Harga Sawit Masih Timpang, Kelembagaan Petani Swadaya Harus Diperkuat
Kelembagaan petani swadaya perlu diperkuat agar mereka memiliki nilai tawar yang baik guna mengikis ketimpangan harga TBS dengan petani plasma. Di sisi lain, hilirisasi juga perlu segera direalisasikan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kelembagaan petani sawit swadaya perlu diperkuat agar mereka memiliki nilai tawar yang baik di hadapan industri guna mengikis ketimpangan harga tandan buah segar dengan petani plasma. Kondisi ini sangat diperlukan agar petani swadaya bisa tetap berdaya walau terjadi gejolak harga sawit seperti yang terjadi sekarang ini.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Selatan M Yunus di Palembang, Kamis (28/7/2022), menyebut, saat ini ketimpangan harga tandan buah segar (TBS) produksi petani swadaya dan petani plasma (mitra perusahaan) sangatlah jauh. Untuk di Sumsel, misalnya, TBS petani plasma dihargai Rp 1.611 per kilogram (kg), sedangkan TBS petani swadaya hanya sekitar Rp 1.250 per kg.
Tingginya selisih tersebut karena panjangnya rantai pasok antara petani swadaya dan pabrik kelapa sawit. Petani harus melewati sejumlah tengkulak dan pengepul untuk bisa menjual TBS ke pabrik kelapa sawit. Belum lagi masih banyak TBS petani swadaya yang tertolak lantaran dianggap tidak bermitra atau tidak sesuai standar.
Kondisi ini membuat posisi petani swadaya sangat rentan terhadap gejolak harga di pasar global. Padahal, peran mereka cukup strategis. Di Sumsel, dari 1,2 juta hektar lahan sawit, sekitar 120.000 hektar adalah milik petani swadaya. ”Karena itu, penguatan kelembagaan untuk petani swadaya cukup krusial,” ucapnya.
Hingga kini, di Sumsel baru ada satu kelompok petani swadaya yang sudah bermitra dengan perusahaan, yakni di Kabupaten Musi Rawas. ”Sekarang kami sedang berusaha untuk memperkuat kelembagaan petani swadaya agar mereka tetap bisa berdaya,” kata Yunus.
Dia menambahkan, Sumsel bisa belajar dari Jambi yang sudah menerapkan peraturan zonasi bagi pabrik kelapa sawit untuk bermitra dengan petani swadaya yang berada di radius 60 kilometer dari pabriknya. ”Walau belum berjalan optimal, setidaknya pemdanya memiliki niat untuk memperkuat posisi petani swadaya di kancah industri kelapa sawit,” ucap Yunus.
Menurut dia, jika kelembagaan petani swadaya diperkuat, harga TBS yang diterima petani bisa lebih baik. ”Setidaknya hanya selisih Rp 100 per kg dari harga TBS yang diterima petani plasma,” ujar Yunus.
Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Agus Darwa mengatakan, petani swadaya dihadapkan pada panjangnya rantai pasok untuk mengantarkan hasil panen mereka ke pabrik. ”Setidaknya ada dua tengkulak dan satu pengepul yang harus mereka lewati sebelum sampai ke pabrik,” ujarnya.
Hal inilah yang harus diperpendek dengan pembentukan kelompok tani. Ini berkaca dari petani karet yang sudah membentuk Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) yang bisa memperkuat nilai tawar petani di hadapan pabrik. Harga yang mereka peroleh lebih baik dibandingkan petani yang tidak berkelompok. ”Dengan berkelompok, petani juga memiliki standar agar hasil panen yang mereka peroleh bisa tetap berkualitas,” kata Agus.
Di sisi lain, Yunus berharap agar pemerintah mempermudah aktivitas ekspor sawit dengan merelaksasi ketentuan wajib pasok pasar domestik (DMO) dan patokan harga domestik (DPO) yang memberatkan eksportir. ”Apabila pungutan ekspor DPO dan DMO tidak lagi diberlakukan, dapat menambah harga TBS sekitar Rp 1.000 per kg,” ucapnya.
Menurut dia, saat ini penyerapan CPO untuk kebutuhan domestik masih sekitar 30 persen dari produksi CPO. Selama ini, eksportir masih terkendala untuk memenuhi kewajiban DMO dan DPO karena memang penyerapan kebutuhan domestik CPO dan turunannya masih sedikit.
Kebijakan DPO dan DMO tidak relevan lagi diterapkan.
Karena itu, peningkatan penyerapan CPO untuk kebutuhan domestik juga perlu ditingkatkan, misalnya untuk kebutuhan biodiesel B30 yang sudah ditingkatkan menjadi B40. Upaya ini diharapkan bisa menambah besar penyerapan CPO dalam negeri.
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov mengatakan, sampai Mei 2022, penyerapan CPO dalam negeri baru sekitar 39 persen dari target 19 juta ton. Ini merupakan persoalan. Maka, ”jalan pintas” untuk mengatasinya adalah mendorong kenaikan pemakaian biodiesel (Kompas, 28/7/2022).
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Alex Sugiarto berpendapat, kebijakan DPO dan DMO tidak relevan lagi diterapkan. Ini karena kebutuhan minyak goreng dalam negeri sudah terpenuhi, apalagi harga CPO sudah sekitar Rp 9.200 per kg. Itu berarti minyak goreng bisa dijual Rp 14.000 per liter sesuai harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah.
Dengan dihapuskannya kebijakan DPO dan DMO, kata Alex, diharapkan aktivitas ekspor sawit bisa kembali pulih. Dengan begitu, harga TBS juga bisa kembali pulih, setidaknya masuk di angka keekonomian, yakni sekitar Rp 2.000 per kg.
Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang Sri Rahayu mengatakan, kondisi seperti ini adalah saat yang tepat untuk memperkuat hilirisasi agar penyerapan CPO bisa lebih optimal. Ini, misalnya, dengan merealisasikan pembangunan industri minyak makan merah di sejumlah sentra penghasil CPO. ”Ini penting untuk mencegah gejolak harga lebih dalam ketika terjadi permasalahan dalam aktivitas ekspor seperti sekarang ini,” ujarnya.