Pembunuhan Libatkan Orang Terdekat, Nyalakan Sejuta Tanda Bahaya
Pembunuhan melibatkan orang terdekat terus terjadi. Bermotif utama seputar takhta, harta, dan asmara, kasus memilukan itu menyimpan sejuta pesan tanda bahaya.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
Penembakan Rina Wulandari (34) yang didalangi suaminya, Kopral Dua Muslimin, di Semarang, Jawa Tengah, menambah daftar kelam pembunuhan dalam keluarga di Indonesia. Bermotif utama seputar takhta, harta, dan asmara, kasus memilukan itu menyimpan sejuta pesan tanda bahaya.
Peluru bersarang di bagian atas perut Rina yang baru saja menjemput anak sulungnya, Senin (18/7/2022) siang. Ia ditembak di depan rumahnya di Kelurahan Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Muslimin, otak kejahatan yang kebelet kawin lagi, hingga kini masih buron.
Dari penelusuran polisi, Muslimin empat kali berencana membunuh istrinya. Sebelum menembak lewat pembunuh bayaran, dia memikirkan santet, racun, hingga perampokan dengan kekerasan. Meski berpangkat rendah, dia menjanjikan Rp 400 juta bagi pelaku. Sebanyak Rp 120 juta bahkan sudah ia serahkan ketika istrinya dirawat di rumah sakit.
Kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yesmil Anwar berpendapat, kondisi ini terjadi karena adanya perubahan perilaku masyarakat, tapi tidak diikuti p”erubahan norma berlaku. Perubahan ini, lanjut Yesmil, disebut dengan teori anomi.
”Dalam teori itu, ada norma yang lama telah ditinggalkan, tapi norma baru masih belum ditemukan dan diterapkan. Kondisi menyebabkan hilangnya kontrol sosial, termasuk di lingkungan keluarga,” katanya.
Hal tersebut, lanjut Yesmil, terjadi karena berbagai faktor, seperti frustrasi sosial hingga tekanan ekonomi di masyarakat. Apalagi, dalam situasi pandemi Covid-19, setiap individu menjadi praktis dan pragmatis sehingga memengaruhi pola interaksinya dengan yang lain.
Pengajar Sosiologi di Universitas Hasanuddin, Sawedi Muhammad, menilai fenomena kekerasan dalam keluarga tidak bisa dipandang enteng. Kasusnya harus menjadi peringatan bagi masyarakat dan pemerintah. Institusi keluarga tidak lagi sekuat yang dibayangkan.
”Ini sangat berbahaya dalam konteks national character building (pembangunan karakter bangsa). Bangsa yang kuat dibangun keluarga-keluarga dan masyarakat yang gotong royong, kasih sayang, dan toleransi, bukan melakukan kekerasan,” paparnya.
Kekhawatiran Sawedi dan Yesmil jelas membutuhkan mitigasi. Apalagi, kasus semacam ini tidak hanya terjadi kali ini.
Lewat arsip Kompas, empat skenario yang dipikirkan Muslimin setidaknya mewarnai banyak kisah pembunuhan. Latar belakang peristiwa di Indonesia saat itu diduga ikut mewarnai perjalanan kisah suram itu.
Isu mistis, misalnya, menyelimuti banyak kasus pembunuhan periode 1966-1970. Saat itu, dinamika bangsa ini teramat labil. Dihajar krisis pangan, tapi kemudian merasakan euforia harga minyak bumi.
Tahun 1966, di Jakarta, Ali bin Said nekat membunuh orang yang membiayai hidupnya gara-gara perkara jimat. Pembunuhan dengan dalih ilmu kebatinan terjadi di Maros tahun 1983. Tiga keluarga saling menganiaya. Dua tewas dalam kejadian ini.
Di Garut, dugaan ada teluh memakan korban jiwa tahun 1987. Seorang warga dikeroyok puluhan tetangga dan kenalannya. Diduga kasusnya terkait masalah ekonomi, korban dituduh pelaku praktik teluh.
Memasuki tahun 1990-an, orang Indonesia mulai disuguhi pembunuhan berencana, yang melibatkan orang dekat dan menggunakan senjata api. Meski terjadi di Amerika Serikat, pelakunya adalah orang Indonesia, Harnoko Dewantoro alias Oki. Dia terlibat dalam kematian tiga orang, salah satunya adalah adik kandungnya, periode 1991-1992. Kemunculan televisi swasta membuat orang dengan mudah mengikuti perkembangan kasus ini.
Media massa yang semakin beragam juga yang mengantarkan kasus pembunuhan terhadap 10 orang yang dilakukan tersangka Very Idam Henyansyah alias Ryan, pertengahan 2007 hingga April 2008, jadi buah bibir. Kejahatan dengan korban orang terdekat di pekarangan belakang rumah orangtua Ryan di Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, itu pun mendunia.
Media sosial membuat arus informasi semakin kilat. Salah satu yang dibicarakan adalah penggunaan racun sianida dalam kasus tewasnya Wayan Mirna Salihin tahun 2016.
Vonis 20 tahun diberikan kepada Jessica Kumala Wongso, teman dekat korban. Kasus ini semakin ramai diperbincangkan karena dilakukan di ruang terbuka hingga kemampuan pelaku menghindari kamera pengawas.
Tahun 2020, modus pelaku tercatat kian rumit meski ujungnya terkuak juga. Di Medan, seorang istri membunuh suami, dengan dibantu dua rekannya. Kasusnya direkayasa seperti akibat kecelakaan lalu lintas. Pelaku membunuh suaminya karena suaminya sering selingkuh dan membawa perempuan ke rumah.
Hal yang sama terjadi saat kasus pembunuhan dan pembakaran jasad ayah-anak di Sukabumi tahun 2019. Pelaku adalah istri korban. Dia membunuh karena putus asa korban enggan membantu melunasi utangnya.
Psikolog klinis dari Unpad, Ahmad Gimmy Prathama, melihat ada perubahan dalam bentuk kekerasan dari waktu ke waktu. Namun, motivasi individu melakukan kekerasan tetap sama, yakni tindakan agresif untuk mencapai keinginan tertentu. Keinginan ini bisa dari balas dendam, hasrat, ataupun dorongan akibat sesuatu yang tidak bisa digapai, hingga upaya untuk menghilangkan bukti.
Menurut Gimmy, kondisi frustrasi ini tidak hanya dari faktor ekonomi, tetapi juga kebutuhan manusia secara menyeluruh. Hubungan asmara juga terjadi di banyak kasus. Oleh karena itu, selain hukum, penegakan norma dan kontrol sosial dibutuhkan untuk meminimalkan kekerasan di masyarakat.
Peran media
Selain pemerintah dan aparat penegak hukum, Luviana Ariyanti, pengamat media dan perempuan aktivis, mengatakan, media juga harus berperan. Dia mengingatkan agar media tidak terlalu detail memberitakan kasus pembunuhan. Misalnya, peliputan menampilkan darah hingga jenazah. Kesadisan itu dapat menimbulkan trauma kepada pembaca dan keluarga korban.
”Bayangkan jika anak korban membaca tulisan itu 10 tahun lagi. Jika media mau menuliskan detail kejadian, harus ada warning, tulisan itu mengandung sesuatu yang tidak nyaman. Ini sudah biasa dilakukan media di Barat,” papar Luviana yang 20 tahun lebih berkecimpung di media.
Dia juga mendapati sebagian besar media hanya menuliskan kasus pembunuhan yang melibatkan keluarga sendiri secara informatif dengan narasumber utama kepolisian. Padahal, kasus itu adalah kekerasan dalam rumah tangga dan femisida, pembunuhan perempuan oleh laki-laki.
Seharusnya, katanya, pemberitaan fokus membuat masyarakat memahami KDRT, femisida, dan kekerasan berbasis jender. Sebab, perempuan dan anak kerap menjadi korban.
”Kalau tidak, nanti akan jadi bola liar. Misalnya, suaminya membunuh karena istrinya cemburuan. Padahal, kasus itu karena ada relasi yang tidak setara,” ucapnya.
Sejuta tanda bahaya pembunuhan melibatkan orang terdekat itu ada di depan mata. Jangan sampai suaranya nyaring terdengar meruntuhkan banyak hal baik, mulai dari keluarga hingga negara.