Segenggam Dunia di Pelosok Routa, Sulawesi Tenggara
Akses telekomunikasi dan internet membuka cakrawala informasi di wilayah pelosok Sultra ini.
Setelah lebih dari 70 tahun memperingati Kemerdekaan RI, warga di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, akhirnya menggenggam kebebasan dan akses ke dunia luas. Saluran telekomunikasi dan internet yang masuk tahun lalu membuka cakrawala informasi di pelosok Sultra ini. Sebagian warga bahkan kini juga berdagang daring, padahal sebelumnya jika ada kabar keluarga di luar yang meninggal mereka lebih sering tak tahu.
Duduk selonjoran di teras rumahnya di Desa Lalomerui, Routa, Erni Darmo (34) sibuk memilah foto di telepon pintarnya. Ia menyeleksi foto beragam kue sebelum diunggah di laman media sosial Facebook miliknya pada Kamis (21/7/2022) yang gerah. Seusai memilih, jarinya mengetik lincah. ”Bismillah redy (ready) kue donat,” begitu tulisnya.
Simbol memuat unggahan terlihat di layar ponsel. Butuh lebih dari sekitar satu menit hingga akhirnya gambar berhasil terunggah. Ia menunggu komentar atau pesan pendek jika ada yang memesan. Satu tanda notifikasi muncul, salah satu teman daringnya menyukai postingan yang baru saja diunggah.
Jualan secara daring dilakoni Erni sejak satu tahun terakhir. Hal itu dilakukan setelah jaringan telekomunikasi, juga internet, masuk untuk pertama kalinya. Ibu tiga anak ini pun merasakan kemudahan yang selama ini jarang terbayangkan di tempat tinggalnya lebih dari sepuluh tahun terakhir.
”Kalau dulu orang jalan kaki bawa kue untuk berjualan. Sekarang tinggal santai di rumah, upload gambar, sudah jualan juga,” katanya semringah.
Erni lahir dan besar di Asera, Kabupaten Konawe Utara, berjarak sekitar 80 kilometer arah selatan Lalomerui. Ia sempat menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, selama dua tahun. Setelah pulang, ia menikah dan menetap di Lalomerui, kampung sang suami.
”Waktu pulang di sini betul-betul gelap. Bukan cuma karena daerahnya yang lembah, melainkan memang belum ada listrik. Jalan keluar kampung saja butuh berjam-jam. Itu kalau kondisi kering,” kenangnya.
Setelah tiba, ia menggunakan kemampuan memasak untuk berjualan kue dan makanan. Wilayah Lalomerui yang dipenuhi sawit dan mulai masuknya perusahaan nikel membuat banyak pekerja yang datang. Namun, proses pemasaran jualannya dilakukan secara konvensional, dari mulut ke mulut.
Setahun terakhir, Kecamatan Routa secara umum mulai berbenah, termasuk Lalomerui. Jaringan listrik masuk, hampir bersamaan dengan masuknya akses komunikasi. Meski hanya satu provider, masuknya jaringan telepon dan internet begitu didambakan masyarakat.
Tidak hanya dipakai untuk sekadar aktif di media sosial, Erni memanfaatkan jaringan yang ada untuk berjualan secara daring. Ia bahkan berjualan pakaian jadi yang dipesannya dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, atau dari Surabaya, Jawa Timur.
Berjualan daring memberi dampak terhadap penghasilannya. Permintaan meningkat hingga 20 persen setiap bulan. Ia tidak perlu juga berkeliling kampung untuk berjualan, cukup memantau layar ponselnya saja menunggu pesanan.
”Banyak sekali manfaatnya. Kami bisa pesan barang dalam sekejap atau mendapatkan pembeli dari status Whatsapp. Kalau dulu, ya Tuhan, tidak bisa dibayangkan susahnya. Namun, sekarang baru satu provider yang bisa. Jaringan yang lain belum ada karena tower-nya (BTS) belum ada di sini,” ujarnya.
Erni bercerita, ia telah membeli ponsel pintar sejak tiga tahun lamanya. Namun, ia baru bisa menggunakan saat keluar dari Lalomerui. Dulunya, ia hanya memakai untuk menatap gambar atau video yang telah diambil sebelumnya.
Berjarak 100 meter ke ujung barat desa, Musriah duduk melepaskan lelah di samping rumahnya. Bersama suaminya, Atumi (52), ia baru saja pulang dari kebun ladanya, sekitar 10 kilometer ke arah utara desa.
Bersandar di tempat duduk dari papan bekas yang menempel di dinding rumah, ia mengambil telepon genggamnya. Setelah memencet tombol, ia menyelipkan telepon di telinga dan diapit jilbab. Ia bercerita lancar dalam bahasa Tolaki, bahasa suku terbesar di daratan Sultra.
”Gimana kabarnya adikmu? Sudah pulang?” begitu Musriah menirukan kembali percakapannya setelah menutup telepon. Ia baru saja menelepon Tuti, anak pertamanya yang berada di Kendari. Anak ketiganya, Marni, sedang bersekolah di salah satu SMK di ibu kota Sultra itu.
Dengan masuknya jaringan telepon, ia bisa menghubungi keluarganya dalam sekejap mata. Kondisi ini berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. ”Waktu Tuti awal kuliah dulu pernah sampai tidak belanja makan tiga hari karena uangnya habis. Bagaimana caranya saya kirimkan uang kalau tidak tahu uangnya sudah habis. Baru tahu setelah dapat kabar dari tetangga yang baru pulang dari Kendari,” ujarnya.
Ia akhirnya berangkat sendiri ke Kendari menemui anaknya sembari membawa bekal dan uang. ”Padahal, biaya ke Kendari bisa lebih besar dari kirimannya, he-he-he,” sambungnya terkekeh.
Atumi, sang suami, menambahkan, sebelum akses komunikasi terbuka, kabar dari dunia luar sangatlah susah. Untuk menelepon keluarga di luar Sultra, di Kendari, atau hanya di Konawe, hanya bisa dilakukan sebulan sekali. Itu pun saat cuaca sedang baik dan tidak hujan.
Sering kali mereka tidak mengetahui kabar apa pun dari dunia luar. Informasi keluarga yang hanya berjarak puluhan kilometer pun tidak bisa didapatkan. Selain keluar kampung mencari jaringan seluler, informasi dari dunia luar baru diketahui saat ada tetangga atau keluarga yang datang ke wilayah ini.
”Dulu adik saya meninggal di Asera, sekitar 80 kilometer dari sini. Saya baru tahu sekitar satu minggu kemudian. Jadi, saya hanya dapat takziah malam ketujuhnya,” ujarnya lirih.
Akses terbuka
Desa Lalomerui dengan luas sekitar 45.000 hektar ini berpenduduk 84 keluarga atau sekitar 400 jiwa. Untuk mencapai desa ini, akses terdekat adalah melalui wilayah Konawe Utara. Dari Kendari, dibutuhkan sekitar delapan jam berkendara sekitar 200 kilometer. Perjalanan harus melalui jalan tanah, akses tambang, dan perkebunan sawit. Akses lain adalah melalui jalur selatan, masuk ke wilayah Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menyeberangi Danau Towuti, sebelum sampai di Routa.
Camat Routa Halim mengenang, saat masih remaja, ia harus menempuh perjalanan sekitar satu minggu untuk keluar dari Routa. Barang-barang dibawa dengan kerbau, melintasi jalan setapak, menyeberangi sungai, hingga bisa sampai ke pasar di Asera. Mereka biasanya menukar hasil panen dengan beras, garam, gula dan kebutuhan dasar lainnya.
Bahkan, di awal 2020, setelah empat tahun menjadi camat, ia harus mencari cara untuk melakukan komunikasi dengan dunia luar. Dari kantornya di ibu kota kecamatan, ia harus menempuh jarak sekitar 30 kilometer menuju tepian Danau Towuti, Luwu Timur. Wilayah Routa memang berbatasan dengan danau di wilayah Sulawesi Selatan ini. Di situ, ia meminjam jaringan telepon dari provinsi tetangga untuk sekadar menelepon.
”Saya tidak menyangka dan tidak pernah bayangkan kami di sini bisa menelepon karena melihat kondisi alam yang sangat menantang. Sekarang kami semua bisa menikmati program pemerintah ini,” urai Halim.
Sejak lebih dari satu tahun terakhir, akses komunikasi mulai terbuka. Melalui program dari Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika, awalnya ada empat desa yang menjadi lokasi pembangunan BTS, yaitu Desa Lalomerui, Kelurahan Routa, Desa Tirawonua, dan Desa Parudongka.
Pada akhir 2021, program Bakti kembali bertambah di tiga desa, yaitu Walandawe, Puuwiwirano, dan Tanggola. Saat ini, semua desa dan kelurahan di kecamatan seluas 218.858 hektar ini telah memiliki akses komunikasi dan jaringan internet.
Namun, Halim melanjutkan, jaringan internet dan telepon memang masih sangat terbatas. Sering kali, baik itu akibat cuaca buruk maupun pemakai lebih banyak, jaringan tidak bisa digunakan. ”Karena itu, kami berharap agar pemerintah atau swasta di bidang telekomunikasi bisa membangun atau menambah jaringan komunikasi di Routa ini. Jadi, ke depannya, akses bisa terus digunakan tanpa ada kendala lagi,” katanya.
Pembangunan di Routa mulai tampak seiring wilayah ini menjadi primadona baru kawasan industri. Perusahaan nikel skala besar telah masuk dan mulai mengerjakan lebih dari 20.000 hektar lahan untuk dibuat menjadi kawasan industri. Kawasan industri yang dinamakan Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP) bahkan telah masuk dalam dokumen pusat sebagai Program Strategis Nasional.
Sekretaris Daerah Konawe Ferdinan Sapan menjelaskan, pembangunan di Routa terus ditingkatkan sejak beberapa tahun terakhir. Masuknya infrastruktur telekomunikasi melalui program Bakti Kemnkominfo, misalnya, merupakan usulan daerah untuk membuka isolasi wilayah ini. ”Dari anggaran daerah, kami membangun puskesmas rawat inap, sekolah, dan kebutuhan dasar masyarakat lainnya. Hal ini terus berkesinambungan hingga saat ini. Namun, salah satu masalah utama yang belum diselesaikan adalah akses transportasi yang masih sulit,” katanya.
Dia bilang, akses jalan menuju Routa dari Konawe sebenarnya telah ada sejak dulu. Namun, jalan yang dibuka oleh masyarakat puluhan tahun lalu ini melewati sungai, gunung, hutan, dan belum bisa dilalui kendaraan umum.
Oleh karena itu, sejak tahun lalu, Pemkab Konawe telah mengusulkan ke Kementerian Kehutanan untuk penurunan status hutan lindung agar bisa membangun jalan. Namun, usulan itu belum disepakati. Menurut rencana, jalan tersebut dibangun dengan anggaran daerah dan bantuan dari perusahaan tambang yang saat ini membangun di wilayah Routa.
Ia mengakui, salah satu yang mengungkit pembangunan di Routa adalah berdirinya kawasan industri. Kawasan ini akan terus berkembang dan memberi dampak luas, mulai dari kemudahan akses transportasi, ekonomi, hingga lingkungan. Seiring dengan itu, persiapan terus dilakukan, baik dari infrastruktur, sumber daya manusia, hingga antisipasi dampak lingkungan. ”Jadi, pembangunannya inklusif yang melibatkan semua sektor, tidak eksklusif,” katanya.
Dia menambahkan, pemda sebenarnya telah lama memperhatikan wilayah ini. Namun, memang kendala utama adalah akses yang sangat sulit. ”Yang jelas, dalam beberapa tahun ke depan, wajah Routa akan berubah drastis dengan perkembangan yang terjadi di sana,” ujarnya.
Puana (80), tokoh masyarakat di Lalomerui, menuturkan, kemerdekaan memang mulai tampak sedikit demi sedikit di wilayah ini. Ia bisa menelepon anak dan cucu yang terpaut ratusan hingga ribuan kilometer jauhnya. ”Saya mau makan apel, tinggal telepon anak di Kendari. Besok sudah ada,” katanya.
Namun, ia berpesan agar kemerdekaan yang dirasakan ini bisa dijaga baik-baik. ”Kita sudah merdeka, tapi ada ’penjajah-penjajah’ lokal. Kalau tidak diurus dengan baik, kita tidak rasakan manfaatnya nanti,” ujarnya.