut yang menjadi rumah alami bagi mereka.