Menguatkan Akar Budaya di Kirab Malam Satu Sura
Tahun ini, Kirab Malam 1 Sura digelar kembali di Surakarta, Jawa Tengah. Warga menyambutnya dengan antusiasme tinggi. Banyak harapan dilambungkan. Lewat peristiwa budaya, warga dilekatkan lagi pada akar budayanya.
Dua tahun terakhir, Kirab Malam Satu Sura ditiadakan akibat pandemi Covid-19 yang tak terkendali, di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Tahun ini, gelaran budaya tersebut digelar kembali. Warga menyambutnya dengan antusiasme tinggi. Banyak harapan dilambungkan.
Malam kian larut, ratusan orang justru berjubel di halaman depan Kori Kamandungan, Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (29/7/2022). Kerumunan orang itu berdiri di belakang pagar manusia yang terdiri dari anggota perguruan silat, pramuka, dan organisasi masyarakat setempat.
Di sela-sela lautan manusia tersisa jalan aspal sekitar 10 meter persegi. Empat ekor kerbau ”bule” atau kerbau berwarna putih milik Keraton Kasunanan Surakarta berjalan pelan menyusuri aspal, didampingi sejumlah srati atau pawang hewan yang berpakaian putih-putih. Langkah hewan bertanduk tersebut terhenti pada potongan ubi yang disebar dan disiram air kopi hitam bertabur kembang tujuh rupa di aspal. Begitu lahap mereka menyantapnya.
Baca juga: Kirab Malam Satu Sura di Surakarta
Keempat kerbau bule itu disiapkan untuk mengiringi Kirab Malam Satu Sura. Itu merupakan tradisi tahunan dari Keraton Kasunanan Surakarta setiap pergantian tahun baru Jawa. Pergantian tahun Jawa bersamaan dengan pergantian Tahun Baru Islam.
Dalam tradisi kirab itu terdapat sembilan pusaka milik keraton yang dibawa berkeliling. Tampak sebagian pusaka berwujud menyerupai tombak yang dibalut kain hitam serta dikalungi melati. Adapun kerbau-kerbau bule berada di barisan paling depan mengawal jalannya kirab.
Tepat pukul 00.00, rombongan kirab yang terdiri dari anggota keluarga Raja Keraton Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, abdi dalem keraton, perwakilan kepala daerah, dan warga berangkat dari halaman depan. Total peserta kirab diperkirakan 500 orang.
Sang putra mahkota Keraton Kasunan Surakarta, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Sudibyo Raja Putro Narendro ing Mataram, atau KGPH Purbaya, memimpin rombongan kirab pusaka. Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka ikut serta dalam kirab tersebut. Ia berdiri di barisan depan berdampingan dengan Purbaya.
Rute kirab mengitari kompleks keraton tersebut. Panjang rute diperkirakan 8 km. Jarak tersebut ditempuh rombongan kirab dalam dua jam. Sepanjang perjalanan, hanya terdengar suara derap langkah kerbau dan rombongan yang berjalan tanpa alas kaki. Meski sisi kanan dan kiri jalan disesaki kerumunan warga, keheningan terjaga. Semuanya berusaha menjaga kekhusyukan suasana.
Simak juga: Memberi Makan Kerbau Bule Keramat Milik Kasunanan surakarta
”Dalam pengertian budaya Jawa, (tradisi) ini untuk mengetahui apa yang sudah dilaksanakan, apa yang sedang dilaksanakan, dan apa yang akan dilaksanakan ke depan,” kata Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Adipati Dipokusumo.
Menurut dia, esensi ritual ada pada doa-doa yang dipanjatkan sebelum kirab berlangsung. Doa-doa itu memuat harapan akan datangnya beragam kebaikan di tahun yang akan dijalani. Secara simbolis, pusaka yang dibawa sepanjang kirab juga mempunyai makna dalam kehidupan seperti keselamatan, kesehatan, dan kelancaran dalam hidup.
Danar (38) merupakan salah seorang warga yang hampir setiap tahun menyaksikan gelaran budaya kirab pusaka dari Keraton Kasunanan Surakarta. Tiba sejak pukul 21.00, ia menunggu sampai rombongan kirab pulang kembali ke titik awal. Kali itu, ia datang bersama dengan putranya, Khoirul (12). Itu kali pertama ia datang bersama putranya.
”Dulu, saya pertama kali nonton waktu masih umur 5 tahun. Waktu itu diajak orangtua. Ini saya mengajak anak biar dia tahu juga ada kebudayaan seperti ini dari keraton,” kata pria asal Sukoharjo tersebut.
Lewat kirab, Danar bisa mempelajari nilai-nilai luhur budaya Jawa. Salah satunya mengenai refleksi dan introspeksi. Sebab, itu pula yang dilakukan rombongan kerabat keraton dan abdi dalem sepanjang perjalanan kirab. Apa yang dilakukan sepanjang tahun direnungkan agar tahun yang akan dijalani selanjutnya bisa semakin baik.
Esensi ritual ada pada doa-doa yang dipanjatkan sebelum kirab berlangsung. Doa-doa itu memuat harapan akan datangnya beragam kebaikan di tahun yang akan dijalani. Secara simbolis, pusaka yang dibawa sepanjang kirab juga mempunyai makna dalam kehidupan seperti keselamatan, kesehatan, dan kelancaran dalam hidup. (KGPH Adipati Dipokusumo)
Danar menambahkan, diselenggarakannya kirab juga menumbuhkan harapannya akan perbaikan kondisi kehidupan. Ada hal-hal tak kasat mata yang seolah membuatnya bergairah kembali. Ia memercayai doa-doa yang dipanjatkan sepanjang ritual bisa ikut membawa kebaikan di waktu mendatang.
Lain halnya dengan Fitri (30), warga asal Wonogiri, yang datang karena merasa penasaran dengan tradisi tahunan tersebut. Ia sengaja mencari atraksi budaya untuk mengisi hari liburnya.
”Dari yang saya saksikan menarik juga. Sebagai warga, kami diajak buat tidak bertindak sembarangan. Refleksi itu juga diperlukan agar semakin baik menata kehidupan ke depan,” ucapnya.
Pergeseran
Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Drajad Tri Kartono mengungkapkan, seiring berjalannya waktu, makna kirab mengalami pergeseran. Dahulu, orang-orang datang ke kirab guna mencari keberkahan. Kini, sebagian orang menyaksikan kirab sebagai sebuah hiburan atau pertunjukan.
Meski demikian, kata Drajad, kirab tetap penting untuk terus diadakan. Ada nilai-nilai kultural yang bisa diserap masyarakat secara tidak langsung. Masyarakat perkotaan yang terus dipacu bergerak cepat seolah diajak sejenak memelankan lajunya dan berintrospeksi diri selama peristiwa budaya itu berlangsung.
”Nilai-nilai spiritual dan kultural wajib dipertahankan. Caranya dengan kirab. Secara sosiologis akan ada nilai tata krama, kesantunan, mawas diri, dan kemanusiaan yang diinternalisasi. Tanpa ini, kehidupan masyarakat kota akan jadi sangat materialistis,” kata Drajad.
Ada nilai-nilai kultural yang bisa diserap masyarakat secara tidak langsung. Masyarakat perkotaan yang terus dipacu bergerak cepat seolah diajak sejenak memelankan lajunya dan berintrospeksi diri selama peristiwa budaya itu berlangsung. (Drajad Tri Kartono)
Dihubungi terpisah, Ketua Pusat Unggulan Iptek Javanologi UNS Sahid Teguh Widodo menyampaikan, kirab menjadi cara mengukuhkan eksistensi kebudayaan Jawa. Dalam saat yang bersamaan, nilai luhur dipelajari masyarakat lewat laku para pelaku kirab. Publik yang menyaksikannya semacam diingatkan mengenai akar budayanya.
”Dalam konteks kekinian, momentum kirab menjadi momentum kultural yang mengingatkan kita pada eksistensi kebudayaan kita. Jadi, Jawa tidak hanya budaya yang statis, tetapi budaya yang benar-benar dihidupi dan eksis,” kata Sahid.
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka baru pertama kali mengikuti kirab secara penuh. Ia berjalan dari titik awal sampai titik akhir tanpa alas kaki. Kelelahan dirasakan tetapi tak dijadikannya sebagai persoalan. Ia bersyukur dengan antusiasme publik begitu tinggi.
”Ramai dan lancar. Warganya bagus. Tertib semua. Semoga semuanya dilancarkan ya. Pandemi juga bisa segera hilang,” kata Gibran, saat ditanya mengenai harapannya atas kirab tersebut.
Hal serupa disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Malam itu, Ganjar juga menyempatkan diri mengikuti kirab di Pura Mangkunegaran. Namun, di Kasunanan Surakarta, Ganjar tak mengikuti kirab sampai selesai. Ia hanya turut menyaksikan persiapannya saja.
”Publik merespons dengan sangat bagus baik di Pura Mangkunegaran maupun Kasunanan Surakarta. Mudah-mudahan tradisi ini berjalan. Masyarakat bisa melihat dan mengikuti serta melihat nilai-nilainya. Karena, tadi ada tahlil juga sebelum kirab,” kata Ganjar.
Beragam refleksi diri yang dibarengi dengan banyaknya harapan yang dilambungkan dalam doa menjadi inti dari radisi kirab malam satu Suro. Lewat peristiwa budaya, warga yang tumpah ruah di kirab itu dilekatkan lagi pada akar budayanya.