Ekowisata Hutan Meranti di Kotabaru, Kalimantan Selatan, bisa menjadi salah satu pilihan untuk menghilangkan penat. Sembari berwisata, pengunjung juga bisa menengok jejak kejayaan industri kayu di Kalimantan Selatan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·6 menit baca
Industri kayu pernah berjaya di Kalimantan Selatan pada era 1980-2000. Namun, kini pohon kayu rimba berukuran raksasa sudah jadi barang langka. Sedikit yang tersisa masih ditemukan di kawasan Ekowisata Hutan Meranti, Kotabaru. Di kawasan seluas 8,3 hektar tersebut terdapat lebih dari 1.300 tegakan meranti putih dan meranti merah.
Gerimis belum lama reda ketika Syahriyanto (52) bersama beberapa rekannya memasuki kawasan Ekowisata Hutan Meranti di Kotabaru, Kamis (7/7/2022). Pohon-pohon meranti yang masih basah menguarkan aroma khas kayu hutan. ”Benar-benar sejuk dan segar saat kita berada di dalam hutan ini,” ujar pengunjung dari Banjarmasin itu.
Suasana di dalam hutan meranti cukup gelap. Cahaya matahari yang mulai bersinar tak mampu menembus rimbunnya dedaunan meranti. Pohonnya yang rata-rata berdiameter lebih dari 50 sentimeter (cm) juga menjulang tinggi ke angkasa. ”Kita bersyukur masih memiliki hutan seperti ini. Sudah sepatutnya dijaga dengan baik,” kata Syahri.
Di dalam hutan meranti siang itu, Ela Novelia (22) bersama suami dan saudara sepupunya berkeliling dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Mereka berjalan menyusuri jalan beton setapak di dalam hutan meranti. Jalan beton itu masih basah dan agak licin sehingga petugas pun mengingatkan mereka untuk berhati-hati.
”Akhirnya bisa juga datang ke sini. Sebelumnya, hanya melihat di media sosial. Ternyata, hutan meranti sangat keren. Hutan yang masih asri seperti ini memang harus kita lestarikan,” kata pengunjung dari Tanjung Mangkok, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, itu.
Hutan meranti terletak di Desa Sebelimbingan, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru. Dari pusat kota Kotabaru, jaraknya lebih kurang 15 kilometer (km) atau sekitar 30 menit. Adapun jarak antara Kotabaru dan Kota Banjarmasin lebih dari 300 km.
Untuk masuk ke kawasan Ekowisata Hutan Meranti, pengunjung cukup membayar retribusi masuk sebesar Rp 7.000 per orang. Jika membawa kendaraan bermotor, dikenai tarif parkir Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 4.000 untuk mobil.
Ahmad Cholil, petugas pengelola Ekowisata Hutan Meranti menjelaskan, kawasan ekowisata tersebut dibuka pada akhir 2014 menjelang Perayaan Hari Nusantara 2014 di Kotabaru pada 15 Desember 2014. Waktu itu, ada rencana Presiden Joko Widodo berkunjung ke hutan meranti, tetapi batal.
”Ini adalah salah satu hutan meranti yang masih asli dan asri di Kalimantan Selatan, bahkan mungkin di Indonesia. Satu kawasan hutan yang dipenuhi dengan tanaman meranti,” ujarnya.
Hutan tanaman meranti tersebut ditanam tahun 1976 oleh PT Inhutani II. Di dalam kawasan hutan seluas 8,3 hektar (ha) itu terdapat sekitar 1.300 tegakan meranti putih (Shorea Polyandra Asthon P) dan lebih kurang 300 tegakan meranti merah. Diameter pohon meranti di sana ada yang sudah mencapai 80 cm dan tingginya sekitar 50 meter.
”Dulu, luas kawasan hutan meranti di sini mencapai 300 hektar. Namun, akibat adanya perambahan hutan atau penebangan liar (illegal logging), luas hutan meranti yang tersisa saat ini hanya 8,3 hektar,” katanya.
Guna menjaga keberadaan dan kelestarian hutan tanaman meranti, Pemerintah Kabupaten Kotabaru menjalin kerja sama dengan PT Inhutani II sesuai dengan nota kesepahaman atau MoU (Memorandum Of Understanding) Nomor 409.1/PK-Ekowisata/Dishut/2013 dan No 885/SPK/DIV-Can-PU/2013 dan ditindaklanjuti dengan pengembangan hutan meranti sebagai kawasan ekowisata sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor 188.45/607/KUM/2013 pada 6 Agustus 2013.
Hutan tanaman meranti tersebut juga ditunjuk sebagai sumber tegakan benih teridentifikasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Kalsel dengan surat Nomor 223/BPTH.Kal-2/STFK/2014. Karena itu, kawasan hutan meranti kini dipagari tembok keliling. ”Kawasan ini dijaga 24 jam oleh sekitar 30 petugas,” katanya.
Menurut Cholil, tegakan meranti di dalam kawasan hutan tersebut masih tergolong muda dan kecil jika dibandingkan dengan tegakan meranti yang ada di hutan rimba Kalimantan pada masa lalu. Kalau di hutan rimba, usia pohon meranti yang ditebang waktu itu bisa lebih dari 100 tahun dan diameter batangnya bisa mencapai 2 meter.
”Sekarang sudah susah menemukan pohon meranti di hutan rimba. Hutan meranti ini adalah salah satu yang tersisa. Karena itu, hutan ini tak hanya jadi tempat wisata, tetapi juga tempat penelitian. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa dan Bali pernah datang ke sini,” ujarnya.
Penyimpan karbon
Rudy Supriadi dan M Abdul Qirom dalam Jurnal Galam Volume 2 Nomor 2, Desember 2016, yang diterbitkan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, menyebutkan, hutan meranti di Kotabaru berada di areal Hutan Lindung Gunung Sebatung (725 meter dari permukaan laut). Hutan meranti tersebut berada di ketinggian 100-140 mdpl.
Potensi simpanan karbon di hutan meranti mencapai 161,1 ton per hektar, yang terdiri dari gudang karbon pohon sebesar 94,7 ton per ha, tanah sebesar 53,2 ton per ha, tumbuhan bawah sebesar 5,8 ton per ha, serasah sebesar 5,1 ton per ha, dan nekromasa sebesar 2,1 ton per ha. Proporsi simpanan karbon pohon mencapai lebih dari 50 persen.
”Proporsi simpanan karbon pohon yang besar tersebut harus menjadi perhatian dalam pengelolaan lahannya. Hal ini karena kerusakan tegakan akan menyebabkan hilangnya karbon yang besar,” ucap keduanya.
Dalam jurnal yang sama, Agus Karyono dan Junaidah menjelaskan, pohon meranti merah dapat tumbuh baik pada lokasi yang memiliki drainase baik, umumnya lereng-lereng bukit, dengan ketinggian di bawah 700 mdpl. Tanaman meranti dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan tekstur lempung berliat dan pH tanah tergolong masam.
Kayu meranti merah termasuk kelas awet III-V dan kelas kuat II-IV, mudah dikerjakan, tidak mudah pecah atau mengerut. ”Kayunya terutama dipakai untuk lapisan (veneer) dan kayu lapis, bahan bangunan perumahan, dan dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan, peti pengepak, peti mati, dan alat musik,” ujar keduanya.
Setiap minggu, tidak kurang dari 5.000 pengunjung yang datang ke sini, terutama saat akhir pekan.
Beragam wisata
Cholil mengatakan, hutan meranti yang tersisa di Kotabaru saat ini sama sekali tidak untuk diambil kayunya, tetapi hanya untuk beragam kegiatan wisata dan penelitian. Pengelolaan kawasan Ekowisata Hutan Meranti kini dipercayakan kepada Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Kotabaru.
”Setiap minggu, tidak kurang dari 5.000 pengunjung yang datang ke sini, terutama saat akhir pekan. Kalau musim liburan (sekolah ataupun lebaran), pengunjungnya bisa jauh lebih banyak,” ujarnya.
Di kawasan Ekowisata Hutan Meranti, pengunjung juga bisa menikmati pemandangan matahari terbit (sunrise) ataupun matahari terbenam (sunset) dari puncak bukit hutan meranti. Dari puncak bukit tersebut terlihat pemadangan alam Kotabaru yang indah. Jika membawa anak-anak, tentu saja wajib singgah ke taman satwa untuk menengok rusa sambar, rusa timur, rusa tutul, kelinci, dan burung dara songkok. Pengunjung bisa sambil memberi makan kepada satwa-satwa tersebut.
Tersedia pula satu pendopo untuk acara pertemuan ataupun pentas seni dan tiga penginapan (guest house) bagi wisatawan yang ingin menginap. Satu penginapan terdiri dari empat kamar tidur dan dua kamar mandi, serta dilengkapi dengan penyejuk ruangan atau AC. Satu penginapan bisa ditempati delapan orang dewasa.
”Biaya sewa guest house di sini sangat terjangkau, yakni hanya Rp 450.000 per malam. Tetapi, kalau mau menginap, harus pesan dulu jauh-jauh hari untuk memastikan ketersediaan guest house,” kata Cholil.
Di tengah upaya pariwisata bangkit dalam rangka pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, Ekowisata Hutan Meranti bisa menjadi salah satu pilihan menarik bagi wisatawan. Sembari berwisata, kita juga bisa menengok jejak kejayaan industri kayu di Kalimantan Selatan.