Urat Nadi ”Para-para” di Jantung Sulawesi
Berangkat dari rasa prihatin akibat kondisi jalan yang buruk, warga di Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulsel, membuat jalan ”para-para”. Mereka berharap pemerintah kelak membangun jalan aspal ke daerah pelosok itu.
Berada di dataran tinggi di antara Pegunungan Quarles dan Verbeek, Seko adalah kecamatan di wilayah terpencil di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Di Pulau Sulawesi, letaknya berada di tengah sehingga sering disebut ”Jantung Sulawesi”, berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Beberapa waktu terakhir, warga berinisiatif membuka akses di jantung itu.
Dari Masamba, ibu kota Luwu Utara, jaraknya sekitar 120 kilometer. Adapun dari Makassar, ibu kota Sulsel, wilayah ini terpaut jarak sekitar 450 kilometer. Desa-desa di Seko menyebar di tiga wilayah, yakni Seko Padang, Seko Tengah, dan Seko Lemo.
Selama ini, desa-desa di Seko cukup sulit diakses. Sebagian besar desa hanya bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua karena ketiadaan jalan. Saat kemarau, mobil berpenggerak empat roda atau truk bisa masuk ke ibu kota Kecamatan. Namun, saat musim hujan, hampir tak ada yang berani ke Seko karena dipastikan sulit tembus.
Jika nekat, pilihannya adalah mobil masuk kubangan lumpur serupa terowongan dan harus menginap berhari-hari di tengah hutan. Bahkan, saat tak musim hujan pun, Masamba-Seko kerap harus ditempuh lebih dari sehari.
Itulah mengapa sampai saat ini sebagian besar aktivitas perekonomian hingga mobilitas warga bertumpu pada kendaraan roda dua atau ojek motor. Tentu kendaraan yang digunakan adalah jenis yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tangguh melibas kubangan lumpur, gumuk tanah, bebatuan, tanjakan, dan penurunan.
Ada juga sebagian warga yang masih menggunakan kuda, terutama untuk mengangkut barang. Namun, jika menggunakan kuda, pemilik harus berjalan kaki karena hewan tersebut sudah dipenuhi barang. Waktu tempuh pun jauh lebih molor.
Perjalanan ke Seko dengan ojek lazimnya dimulai dari Kecamatan Sabbang. Ini adalah kecamatan yang cukup ramai. Terdapat pasar besar dan pertokoan di kecamatan ini sehingga sebagian besar warga Seko membeli kebutuhannya di sana. Hasil bumi pun mereka jual di Sabbang. Jarak Seko-Sabbang sekitar 100 kilometer.
”Dulu, sebelum ojek masuk ke Seko, kami ke Sabbang berjalan kaki atau naik kuda. Biasanya kami menginap empat hari sampai seminggu di jalan karena saat itu semua jalan masih tanah,” kata Hubungan Pasangki, Kepala Dusun Burasse, Desa Mallimongan, Seko, Senin (4/7/2022).
Saat ini, jalan poros di Sabbang sebagian besar sudah beraspal, walau sebagian rusak. Setelah Sabbang adalah Kecamatan Rongkong. Di sini pun sebagian masih beraspal. Seko bertetangga langsung dengan Rongkong.
Selama ini ada dua akses menuju ibu kota Seko maupun desa-desa di wilayah ini. Akses pertama adalah melalui Dusun Palandoang, Desa Embonatana, yang menjadi akses ke Seko Tengah dan Seko Padang. Dusun Palandoang berada di jalan poros Masamba-Seko. Ibu kota Seko, yakni Eno, berada di Seko Padang.
Akses lain adalah melalui jalur Mabusa, sebuah dusun di Desa Limbong, Kecamatan Rongkong. Akses ini terhubung ke desa-desa di wilayah Seko Lemo. Dari Mabusa, dusun pertama yang ditemui di Seko adalah Se’pon di Desa Mallimongan.
Baca juga: Denyut Ekonomi Seko Bertumpu pada ”Kuda Besi”
Dari tiga wilayah di Seko, akses ke Seko Lemo terbilang paling buruk. Jalan ke Seko Lemo diwarnai banyak tanjakan dan turunan terjal. Bayangkan berkendara di tanjakan dan turunan dalam kubangan lumpur, gumuk tanah, ataupun bebatuan cadas.
Dari Mabusa, tepatnya di jalan poros Masamba-Seko, hingga ke Se’pon, sebenarnya hanya berjarak sekitar 20 kilometer. Namun, buruknya kondisi jalan membuat waktu tempuh bisa sehari penuh. Tidak jarang warga harus menginap di jalan. Ini terutama terjadi saat musim hujan ketika kondisi jalan semakin buruk.
Berangkat dari keprihatinan dan lelah dengan kondisi ini, warga tiga desa di Seko Lemo, yakni Mallimongan, Beroppa, dan Tirobali, berinisiatif membuat jalan para-para atau jalan yang terbuat dari potongan-potongan batang pohon yang dijejer dan disangga batang pohon di bagian bawah. Lebarnya 30-40 sentimeter. Saat ini, sepanjang 10 kilometer ruas antara Mabusa-Se’pon sudah terpasang para-para.
”Saat itu kami semua sudah bingung, hampir putus asa melihat kondisi jalan yang sudah tidak karuan. Lalu kami menemui kepala dusun, kepala desa, dan tetua di kampung. Kami mengusulkan membuat jalan para-para. Akhirnya semua warga dikumpulkan. Dalam tiga kali pertemuan, tercapai kesepakatan,” kata Ishak Kambu, yang didapuk menjadi ketua tim para-para.
Maka, awal Juni 2022, dimulailah pekerjaan itu. Warga tiga desa turun bergotong royong. Warga bercerita, saat pengerjaan jalan, hampir semua laki-laki, terutama pemuda, berpartisipasi. Hanya perempuan, orang tua, dan anak-anak yang tinggal menjaga kampung.
Banyak yang membantu hingga akhirnya bisa kami buat 10 kilometer jalan para-para.
Bahan kayu diambil dari hutan di sekitar desa. Warga yang memiliki gergaji mesin meminjamkan alatnya. Adapun yang lainnya mengumpulkan uang untuk membeli solar bahan bakar gergaji mesin itu. Keperluan makan dan minum juga dikumpulkan bersama.
Di hutan, mereka membangun tenda untuk tinggal hingga pekerjaan selesai. Hampir satu bulan dihabiskan untuk menuntaskan pekerjaan jalan para-para ini. ”Kami juga meminta partisipasi pengojek. Banyak yang membantu hingga akhirnya bisa kami buat 10 kilometer jalan para-para,” kata Saltiel, warga yang kebagian tanggung jawab sebagai bendahara.
Dia menjelaskan, warga membagi tim kerja. Ada yang bertugas menggergaji, memasang patok, memasang papan, memasak, dan lainnya. Mereka betul-betul mencurahkan tenaga dan waktu hingga akhirnya selesai. ”Selama pekerjaan, sekali seminggu kami bergantian ke kampung untuk melihat kondisi perempuan dan anak-anak yang ditinggal,” ujarnya.
Jalan para-para ini hanya dibangun di lokasi yang kondisi tanahnya sangat labil dan berada di lokasi yang agak rata. Di Seko, jenis tanah dan bebatuan masuk dalam golongan yang sangat labil dan mudah lapuk. Saat hujan, tanah biasanya berubah menjadi lembek dan sangat licin.
Di titik-titik dengan jenis tanah seperti ini, warga sering menyebutnya ”jalur mentega”. Saat hujan, kendaraan roda doa, bahkan kuda, acap kali terperangkap. Bahkan, saat tak hujan pun, strukturnya yang labil masih sering membuat pengendara kesulitan karena ban motor akan tenggelam.
Lihat juga: Pengojek-pengojek Tangguh di Seko
Pada Senin (4/7/2022), saat Kompas masuk ke Seko Lemo melalui jalur Mabusa-Se’pon, setidaknya tujuh jam waktu dihabiskan untuk menempuh jalur sepanjang 20 kilometer ini. Warga dan pengojek menyebut ini sudah terbilang cepat dibandingkan sebelum ada para-para. Titik start dari Desa Limbong, Rongkong, pengojek meminta tarif Rp 1,8 juta pergi-pulang. Sebelumnya, paling tidak ongkos yang diminta Rp 2 juta, itu pun di luar biaya bensin, makan, dan rokok.
Sabdir Tibuang, warga setempat, mengatakan, sebelum ada para-para, rute yang sama itu membutuhkan waktu tempuh seharian, bahkan menginap. Itu karena terlalu berisiko menempuh perjalanan menembus hutan malam hari.
Pengojek pun biasanya beroperasi setidaknya berdua, tak pernah sendirian. Ini karena di banyak titik kendaraan sering harus didorong atau diangkat. ”Sekarang dengan ada para-para, sudah bisa setengah hari, bahkan enam jam,” kata Sabdir.
Walau begitu, warga tetap saja berharap pemerintah bisa membangun jalan yang sesungguhnya. Jalan aspal, atau setidaknya jalan pengerasan, adalah harapan besar mereka. Sebab, dengan kondisi tanah dan cuaca di Seko, para-para tak bisa diharapkan berumur panjang. Lagipula para-para ini hanya menolong di sebagian titik. Sebagian lainnya kondisinya tetap buruk.
Jika pun dibangun, biayanya akan menjadi 3-4 kali lipat dibandingkan di lokasi yang normal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2021, panjang jalan provinsi di Sulsel 2.009 kilometer. Dari jumlah itu, panjang jalan aspal berdasarkan kabupaten/kota adalah 1.263,48 km dan yang tidak beraspal sepanjang 486,63 km. Adapun sisanya tercatat kondisi lain.
Berdasarkan kondisi jalan di kabupaten/kota, sebanyak 783,31 km dalam kondisi baik dan 623,43 km dalam kondisi sedang. Adapun panjang jalan rusak adalah 279,90 km dan rusak berat 331,72 km. Khusus di Luwu Utara, jalan rusak berat tercatat 57,25 km dan baik sepanjang 36,45 km. Adapun jalan beraspal tercatat 35,60 km dan tidak beraspal 101,50 km.
Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani mengatakan, ada banyak kendala hingga sampai saat ini pembangunan jalan ke Seko tersendat. Selain soal anggaran, kebijakan, secara teknis kondisi topografi juga menyulitkan. Jika pun dibangun, biayanya akan menjadi 3-4 kali lipat dibandingkan di lokasi yang normal.
Pemerintah kabupaten, katanya, bukan tak melakukan apa-apa. Sebagai contoh, pada 2017-2019, jalur Mabusa-Se’pon yang sebelumnya hanya setapak, sudah diperluas dengan memapas tebing. Bahkan, Pemkab Luwu Utara sudah meminta izin Kementerian Kehutanan untuk pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan jalan.
Baca juga: Infrastruktur sebagai Fondasi dan Investasi Peradaban
Namun, saat pandemi, proyek terhenti. Anggaran banyak dialihkan. Sebagian jalan ini juga sebenarnya kewenangan provinsi karena berbatasan dengan provinsi lain. ”Kendala lain adalah tak ada tambang pasir atau batu di sekitar sini. Padahal, mobilisasi bahan dan alat saja sudah makan biaya besar,” kata Indah.
Indah mengakui, cakupan wilayah Luwu Utara yang cukup luas membutuhkan waktu untuk menuntaskan banyak persoalan infrastruktur. Dia pun berharap pemerintah pusat mau turut mengintervensi persoalan infrastruktur ini, terutama jalan di Seko.