Tarif Rp 3,75 Juta ke TN Komodo, untuk Siapa?
Kenaikan tarif masuk ke TN Komodo terkesan bernuansa komersialisasi, bukan konservasi. Publik bertanya-tanya, untuk siapa pungutan Rp 3,75 juta itu?
Seekor komodo bergerak masuk ke hutan di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, Jumat (24/6/2022). Pada bulan Juni, komodo jarang dijumpai karena sedang memasuki musim kawin.
Pemerintah menaikkan tarif masuk ke kawasan Taman Nasional Komodo dari sekitar Rp 200.000 menjadi Rp 3,75 juta per orang, mulai berlaku pada Senin (1/8/2022). Masyarakat menolak kenaikan tarif tersebut dengan alasan akan berdampak pada pariwisata setempat. Muncul pertanyaan, untuk siapa kenaikan tarif hingga 19 kali lipat itu?
Dalam satu bulan terakhir, gelombang unjuk rasa terus berdatangan ke kantor pemerintah di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Massa aksi yang terdiri dari warga lokal, asosiasi pemandu wisata, pengelola hotel dan restoran, operator kapal wisata, serta kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah itu meminta tarif baru dibatalkan.
Seperti pada Jumat (29/7/2022), mereka menggelar aksi di luar salah satu hotel yang dijadikan tempat peluncuran aplikasi Inisa. Aplikasi dalam jaringan itu dipakai untuk proses registrasi bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Komodo dan Pulau Padar. Tarif ke dua pulau itulah yang mengalami kenaikan.
Pulau Komodo dan Pulau Padar merupakan lokasi wisata di dalam Taman Nasional Komodo yang paling tinggi pengunjungnya. Di Pulau Padar, wisatawan biasanya naik ke puncak lalu berpose. Pemandangan pulau dengan latar belakang bukit yang saling membelakangi, teluk dengan pasir putih dan laut biru bening, menjadi daya tarik tersendiri.
Sementara di Pulau Komodo, wisatawan diajak menyusuri jejak reptil komodo di dalam kawasan hutan. Di sana pula wisatawan dapat melihat komodo. Reptil purba yang ada sejak zaman dinosaurus berkelana di planet ini masih dapat dijumpai dari jarak dekat. Pengunjung bisa berpose dan berswafoto. Pulau itu dianggap sebagai asal-usul dari reptil komodo.
Kenaikan tarif baru itu diarsiteki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Pemerintah Provinsi NTT. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sony Libing mengatakan, kenaikan tarif itu berdasarkan kajian dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ada juga masukan dari para pegiat konservasi.
Dengan sistem baru ini, pemerintah provinsi juga akan ikut ambil bagian dalam pengelolaan kawasan itu dengan menugaskan PT Flobamor. Salah satu badan usaha milik daerah Pemprov NTT itu nantinya ikut mengatur sebagian dari pendapatan pariwisata untuk digunakan dalam program konservasi dan penataan kawasan.
Tetapi, kalau mau, bapak, saya pengin sekali lihat yang di Pulau Komodo, silakan enggak apa-apa juga, tetapi ada tarifnya yang berbeda. Itu, loh, sebenarnya simpel seperti itu, jangan dibawa ke mana-mana, karena pegiat-pegiat lingkungan, pegiat-pegiat konservasi juga harus kita hargai mereka, masukan mereka. (Presiden Joko Widodo)
Zeth menjelaskan, alasan kenaikan tarif di Pulau Komodo dan Pulau Padar lantaran dua pulau itu masuk dalam zona inti kawasan Taman Nasional Komodo. Padahal, zona itu adalah wilayah yang di dalamnya terdapat habitat komodo. Dan itu bukan hanya di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Penjelasan Zeth ini membingungkan.
Pasalnya, berdasarkan data statistik Balai Taman Nasional Komodo, populasi komodo tahun 2021 terdiri dari di Pulau Komodo sebanyak 1.728 ekor, Pulau Rinca 1.385 ekor, Pulau Padar 19 ekor, Pulau Gili Motang 81 ekor, dan Pulau Nusa Kode 90 ekor. Total keseluruhan 3.303 ekor di dalam kawasan taman nasional.
Baca juga: Tarif Masuk TN Komodo Ganggu Pariwisata
Harapan masyarakat agar Presiden Joko Widodo membatalkan kenaikan tarif itu tidak terjawab. Saat berkunjung ke kawasan itu pada 22 Juli 2022, Presiden juga menyetujui rencana kenaikan tersebut. Ia menyarankan, jika tarif ke Pulau Komodo dan Pulau Padar dianggap terlalu tinggi, wisatawan boleh memilih ke pulau lain seperti Rinca. Di Rinca juga terdapat spesies komodo yang sama.
”Tetapi, kalau mau, bapak, saya pengin sekali lihat yang di Pulau Komodo, silakan, enggak apa-apa juga, tetapi ada tarifnya yang berbeda. Itu, loh, sebenarnya simpel seperti itu, jangan dibawa ke mana-mana, karena pegiat-pegiat lingkungan, pegiat-pegiat konservasi juga harus kita hargai mereka, masukan mereka,” ucap Presiden saat itu.
Pariwisata terdampak
Latif (35), warga Pulau Komodo, lewat sambungan telepon pada Sabtu (30/7/2022) mengatakan, masyarakat lokal akan tetap melakukan perlawanan atas kenaikan tarif tersebut. Sehari sebelumnya, Jumat, mereka mendatangi pos jaga di Pulau Komodo dan meminta agar aktivitas di tempat itu dihentikan untuk sementara waktu. Mereka kecewa dengan pemberlakuan tarif baru.
Menurut Latif, kenaikan tarif akan membuat wisatawan enggan datang ke sana. Jika ada pun, tidak banyak. Hanya kalangan berduit. Dengan begitu, warga Pulau Komodo akan kehilangan sumber pendapatan dari sektor pariwisata. Padahal, hampir 90 persen warga di pulau itu kini bergantung pada sektor pariwisata.
”Lalu bagaimana dengan nasib kami di sini? Kehidupan kami telanjur bergantung pada pariwisata, mulai dari jualan aksesori, patung, makanan, hingga penginapan. Ini sangat tidak adil bagi kami,” katanya. Di Pulau Komodo terdapat Desa Komodo dengan jumlah penduduk pada tahun 2020 sebanyak 1.869 jiwa.
Untuk menyambung hidup, dikhawatirkan, warga lokal akan kembali pada aktivitas mereka yang dulu, yakni berburu rusa di dalam kawasan taman nasional dan mengambil terumbu karang di laut. Perburuan rusa akan mengganggu rantai makanan komodo. Pengambilan karang juga merusak surga bawah laut di sana.
Sementara industri pariwisata di Labuan Bajo yang menjadi destinasi superprioritas akan kembali anjlok. Padahal, pariwisata di sana baru mulai perlahan bangkit setelah dihantam pandemi Covid-19. ”Banyak tamu terpaksa membatalkan perjalanan ke Labuan Bajo. Alasan mereka, kenaikan harga terlalu ekstrem. Mereka lebih memilih liburan ke tempat lain, yang dianggap lebih murah,” kata Viktor (43), pengelola agen wisata.
Harapan bahwa sektor pariwisata berbasis konservasi untuk memajukan daerah itu akan sulit terwujud. Usaha pariwisata terpukul. Jumlah hotel dan penginapan di Labuan Bajo per Desember 2021 sebanyak 101 unit. Adapun operator wisata sebanyak 44. Jumlah tersebut di luar restoran, warung makan kecil-kecilan, usaha mikro, kecil, dan menengah, jasa angkutan, serta usaha lain yang berjumlah ratusan unit.
Lebih lanjut Zeth menambahkan, pihaknya sudah memperkirakan akan ada dampak dari penerapan tarif baru. Kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo dipastikan akan terjun bebas. Rekor tertinggi kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo terjadi pada tahun 2019, dengan jumlah 221.000 orang.
Menurut dia, aspirasi masyarakat terkait penolakan tarif baru ini akan dibicarakan lagi dengan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat sebelum mulai diterapkan pada 1 Agustus 2022. Hingga Sabtu petang, belum ada keputusan resmi mengenai hal itu. ”Nanti akan kami umumkan,” ujarnya.
Sambil menanti keputusan akhir pemerintah, banyak kalangan masih belum menerima kenaikan tarif yang terkesan bernuansa komersialisasi komodo itu, bukan konservasi seperti yang disampaikan pemerintah. Bahkan, ada pertanyaan, uang Rp 3,75 juta yang dipungut dari wisatawan itu diperuntukkan bagi siapa?