Desa Geunteut, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh, dianugerahi tanah yang subur. Durian dan nilam adalah dua komoditas yang menghidupi warganya. Saat nilam dan durian dibungkus dalam kemasan wisata, desa itu kian populer.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Setelah menuruni Gunung Kulu, setiap orang yang datang disambut hamparan sawah yang sebagian baru ditanami. Di kejauhan terlihat beberapa petani sedang menanam padi. Sabtu pagi, 4 Juni 2022, hujan ringan menyiram kawasan itu. Udara sejuk terasa menembus jaket.
Saat masuk ke desa disambut oleh plang besar bertuliskan ”Desa Wisata Inovasi Geunara”. Geunara merupakan singkatan dari Geunteut Nilam Aceh Raya. Desa itu ingin menasbihkan diri sebagai desa wisata nilam di ”Serambi Mekkah”.
Haris (21), Della (21), dan Cut Nauval (24) tiga sekawan dari Kota Banda Aceh sudah lama ingin melawat ke desa itu. Sebagai penulis lepas mereka memang suka berkunjung ke desa-desa wisata.
Sebuah kedai kayu tak jauh dari kantor desa menjadi tempat menerima tamu. Hujan rintik belum reda. Untuk menghangatkan tubuh, mereka disuguhi ”kopi kampung” jenis robusta. Disebut kopi kampung karena kopi itu hasil yang ditanami di kebun-kebun milik warga di Desa Geunteut.
”Orang kadang tidak percaya di sini ada kopi. Memang tidak luas, tetapi cukup untuk dikonsumsi warga di kampung,” kata Khairul Riza (35), penggerak wisata di desa itu.
Respons publik cukup baik, banyak influencer, mahasiswa, hingga politisi datang ke sini.
Desa Geunteut dan desa-desa lain di Kecamatan Lhoong memiliki tanah yang subur. Mayoritas warga desa hidup dari hasil pertanian. Mereka menanami palawijaya, sayur mayur, termasuk kopi.
Dari sekian banyak tanaman, durian paling populer. Berpuluh-puluh tahun lalu, Geunteut dikenal sebagai pusat produksi durian enak.
Sayangnya, Cut dan dua kawannya datang bukan pada waktu yang tepat. Pohon durian sedang berbunga, mungkin Oktober atau November baru musim panen.
”Tidak apa-apa nanti waktu panen kami datang lagi,” kata Cut, yang juga mahasiswa di Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh.
Nyaris semua keluarga di Desa Geunteut memiliki batang durian. Bagi warga Geunteut, durian tak ubahnya harta pusaka yang diwariskan kepada anak cucu.
Saat musim panen, rata-rata per batang menghasilkan Rp 3 juta. Semakin banyak batang durian yang dimiliki semakin besar pula potensi pendapatan.
Seperti Khairul, dia memiliki 100 batang durian, 50 batang di antaranya telah berbuah. Saat musim panen, rata-rata per batang menghasilkan Rp 3 juta. Artinya, dalam setahun sekali panen dia memperoleh Rp 150 juta.
”Orang Geunteut membangun rumah, menyekolahkan anak, bahkan menikah pakai uang durian. Kalau sedang musim panen, Geunteut sangat meriah,” ujar Khairul, yang juga penggerak wisata durian di desa itu.
Cut, Dela, dan Haris cukup berkesan dengan suasana desa itu. Hamparan sawah yang dibatasi perkebunan durian menjadi pemandangan yang teduh. Di bawah tanaman durian ditanami nilam, pinang, hingga kakao.
Sementara sisi lainnya Lhoong dibatasi oleh pantai. Sebagian warga beraktivitas sebagai nelayan. Kondisi ini membuat Desa Geunteut dan desa lainnya di Kecamatan Lhoong mandiri pangan.
Sejak dua tahun lalu Khairul bersama pemuda di desa itu mulai mengemas durian sebagai paket wisata. Mereka ingin mengajak orang merasakan pengalaman menunggu durian jatuh, memungut, hingga menyantap di bawah pohon sepuasnya.
Harga paket bervariasi Rp 100.000 per orang hingga Rp 150.000 per orang. Dengan mengeluarkan biaya sebesar itu, pengunjung dapat menikmati durian sepuasnya. Promosi dilakukan melalui media sosial.
”Respons publik cukup baik, banyak influencer, mahasiswa, hingga politisi datang ke sini,” ujar Khairul.
Para anak muda yang tergabung kelompok sadar wisata mendapat tugas menjadi pemandu. Mereka juga yang membagi-bagi tamu ke masing-masing kebun durian warga sehingga semua dapat jatah.
Sebelumnya, durian-durian Geunteut dijual kepada pengepul dengan harga yang relatif murah. Namun, kini sebagian telah dijual menjadi paket wisata dengan harga lebih tinggi. ”Sebenarnya yang kita jual bukan durian, tetapi pengalaman menunggu durian dan menyantap di kebun,” ujar Khairul.
Kembangkan nilam
Sebenarnya nilam juga merupakan tanaman bersejarah di Geunteut. Puluhan tahun lalu Geunteut termasuk penghasil minyak nilam, tetapi pada masa krisis moneter harga nilam jatuh dan membuat petani kehilangan semangat merawatnya.
Setelah sekian lama tenggelam, kini nilam kembali dikembangkan. Petani kian semangat menanam nilam karena ada jaminan harga dari Pusat Riset Nilam Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Bukan hanya jaminan harga, para peneliti dari kampus juga mendampingi petani dari cara memilih bibit, menanam, merawat, memanen, hingga penyulingan.
Ketua Kelompok Petani Nilam Geunteut Subhan menuturkan, animo petani untuk menanam nilam mulai tumbuh. Kini lahan yang telah ditanami nilam 30 hektar. Subhan yakin luas penanaman akan terus bertambah.
Minyak nilam itu dijual kepada Pusat Riset Nilam USK dengan harga mininal Rp 500.000 per kilogram atau maksimal sesuai dengan harga pasar.
Petani nilam di desa itu juga mendapatkan hibah ketel penyulingan. Belakangan mereka juga dilatih cara membuat parfum dari minyak nilam.
Warga Geunteut dan para peneliti USK ingin menjadikan desa itu sebagai penghasil durian enak dan produk nilam. Jika nanti tamu datang ke sana, mereka dapat menyantap durian dan pulang membawa parfum nilam Geunara.
Hari itu, Cut, Dela, dan Haris sedang tidak beruntung. Durian belum panen dan parfum nilam telah habis terjual. Namun, hal itu justru melecut mereka untuk kembali ke Desa Geunteut akhir tahun, saat durian mulai jatuh.