Setelah Muncul Dugaan Spionase, Pengawasan Warga Asing di Sebatik Diperketat
Seiring pemeriksaan tiga warga negara asing yang diduga melakukan kegiatan spionase di Pulau Sebatik bagian Indonesia, pengawasan di perbatasan diperketat, termasuk di ”jalur tikus”.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
SEPAKU, KOMPAS — Pengawasan di perbatasan diperketat seiring pemeriksaan tiga warga negara asing yang diduga melakukan kegiatan spionase di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Kasus ini merupakan kasus pertama dalam lima tahun terakhir.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II TPI Nunukan Washington Saut Dompak menyatakan, pihaknya memperkuat pengawasan orang asing yang masuk ke Indonesia. Hal itu dilakukan setelah muncul dugaan ada tiga warga negara asing (WNA) yang diduga melakukan spionase di perbatasan Kalimantan Utara-Malaysia di Pulau Sebatik sisi Indonesia.
”Kita perkuat di pengawasan lapangan karena pada dasarnya setiap orang boleh masuk ke Indonesia. Kita bersinergi dengan aparat untuk memastikan visa dan izin tinggalnya sesuai dengan kegiatan,” kata Washington dihubungi dari Sepaku, Kamis (28/7/2022).
Selain itu, pengawasan di jalur tak resmi atau ”jalur tikus” juga diperkuat. Sebab, ”jalur tikus” di perbatasan Pulau Sebatik amat banyak, baik di darat maupun melalui jalur laut. Jalur-jalur itu menjadi pintu masuk dan keluar secara ilegal untuk berbagai kepentingan, seperti peredaran narkoba.
”Hanya memang kami akui juga, walau kerja kami sudah maksimal, masih ada saja upaya untuk melintas secara ilegal. Misalnya, kita tutup (jalur tikus) di sini, mereka lewat tempat lain,” katanya.
Dalam dua tahun terakhir puluhan warga negara Malaysia sudah dideportasi karena masuk wilayah Indonesia tanpa izin. Rata-rata, mereka beralasan mengunjungi keluarga yang tinggal di Indonesia.
Seperti diketahui, di Pulau yang terbagi dua, yakni wilayah Indonesia dan Malaysia itu, di perbatasannya banyak warga suku Bugis yang menjadi warga negara Malaysia dan warga negara Indonesia.
Dugaan spionase di wilayah Sebatik sisi Indonesia bermula dari kunjungan tiga WNA dan tiga WNI ke daerah perbatasan itu pada Rabu, 20 Juli 2022 lalu. Tiga WNA itu terdiri dari dua warga Malaysia, yakni Leo bin Simon (39) dan Ho Jin Kiat (40), yang hanya mengantongi dokumen bebas visa kunjungan singkat. Satu lagi adalah Jidong Bai (45), warga negara China, menggunakan visa kunjungan khusus wisata.
Setelah mereka diperiksa oleh Satgas Marinir Ambalat XXVIII yang bertugas di perbatasan, ditemukan sekitar 15 foto pos militer di perbatasan. Padahal, para WNA itu mengaku tengah melakukan survei pembangunan jembatan yang akan melintang dari Tawau, Malaysia, ke Pulau Sebatik wilayah Indonesia dan Pulau Sebatik bagian Malaysia.
”Seharusnya mereka ini perlu pendampingan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat untuk menyurvei. Sebab, kasus ini berbicara dua negara. Seharusnya visanya berupa visa kunjungan yang dijamin oleh pemda atau pihak BUMN agar mereka dapat melakukan kegiatan, bukan visa yang diambil secara gratis atau visa wisata,” ujar Washington saat dihubungi, Selasa (26/7/2022).
Mereka diduga melanggar Tindak Pidana Keimigrasian Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pasal itu berbunyi, ”setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan kepadanya.”
Jika terbukti, mereka terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta. Saat ini, pihak imigrasi sedang melengkapi dokumen untuk menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) untuk selanjutnya melimpahkan proses hukum ke kejaksaan.
Para WNA itu mengunjungi Pulau Sebatik sisi Indonesia ditemani tiga warga negara Indonesia, yaitu seorang sopir dan dua penunjuk arah. Tiga WNI yang menemani para WNA tidak ditahan. Namun, mereka diharuskan untuk wajib lapor sambil terus dipantau pergerakan dan aktivitasnya.
Didalami
Komandan Kompi Satgas Marinir Ambalat XXVIII Kapten Marinir Andreas Parsaulian Manalu mengatakan, dari data yang ia himpun, para WNA itu sudah melewati pemeriksaan dokumen dan masuk ke Indonesia dari Malaysia melalui Pos Lintas Batas Internasional Tunon Taka, Kabupaten Nunukan. Kunjungan warga asing ke Sebatik sebenarnya lumrah saja. Namun, masuk dan memotret markas militer tanpa izin adalah kegiatan melanggar hukum.
Foto-foto Pos Satgas Marinir dan Pos TNI AL yang diambil secara sembunyi-sembunyi menjadi bukti adanya dugaan spionase. Oleh karena itu, para WNA itu langsung diperiksa.
”Mengambil dokumentasi atau foto di kompleks militer tanpa izin, apalagi WNA, itu yang menjadi dasar kami untuk menahan mereka. Foto-foto Pos Satgas Marinir dan Pos TNI AL yang diambil secara sembunyi-sembunyi menjadi bukti adanya dugaan spionase,” ujar Andreas.
Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono menyebutkan, warga negara asing (WNA) yang diamankan Satgas Marinir XXVIII Ambalat itu bukan intelijen asing. ”Itu bukan intel (intelijen), ini masih dalam pendalaman,” kata Yudo kepada wartawan di Pantai Tanjung Pasir, Teluk Naga, Tangerang, Banten, Selasa (26/7/2022).
Ketiga WNA itu saat ini ditempatkan di ruang detensi Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan selama 30 hari ke depan sambil terus diperiksa. Dugaan spionase oleh ketiganya masih terus didalami untuk mencari bukti-bukti lain.
Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan terus berkoordinasi dengan intelijen untuk menelisik dugaan spionase, termasuk mencari tahu apakah foto-foto pos militer yang diambil oleh para WNA itu sudah dikirim ke pihak lain.
”Kami sudah intens berkomunikasi dengan Densus 88 mengenai dugaan spionase. Kami juga tak putus koordinasi dengan TNI, BIN, ataupun instansi intelijen lain,” ujar Washington.
Para WNA itu mengunjungi Pulau Sebatik sisi Indonesia ditemani tiga warga negara Indonesia, yaitu seorang sopir dan dua penunjuk arah. Tiga WNI yang menemani para WNA tidak ditahan. Mereka diharuskan untuk wajib lapor sambil terus dipantau pergerakan dan aktivitasnya.