Manfaatkan Lokasi Strategis, Pengembangan JI di Aceh Perlu Diwaspadai
Sebagai daerah paling ujung di Indonesia pergerakan jaringan teroris di Aceh akan sukar dideteksi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Selain itu, secara kultur Aceh dinilai punya potensi untuk ditebar ideologi itu.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Penangkapan jaringan teroris di Provinsi Aceh harus dilihat sebagai persoalan serius dan diwaspadai potensi pengembangannya. Jaringan teroris Jamaah Islamiyah memanfaatkan Aceh yang strategis dari sisi lokasi yang terbuka ke negara lain serta karakter warga Aceh yang keras dan pernah menjadi kelompok yang melawan pemerintah untuk memperluas area basis dan kaderisasi.
Pengamat teroris yang juga dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar, Selasa (26/7/2022), mengatakan, temuan adanya jaringan itu menunjukkan Jamaah Islamiyah (JI) mulai membangun kaderisasi di Aceh, sedangkan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) telah lama berada di Aceh. Kini dua jaringan teroris itu sama-sama berada di Aceh. ”Dulu mereka di Lampung, perlahan-lahan sekarang bergeser ke Aceh,” katanya.
Pekan lalu, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 13 orang terduga teroris di Kabupaten Aceh Tamiang. Dua di antaranya anggota jaringan JAD berinisial RI dan MA, sedangkan 11 orang anggota jaringan JI. Mereka adalah ES, RU, DN, JU, SY, MF, RS, FE, SU, AKJ, dan MH.
Menurut Chaidar, Aceh sudah lama disasar oleh jaringan JI sebagai basis pengembangan jaringan dan mengumpulkan logistik. ”Aceh secara geografis dianggap cocok jadi basis gerakan karena mudah akses ke negara lain lewat jalur laut,” ujarnya.
Sebagai daerah paling ujung di Indonesia, pergerakan jaringan teroris di Aceh juga akan sukar dideteksi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
Selain itu, secara kultur Aceh juga dinilai punya potensi untuk ditebar ideologi radikal. ”Karakter orang Aceh yang keras dan pernah menjadi kelompok yang melawan pemerintah sehingga sangat mungkin untuk dirangkul ke dalam kelompok teroris,” ujar Al Chaidar.
Menurut dia, meskipun 13 orang telah ditangkap, kader teroris dua jaringan itu masih berada di Aceh. Jika tidak dituntaskan, kaderisasi berpotensi semakin membesar. Al Chaidar mengingatkan aparat penegak hukum agar mengungkap semua jaringan tersebut.
”Aceh bukan sasaran penyerangan, tetapi menjadi basis pengembangan, pengumpulan logistik, dan kaderisasi,” ujar Al Chaidar. Dia juga berharap pemerintah memperkuat upaya pencegahan penyebaran jaringan teroris di Aceh.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) AcehMukhlisuddin Ilyas menuturkan, keberadaan jaringan terorisme di Aceh adalah fakta yang harus direspons dengan serius. Upaya pencegahan paham radikal harus diperkuat agar tidak semakin banyak warga Aceh terpapar ideologi tersebut.
Menurut Mukhlisuddin, jaringan teroris akan terus berupaya melahirkan kader-kader baru. Penyebaran paham radikal dimulai dengan menciptakan kelompok-kelompok intoleran, selanjutnya menjadi pelaku teror.
”Satu unsur dari kelompok radikalisme, antara lain, selalu menyalahkan amaliyah orang lain, menuduh orang lain sesat, interaksi sosial yang eksklusif, dan selalu mendukung organisasi-organisasi ekstremis,” ujar Mukhlisuddin.
Oleh karena itu, pencegahan harus diperkuat, misalnya dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal. Komunitas-komunitas di akar rumput harus didorong untuk menjadi agen kampanye perdamaian dan toleransi.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Aceh Mahdi Effendi mengatakan, pemerintah daerah berusaha untuk mencegah penyebaran paham radikal. Sosialisasi dan kampanye nilai-nilai toleransi dilakukan ke kelompok warga.
”Kami terus bersinergi dengan para pihak untuk mencegah radikalisme dan terorisme di Aceh,” kata Mahdi.
Pemerintah Aceh telah membentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) agar potensi gerakan teroris dapat dicegah sejak dini.
Sejauh ini, Kepala Bidang Humas Kepolisian Polda Aceh Komisaris Besar Winardy belum bersedia memberikan keterangan terkait penangkapan terduga teroris di Aceh karena kasus tersebut ditangani Densus 88 Mabes Polri.