Harimau ”Citra” Mati di Kerinci Seblat, Manajemen Pelepasliaran Dinilai Buruk
Harimau sumatera hasil penangkaran mati setelah 1,5 bulan dilepasliarkan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Kematian seharusnya bisa dihindari jika konflik dengan warga desa ditangani . Ada GPS juga di leher Citra.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Harimau sumatera hasil penangkaran bernama Citra Kartini mati setelah 1,5 bulan dilepasliarkan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Kematian satwa seharusnya bisa dihindari jika konflik harimau dengan warga desa yang sempat terjadi ditangani dengan baik. Satwa mati dengan peradangan sejumlah organ. Citra merupakan hasil penangkaran dari sepasang induk korban konflik.
”Kami memantau pergerakan satwa melalui GPS collar yang sebelumnya sudah dipasang di leher Citra. Pada 17-18 Juli, Citra Kartini tidak menunjukkan pergerakan sehingga kami langsung turun ke titik itu dan menemukannya sudah mati,” kata Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BB-TNKS) Pratono Puroso dalam pernyataan tertulis, Jumat (22/7/2022).
Citra Kartini dan Surya Manggala sebelumnya dilepasliarkan di TNKS pada 7-8 Juni 2022. Dua satwa tersebut lahir dan besar di Suaka Satwa Harimau Sumatera Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, dari sepasang induk bernama Gadis dan Monang. Pelepasliaran itu awalnya disebut sebagai model keberhasilan konservasi harimau sumatera di tengah penurunan populasi yang sangat tajam dan ancaman yang semakin luas.
Pratono mengatakan, Citra ditemukan mati di Desa Baru Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Selasa (19/7/2022). Menurut dia, lokasi temuan itu berada sekitar 800 meter di luar batas TNKS.
Pemantauan pergerakan Citra pun sudah dilakukan secara intensif sejak 23 Juni setelah ada laporan dari warga tentang munculnya harimau sumatera di sekitar Desa Renah Kayu Embun dan sekitarnya. Tim dari Balai Besar TNKS, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jambi, dan Balai Besar KSDA Sumut pun melakukan pemantauan.
”Untuk penanggulangan konflik, kami memasang kandang jebak dan kamera untuk menangkap dan mengevakuasi Citra,” kata Pratono.
Namun, pantauan di GPS collar akhirnya menunjukkan tidak ada pergerakan Citra hingga ditemukan mati. Proses nekropsi (otopsi untuk hewan) telah dilakukan oleh dokter hewan (drh) Dwi Sakti Nusantara dan drh Kenda Adhitya Nugraha.
Citra didiagnosis mengalami pendarahan hampir di semua organ. Peradangan terjadi pada hati, ginjal, dan paru; terjadi pembesaran jantung; kekurangan cairan tubuh; dan anemia akut. Namun, Pratono tidak menjelaskan apakah ada atau tidak ada luka terbuka di tubuh Citra.
”Untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian Citra, beberapa sampel organ dikirim untuk uji laboratorium di Balai Veteriner Bukit Tinggi,” kata Pratono.
Evaluasi internal
Citra adalah betina dengan bobot 88 kilogram, tinggi 72 sentimeter, dan panjang 240 sentimeter saat dilepasliarkan. Sementara itu, Surya adalah jantan berbobot 122 kilogram, tinggi 75 sentimeter, dan panjang 251 sentimeter. Induk betina kedua harimau itu, Gadis, diselamatkan dari hutan di Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, pada 2015 dengan kondisi yang sangat kritis. Kaki kanan depannya yang terkena jerat sudah membusuk dan dipenuhi belatung. Ia berhasil diselamatkan, tetapi kakinya harus diamputasi.
Induk jantannya, Monang, ditemukan dalam keadaan kaki terjerat kawat di Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, pada 2017. Kaki Monang bisa disembuhkan.
Manajer Suaka Satwa (Sanctuary)Harimau Sumatera Barumun Alfajar sangat menyesalkan kematian Citra. ”Perlu evaluasi internal untuk manajemen pelepasliaran harimau Sumatera. Jika sejak awal dilakukan dengan baik, kematian Citra seharusnya tidak terjadi,” kata Alfajar.
Kepemimpinan di setiap balai di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sangat banyak sehingga tidak bisa mengambil keputusan cepat dan tepat.
Alfajar pun menyesalkan euforia pemerintah yang sangat berlebihan saat pelepasliaran. Semua lembaga seperti berebut panggung. Namun, ketika terjadi konflik harimau dengan masyarakat tidak ditangani dengan baik. Pernyataan TNKS yang menyebut harimau mati di luar wilayahnya seolah untuk mengelak dari tanggung jawab.
Padahal, pemasangan GPS collar di harimau tersebut sangat membantu penanganan konflik. Menurut informasi di lapangan, kata Alfajar, harimau itu diduga mati karena diserang kerbau atau diracun masyarakat. Harimau itu mati di kawasan hutan produksi di pinggir hutan yang sudah dirambah masyarakat.
Pemerintah pun didorong melakukan evaluasi secara menyeluruh. Salah satu yang harus diperbaiki adalah kepemimpinan di setiap balai di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sangat banyak sehingga tidak bisa mengambil keputusan cepat dan tepat.
Hasil survei BB-TNKS, ada 97 individu harimau sumatera yang teridentifikasi di TNKS. Di seluruh Sumatera, populasi harimau Sumatera diperkirakan 500-600 ekor.
Saat ini, masih ada seekor harimau lagi, yakni Surya, yang harus dipantau dengan baik agar terhindar dari konflik dan kematian. Di Suaka Satwa Harimau Sumatera Barumun, Gadis dan Monang pun sudah punya dua anak lagi yang kini berusia enam bulan dan beberapa tahun lagi akan dilepasliarkan.