Mengalirkan nutrisi ke tanaman lewat sistem irigasi tetes menjanjikan hasil produksi yang maksimal. Inovasi pertanian ini kian diminati.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Hando Amando (31) mencampurkan pupuk dengan air ke dalam sebuah wadah, lalu menghubungkannya dengan alat pengalir. Nutrisi tanaman itu siap dilepas ke dalam pipa yang menjadi saluran utama sistem irigasi tetes. Sekitar 25.000 tanaman tomat di atas lahan seluas 1 hektar segera diairi.
”Bagi tanaman, pupuk ini nutrisi yang fungsinya sebagai makanan. Ibarat manusia, menu makanan yang lengkap itu ada nasi, sayur, ikan atau daging, buah, dan susu,” kata Hando, petugas pemupukan di lahan pertanian dengan sistem irigasi tetes di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (23/7/2022).
Pupuk yang sudah bercampur air itu mengalir melalui selang lalu menetes lewat lubang langsung ke setiap pohon. Setiap lubang untuk satu pohon. Ketika hari tanpa hujan, setiap tanaman diguyur selama 30 menit. Hal ini dihitung berdasarkan total kebutuhan air sekitar 250 mililiter per tanaman. Jika musim hujan, aliran air dikurangi.
Sementara penggunaan pupuk sebagai nutrisi tanaman dilakukan mulai dari penyiapan lahan. Lahan itu dibagi menjadi 12 blok. Penentuan blok untuk pengelompokan jenis tanaman dan pengaturan jalur irigasi. Setiap blok di dalamnya terdapat 12 bedeng, dan masing-masing bedeng akan ditanami 280 populasi. Jarak tanam sekitar 40 sentimeter.
Sebelum ditanam, di atas bedeng itu akan ditaburi terlebih dahulu pupuk, kadang berupa kotoran hewan. ”Dasarnya menggunakan pupuk alami yang diendapkan selama satu minggu sebelum penanaman. Kemudian anakan dari persemaian ditanam di bedeng. Untuk hortikultura, anakan yang sudah siap itu minimal memiliki empat daun atau dua minggu sejak persemaian,” ujar Hando.
Menurut Hando, yang juga alumnus Arava International Center of Agriculture Training di Timur Tengah itu, pemupukan dilakukan sesuai kebutuhan tanaman. Idealnya, dalam satu minggu, setiap tanaman membutuhkan sekitar 10 gram pupuk. Di lahan itu, mereka menggunakan pupuk berstandar nasional sebagaimana yang ditentukan Badan Standardisasi Nasional.
Pupuk dimaksud adalah nitrogen fosfor dan kalium (NPK), amonium sulfat (ZA), dan kalium klorida (KCI). ”Pupuk ini sesuai dengan anjuran pemerintah dan memang bagus. Untuk komposisinya, kami racik sendiri sesuai dengan kondisi tanah, iklim, dan jenis tanaman. Yang dijaga jangan sampai overdosis sebab bisa mematikan tanaman,” ucap Hando.
Penggunaan pupuk lewat irigasi tetes sangat efektif dan efisien jika dibandingkan dengan cara konvensional. Pupuk yang sudah tercampur air langsung menetes di tanaman. Proses pemberian pupuk juga tidak lagi menggunakan tenaga manusia sehingga otomatis mengurangi biaya tenaga kerja.
Sebagai contoh, untuk areal satu blok tanaman, mereka membutuhkan biaya pupuk sekitar Rp 3 juta. Jika masih menggunakan tenaga manusia, butuh tambahan biaya sekitar Rp 2 juta lagi untuk ongkos kerja. Penghematan biaya operasional merupakan kelebihan dari sistem irigasi tetes. Meski demikian, proses investasinya memerlukan modal besar.
Chois Bhaga (27), yang menangani bagian pemasaran, menuturkan, biaya yang dibutuhkan untuk pembelian bahan dan jasa instalasi irigasi tetes di areal seluas 1 hektar itu sekitar Rp 70 juta. Mahalnya investasi mengingat sebagian bahan harus dibeli dari Pulau Jawa. bahkan ada yang diimpor. Namun, ia menjamin, hasilnya akan memuaskan.
Jika proses pengolahan hingga pemasaran berjalan lancar, modal untuk investasi itu sudah bisa didapatkan kembali hanya dalam satu kali musim tanam. Ia mencontohkan, 1 hektar tanaman tomat dengan 25.000 pohon akan menghasilkan paling sedikit 25 ton tomat. Padahal, rata-rata produksi per hektar di atas 50 ton.
Dengan 25 ton saja, jika harga jual tomat paling murah Rp 5.000 per kilogram, akan diperoleh penghasilan Rp 125 juta. Padahal, harga tomat bisa sampai Rp 15.000 per kilogram. ”Itu baru satu kali musim tanam dan dalam satu tahun bisa lebih dari dua kali tanam. Memang investasinya mahal, tetapi hasilnya akan berlipat-lipat,” ujarnya.
Remigus Nong, salah satu aktivis pemberdayaan masyarakat di NTT, mengapresiasi inovasi pertanian yang dilakukan oleh anak muda. Tim irigasi tetes itu dipimpin oleh Yance Maring (31), Hando, Chois, dan beberapa anak muda lain. Mereka memberikan solusi pengolahan lahan yang efektif, efisien, dan memberikan hasil maksimal.
Nong mendorong desa-desa di NTT yang memiliki potensi pertanian agar mengembangkan sistem irigasi tetes. Sistem ini cocok untuk daerah yang minim sumber air. ”Dana desa lebih baik untuk kegiatan produktif seperti ini agar memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Beberapa desa sudah memulai dan hasilnya bagus,” kata Nong yang fokus melatih pengolahan minyak kelapa murni.
Kelangkaan pupuk
Cerita sukses tentang pengolahan pertanian irigasi tetes di Maumere memang tidak menggambarkan wajah pengelolaan pertanian di NTT pada umumnya. Di sejumlah daerah, petani masih berjibaku dengan kelangkaan pupuk. Itu dirasakan petani di sejumlah sentra pertanian, seperti di Manggarai, Ende, Rote, Kabupaten Kupang, Sumba, Belu, dan Malaka.
”Sulit sekali kami dapat pupuk yang bagus, sesuai anjuran pemerintah. Saat ini pupuk sulit diperoleh. Kadang kami beli yang orang tawarkan daring dengan harga murah. Ada juga yang kami ambil dari Timor Leste,” kata salah satu petani di Kabupaten Belu, wilayah perbatasan Indonesia dan negara Timor Leste.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat telah memerintahkan Dinas Pertanian NTT untuk memperhatikan distribusi pupuk ke petani. Distribusi pupuk menentukan kesuksesan program pertanian yang ia gaungkan selama ini, yakni ”Tanam Jagung Panen Sapi”. Sejumlah sentra pertanian di NTT didukung oleh pemerintah, termasuk pinjaman dana tanpa agunan dan tanpa bunga dari Bank NTT. Besaran pinjaman pengolahan lahan pertanian Rp 10 juta per hektar.
Viktor meyakini, sektor pertanian menjadi salah satu jalan membawa NTT menuju kesejahteraan, dan itu sudah mulai terlihat. Pengiriman jagung sudah dilakukan dari Kabupaten Sumba Barat Daya. Ia pun mengapresiasi dan memberi dukungan bagi inovasi pertanian seperti yang dilakukan kelompok anak muda di Maumere. Mereka mengalirkan nutrisi melalui irigasi tetes, model pertanian hortikultura yang kini makin diminati.