Perkuat Peran Pawang dalam Mitigasi Konflik Satwa Lindung di Aceh
Peran pawang satwa liar dalam upaya mitigasi konflik satwa lindung di Aceh harus diperkuat. Pawang tidak hanya berperan sebagai juru damai saat terjadinya konflik, tetapi juga perawat kearifan lokal.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Peran pawang satwa liar dalam upaya mitigasi konflik satwa lindung di Aceh harus diperkuat. Pawang tidak hanya berperan sebagai juru damai saat terjadinya konflik, tetapi juga perawat kearifan lokal dan nilai-nilai luhur tentang cara hidup berdampingan dengan satwa lindung.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan para pawang Aceh pada Jumat hingga Sabtu (29-30/7/2022) di Banda Aceh. Pertemuan yang baru pertama kali digelar itu difasilitasi oleh Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA).
Program Manager Yayasan HAkA Crisna Akbar, Sabtu, menuturkan, pawang satwa liar sangat berjasa dalam mitigasi konflik. Berpuluh-puluhan tahun mereka mewakafkan hidupnya untuk menyelesaikan konflik satwa liar dengan manusia.
Namun, selama ini, kebanyakan pawang hanya dilibatkan saat terjadi konflik satwa dan manusia. Hingga sekarang, hanya sebagian kecil pawang yang diangkat sebagai staf pemerintah dan mendapatkan upah. Oleh karena itu, kebanyakan pawang bekerja tanpa mendapat bayaran.
Crisna mengatakan, pawang adalah profesi mulia, tetapi minim penghargaan. Mereka hanya dicari saat ada konflik satwa, tetapi pemberdayaan, kaderisasi, hingga kesejahteraannya terabaikan.
”Melalui forum ini kami ingin para pawang menyampaikan pandangan mereka terhadap upaya menghentikan konflik satwa di Aceh,” ujarnya.
Hingga sekarang, hanya sebagian kecil pawang yang diangkat sebagai staf pemerintah dan mendapatkan upah.
Salah satu wacana yang mengemuka dalam pertemuan itu adalah membuat forum atau perkumpulan pawang satwa liar Aceh. Forum pawang dianggap perlu untuk mempermudah pelibatan pawang dalam rencana mitigasi konflik, kaderisasi, hingga memperjuangkan kesejahteraan.
Para pawang yang hadir dalam pertemuan itu mewakili 18 kabupaten/kota di Aceh. Mereka memiliki keahlian beragam, seperti pawang harimau, gajah, buaya, badak, dan beruang. Mereka memperoleh ilmu ”menjinakkan” binatang liar dari ayah atau kakeknya yang diwariskan secara turun-temurun.
Arifin (51), salah seorang pawang harimau dari Kabupaten Aceh Selatan, menuturkan, kaderisasi pawang baru sangat dibutuhkan karena konflik yang melibatkan satwa liar semakin masif.
Arifin khawatir, jika tidak ada kaderisasi, suatu saat Aceh tidak akan punya lagi pawang satwa liar. Sebab, sebagian besar pawang yang ada saat ini sudah berusia lanjut.
Arifin menyatakan, karena jumlah pawang yang relatif sedikit, dirinya harus turun tangan saat terjadi konflik dengan harimau di kabupaten lain. Namun, karena jarak yang jauh, Arifin baru sampai di lokasi setelah ternak-ternak warga dimangsa oleh harimau.
Oleh karena itu, menurut Arifin, di daerah-daerah yang rawan konflik satwa harus ada upaya melahirkan pawang-pawang baru. Hal ini agar penanganan konflik satwa liar bisa dilakukan secara lebih cepat.
”Setelah pertemuan ini, pawang perlu diperbanyak karena konflik menyebar, sementara pawang sedikit,” kata Arifin.
Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nasir mengatakan, dalam mitigasi konflik satwa lindung, harus dipadukan ilmu konservasi modern dengan praktik kearifan lokal. Menurut Nasir, dulu nenek moyang manusia bisa hidup harmonis berdampingan dengan satwa karena saling memahami dan menghargai.
Salah satu contoh penghargaan itu adalah pemberian nama-nama tertentu untuk satwa liar. Contohnya, gajah dipangggil ”Teungku Rayeuk/Abang Kul” (orang besar/abang besar) dan harimau dipanggil ”Nek” (nenek).
Sementara itu, saat ini, satwa lindung banyak diburu untuk diperdagangkan. Selain itu, hutan sebagai habitat satwa juga dirusak. Akibatnya, konflik antara satwa dan manusia semakin sering terjadi. Padahal, konflik itu membuat manusia dan satwa sama-sama terancam.
Menurut Nasir, kearifan lokal yang dipraktikkan oleh para pendahulu itu kini dimiliki para pawang. Oleh karena itu, para pawang diharapkan menjadi juru kampanye untuk menumbuhkan kembali kearifan lokal tersebut dalam kehidupan warga.
Nasir juga menyebut, pawang harus dipandang sebagai profesi mulia karena tidak semua orang dapat menyandang status itu. Sebab, pawang memiliki kemampuan spiritualitas untuk berkomunikasi dengan satwa liar.
”Ilmu yang mereka punya adalah warisan nenek moyang. Jika dipadukan dengan ilmu dari pendidikan formal, mitigasi konflik akan lebih kuat,” kata Nasir.