Kisah Daulat Rupiah di Tapal Batas Negeri
Di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, di Kalimantan Utara, penggunaan mata uang kedua negara dalam transaksi sehari-hari tidak terelakkan. Namun, kecintaan dan kebanggaan kepada rupiah masih kuat di benak warga.
Rekaman cericit burung walet dari pelantang suara memberisiki telinga. Sesekali motor berlalu-lalang di Jalan Perbatasan, Patok Tiga, Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Wilayah itu merupakan kawasan perbatasan RI-Malaysia yang ada di Kaltara.
Di jalan itu, umbul-umbul merah-putih yang telah pudar warnanya menghiasi bagian depan sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Rumah panggung itu sekaligus merupakan warung aneka minuman segar berperisa. Di dalamnya, Suliyani (56), warga negara Indonesia (WNI), duduk menanti pembeli.
”Kalau minuman kaleng seperti Sprite ini banyak dari Malaysia. Kalau mi instan seperti Mi Sedap ini dari Indonesia,” tutur Suliyani, Jumat (15/7/2022), menerangkan macam-macam dagangannya.
Lihat juga: Transportasi Antarpulau di Kalimantan Utara
Di salah satu sudut warungnya tertempel daftar harga aneka minuman pada sebuah kertas putih yang mulai lusuh berukuran sekitar panjang 1 meter dengan lebar 50 sentimeter. Bertuliskan tangan dengan spidol hitam, harga dalam dua jenis mata uang dicantumkan, yaitu rupiah dan ringgit. Harga Milo Susu Panas, misalnya, tertulis 2,00 ringgit/Rp 8.000. Adapun untuk Milo Susu Sejuk (dingin) tertulis 2,50 ringgit/Rp 10.000.
”Itu daftar harga lama. Kalau ada yang beli, saya sukanya terima uang kita, uang rupiah. Tapi yang namanya kita di perbatasan kan kita tidak bisa melarang juga kalau ada yang kasih ringgit,” katanya sambil tertawa.
Uang ringgit tidak hanya dia terima dari pembeli, tapi juga dari keluarganya yang sebagian besar menjadi warga negara Malaysia dan tinggal di Tawau, Sabah, Negara Malaysia Bagian Timur. Tujuh adiknya, bahkan empat anak serta lima cucunya juga tinggal di Tawau yang hanya berjarak 20 menit menyeberang perairan Laut Sulawesi menggunakan kapal.
”Kemarin Lebaran dapat THR berupa ringgit dari anak yang kerja di bank Malaysia, kata Suliyani sambil membuka amplop biru nan mengilat bertuliskan ”RHB”, salah satu bank Malaysia.
Lihat juga:
Dalam amplop RHB yang bertuliskan ”Salam Aidilfitri” dengan tinta perak itu pula, Suliyani menyimpan uangnya. Di sana terdapat uang rupiah pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000 masing-masing 1 lembar dan juga uang ringgit pecahan 1 ringgit, 5 ringgit, 50 ringgit, dan 100 ringgit masing-masing juga satu lembar. ”Ini yang 100 ringgit bukan punya saya, melainkan titipan orang dari Tawau untuk diberikan ke saudaranya di sini,” ujarnya tersenyum.
Dengan omzet sekitar Rp 100.000 per hari, Suliyani turut menyokong penghasilan suaminya yang sehari-hari menggarap kebun sawit milik keluarganya. Penghasilannya tersebut dipakai untuk makan sehari-hari serta membiayai kuliah si bungsu di Kuala Lumpur. Adapun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Suliyani mengakui bahan pangan seperti telur dan ayam banyak dibeli dari Tawau karena lebih segar dibandingkan jika harus mendatangkan dari kota-kota di Kalimantan ataupun Sulawesi.
Demikian pula dengan gas untuk memasak didatangkan dari negera sebelah. ”Sekarang memang elpiji dari Pertamina sudah ada banyak. Saya pakai yang 3 kilogram, harganya Rp 20.000 di pangkalan atau Rp 25.000 di eceran. Tapi saya juga pakai yang dari Malaysia, harganya 50 ringgit untuk 14 kilogram. Lebih lama yang Malaysia bisa sampai dua bulan,” katanya.
Hal serupa disampaikan Nur Cahaya (55), pemilik rumah makan ”Cahaya Pare” di Dusun Bahagia, Desa Sei Nyamuk, Kecamatan Sebatik Timur. ”Harga telur dari Malaysia per 30 butir kadang Rp 40.000, kadang Rp 38.000 tergantung ukurannya. Memang lebih fresh,” tutur Cahaya.
Sebagai pemilik rumah makan, Cahaya lebih senang menerima pembayaran dengan uang rupiah, tapi jika ada pembeli yang terpaksa membayar dengan ringgit, Cahaya tidak menolaknya.
”Kalau membayar 5 ringgit ya tidak saya tolak. Tapi kalau yang beli memakai uang sampai 100 ringgit, saya minta dia untuk menukarkan dulu uangnya dulu ke rupiah di Supermarket Kebalen di depan sana,” papar Cahaya.
Bangga rupiah
Menurut Cahaya, pada 1988 memang semua jenis transaksi jual-beli menggunakan mata uang ringgit. Namun seiring berjalannya waktu serta perkembangan dan pembangunan di Pulau Sebatik wilayah Indonesia, rupiah semakin dikenal dan digunakan. Di rumah makannya pun daftar menu hanya dicantumkan dengan nominal rupiah. ”Terus terang saya, gimana ya, rumit menghitung ringgit. Pusing karena setiap hari nilainya berubah, kadang naik dan kadang turun,” ujarnya.
Cahaya mengisahkan, dulu pernah ada toko bernama Veronica di Sebatik yang menjual barang dari Indonesia dicantumkan harga rupiah, sedangkan barang dari Malaysia dicantumkan dengan harga ringgit. Namun, toko itu kini sudah tutup dan pencantuman harga sesuai asal barang juga tidak ditemukan lagi. ”Yang jelas sekarang kita bersyukur barang Malaysia dan Indonesia sudah mulai bersainglah. Masyarakat juga sudah bisa tahu mana barang yang bagus dan tidak,” katanya.
Lihat juga: Taman Berlabuh Tarakan
Mengenai perbandingan keuntungan rupiah dan ringgit dalam transaksi, Cahaya menjawab, ”Kalau saya karena sudah terbiasa cinta Indonesia ya senang rupiah karena enak saja hitungannya. Kalau hitung ringgit itu kan sekarang misalnya Rp 3.400 poin 4, wah pusing saya. Intinya uang kita rupiah, kan tidak pernah ada naiknya, kalau Rp 10.000 ya Rp 10.000. Kalau ringgit berubah-ubah, saya pusing.”
Saat kedua anak Cahaya masih kecil dan bersekolah di bangku SD, Cahaya memberi uang saku berupa ringgit lantaran penjual jajanan kala itu semuanya menggunakan ringgit. ”Mereka bawa ringgit, misalnya 1 sen, tapi tetap saya ajarkan dan beri tahu, Rupiah adalah mata uang kita dan ringgit adalah mata uang negara sebelah,” katanya.
Di Pasar Kampung Baru, Kecamatan Sebatik Timur, sejumlah pedagang dan pembeli juga banyak menggunakan rupiah dalam bertransaksi. Joko Santoso (43), pembuat dan pedagang tahu dan tempe di pasar itu, mengakui, transaksi di Pasar Kampung Baru lebih banyak memakai rupiah.
”Kalau ada yang pakai ringgit ya tetap saya terima. Sebenarnya kami diuntungkan kalau memakai ringgit, karena bisa disimpan. Kalau nilainya naik bisa ditukarkan. Kelebihannya seperti itu. Jadi di sini tidak dikenal krisis moneter,” kata Joko sembari tertawa.
Namun, suasana berbeda tampak di Pasar Aji Kuning, di mana masih lebih mudah ditemukan pembeli dan penjual yang bertransaksi menggunakan ringgit. ”Iya ini pas adanya uang ringgit, jadi bayar pakai ringgit,” kata Dali (64) yang ditemui saat membeli 5 roti canai seharga 5 ringgit.
Sunra (32), penjual Canai, mengatakan, dalam sehari dia bisa mendapatkan pemasukan hingga Rp 800.000. Ditanya tentang persentase antara rupiah dan ringgit yang diterima, menurut dia, kadang bisa 50 persen berupa rupiah dan 50 persen lainnya ringgit. Namun, itu tidak tentu.
Dua mata uang
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian, dan Perdagangan Kabupaten Nunukan Sabri mengakui, penggunaan ringgit di perbatasan memang masih ada. Namun, di wilayah Sebatik diperkirakan tidak sampai 10 persen.
”Ini berproses, dari dulu ada penggunaan dua mata uang. Sebatik ini bagian dari Kabupaten Nunukan, kita memang dulunya Pulau Nunukan juga seperti itu. Umum seperti itu, mengapa, karena masih banyak barang kebutuhan dipasok dari Malaysia. Sekarang di Nunukan, yang pakai ringgit paling 1-2 persen saja, sementara di Sebatik saya perkirakan tidak lebih dari 10 persen,” ujar Sabri.
Sosialisasi bersama Bank Indonesia terkait penggunaan rupiah rutin dilakukan di wilayah perbatasan. Selain itu, untuk membangun wilayah perbatasan dibutuhkan kerja sama banyak pihak, terutama dalam penyediaan bahan kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau. ”Dulu pernah ada peternakan ayam petelur, tapi tidak lama kemudian tutup karena biaya pakannya yang tinggi dan dinilai lebih menguntungkan mendatangkan ayam dan telur dari Malaysia,” ujarnya.
Perdagangan lintas batas negara sebagaimana tergambar di Sebatik sesuai dengan kajian Robert Siburian dalam penelitiannya, ”Pulau Sebatik: Kawasan Perbatasan Indonesia Beraroma Malaysia”, yang diterbitkan Jurnal Masyarakat dan Budaya (2012). Perdagangan lintas batas negara biasanya dilakukan oleh individu atau pedagang kecil dengan volume barang 100 kilogram. Jenis utama komoditas yang diperdagangkan ialah hasil pertanian serta barang-barang konsumsi. Di Sebatik, pedagang lintas batas menggunakan perahu motor berbobot lebih kurang 5 gros ton (GT).
Disebutkan pula, bagi pelaku perdagangan lintas batas ini, bertransaksi dengan menggunakan dua mata uang dapat memberi keuntungan dari dua sisi. Pertama, keuntungan diperoleh dari harga barang yang sudah dinaikkan sebelum dijual kembali. Kedua, keuntungan dari nilai tukar uang.
Fenomena kehidupan di pulau perbatasan ini juga terekam dalam buku Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan yang ditulis oleh Mustafa Abubakar (2006). Dengan luas sekitar 50.000 hektar atau 500 kilometer persegi, Sebatik terbagi menjadi dua wilayah negara. Malaysia ada di sisi utara dan Indonesia di sisi selatan.
Untuk wilayah Indonesia sendiri, luas Sebatik 299,07 kilometer persegi. Jumlah penduduk Sebatik menurut sensus BPS (2020) 47.571 jiwa yang tersebar di lima kecamatan. Sebagian besar penduduk Sebatik menggantungkan hidupnya pada perkebunan, seperti sawit, kakao, karet, kopi, vanili, dan lada.
Rupiah menguat
Dengan melihat situasi demografi, geografi, dan sosial di Sebatik, pertukaran dengan dua mata uang menjadi tidak terhindarkan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, penggunaan rupiah terus menguat. BI giat melakukan penukaran uang.
Kepala Kantor Perwakilan BI Kalimantan Utara Tedy Arief Budiman mengatakan, penukaran uang pecahan Rp 20.000-Rp 100.000 di wilayah Sebatik rutin dilakukan setiap tahun melalui program kas keliling. Pada 2017, tercatat 5 kali kegiatan penukaran uang, 10 kali kegiatan (2018), 7 kali kegiatan (2019), 2 kali kegiatan (2020), dan 3 kali kegiatan (2021), serta 3 kali kegiatan (2022). ”Pada 2020, ada penurunan frekuensi kegiatan karena pandemi Covid-19,” kata Tedy.
Secara berurutan, penukaran uang di Pulau Sebatik mencapai Rp 2 miliar (2017), Rp 3,82 miliar (2018), Rp 8,29 miliar (2019), Rp 2,37 miliar (2020), Rp 1,86 miliar (2021), dan Rp 1,84 miliar (2022). Penggunaan rupiah di Pulau Sebatik juga terus meningkat. Pada 2017, penggunaan rupiah 70 persen, naik menjadi 78 persen (2018), 91 persen (2019), 93 persen (2020), 95 persen (2021).
Sejumlah kendala memang dialami BI dalam mewujudkan kedaulatan rupiah di Pulau Sebatik. Kendala itu antara lain karena kondisi geografis Pulau Sebatik yang dekat dengan Malaysia sehingga terjadi transaksi ekonomi antarkedua negara, jarak Sebatik dengan kantor BI di Tarakan yang perlu waktu 3,5 jam melalui transportasi laut, kebutuhan pokok warga Sebatik yang tergantung pada produk Malaysia, warga yang banyak bekerja sebagai TKI di kebun sawit Malaysia, serta kurangnya kesadaran dan edukasi kepada masyarakat tentang cinta, bangga, dan paham rupiah.
Untuk mengatasi hal itu, kata Tedy, BI bekerja sama dengan perbankan yang ada di Pulau Sebatik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang rupiah. BI juga bekerja sama dengan Babinsa setempat, pemerintah daerah, dan TNI dalam menyosialisasikan penggunaan rupiah.
”Pada 2022, BI dengan Dinas Pendidikan Pulau Sebatik berencana mengadakan kegiatan edukasi Cinta Bangga Paham Rupiah kepada SD, SMP, SMA/SMK yang ada di sana,” tuturnya.
Mengungkit kesejahteraan
Dihubungi terpisah, dosen Administrasi Bisnis Politeknik Negeri Nunukan, Didi Febriyandi, mengatakan, persoalan kedaulatan di wilayah perbatasan harus berpijak pada perjanjian sosial-ekonomi dua negara yang bertetangga, Indonesia-Malaysia. Salah satu poinnya ialah kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Rencana pembangunan pos lintas batas negara (PLBN) di Sebatik juga dapat menjadi pintu masuk menyejahterakan wilayah itu. Adanya PLBN itu dapat menjadi pintu bagi kegiatan perdagangan, perikanan, dan pengaturan imigrasi yang lebih baik.
Menurut Didi, penegakan kedaulatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di Sebatik dapat diupayakan lewat memperketat jalur-jalur tikus yang menjadi tempat keluar-masuknya orang dan barang secara ilegal. Tidak kalah penting lagi adalah membangun sumber daya manusia di daerah perbatasan.
Peningkatan SDM dinilai menjadi penunjang keberhasilan suatu daerah, termasuk di Pulau Sebatik. ”Caranya bagaimana, PLBN bisa memprioritaskan tenaga kerja lokal sesuai dengan spesifikasinya. Kalau dari sisi pendidikan sekolah ini sudah lumayan jalan. Di Pulau Sebatik ini jadi percontohan kota santri. Perguruan tinggi sangat dibutuhkan,” katanya.
Saat ini, di Nunukan ada tiga perguruan tinggi, yaitu Politeknik Negeri Nunukan, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ibnu Khaldun Nunukan, dan Universitas Terbuka.
Dengan posisi Sebatik yang berada di perbatasan kedua negara, penegakan kedaulatan menjadi penting. Pembangunan menyeluruh dan merata di pulau terdepan ini berikut dengan ketersediaan sentra-sentra produksi bahan kebutuhan pokok perlu digenjot sehingga mampu mengikis ketergantungan pada negeri jiran. Dari sanalah kiranya rupiah akan kian banyak digunakan dan menegaskan daulatnya.