Bissu, Penjaga Budaya Bugis
Bissu sejatinya tak lagi dilihat dalam perspektif jender ataupun kepercayaan karena komunitas ini adalah produk budaya. Mereka adalah salah satu benteng penjaga peradaban.
Jauh sebelum agama-agama yang saat ini diakui negara masuk ke Sulawesi Salatan, suku Bugis sudah mengenal kepercayaan kepada pemilik semesta dan kehidupan. Bissu dipercaya sebagai orang suci yang menjadi penghubung antara manusia dan pencipta. Mereka dianggap memiliki pengetahuan tentang berbagai tradisi dan kearifan hidup.
Terlahir dengan jenis kelamin laki-laki, tetapi memiliki ekspresi seksual perempuan, bagi Ancu (57), adalah takdir. Pun saat melewati berbagai tahapan untuk bisa menjadi bissu dan kemudian dipilih sebagai Puang Matoa atau pemimpin komunitas bissu dan yang dituakan, baginya itu adalah panggilan dari sang pencipta. Dia yakin betul, menjadi bissu bukankah pilihan, melainkan panggilan.
Masih pagi benar, Minggu (17/7/2022), Bissu Ancu atau dikenal dengan nama lain Bissu Angel sudah siap dengan pakaian kebesarannya. Sebagai pemimpin, dia mengenakan baju bodo berwarna hitam panjang. Pada bagian bawah dia menggunakan celana panjang, sarung, dan passapu (penutup kepala). Ada pula keris yang diselip di bagian depan, dengan wajah dipoles riasan tak seberapa tebal. Sejumlah perhiasan pelengkap baju juga terpasang.
Bersama lima rekan lainnya yang berstatus bissu pasere dan inang bissu, mereka bersiap ke Kecamatan Citta, Kabupaten Soppeng. Letaknya berbatasan dengan Kabupaten Bone. Di sana ada pernikahan, Bissu Ancu dan rekannya akan bertugas mengatur penjemputan mempelai laki-laki. Dua jam berkendara di jalan yang rusak, mereka tiba di tempat acara.
”Saya diminta menjemput mempelai laki-laki sekaligus mengatur semua persiapan. Ini semacam penjemputan secara adat. Saya akan mengantar hingga ke ruang akad nikah didampingi bissu lain. Setelah akad selesai, saya kembali menjemput dan mengantar ke ruang resepsi. Setelah itu, kami akan melakukan ritual Sere Bissu Maggiri’,” paparnya.
Benar saja, saat mempelai datang, dia menjemput di dekat pintu mobil sembari merapalkan mantra dan doa. Bissu yang lain melempar beras yang sudah disangrai ke arah mempelai. Diiringi suara tetabuhan gendang dan tiupan terompet (pui-pui), para bissu mengantar mempelai laki-laki hingga ke rumah.
Seusai akad nikah, mereka menjemput kedua mempelai dan mengantar ke pelaminan, tempat resepsi akan digelar. Namun, tugas mereka belum selesai. Yang terakhir dan biasanya paling ditunggu adalah saat mereka mementaskan Sere Bisau Maggiri’, tarian yang berbau magis. Ada perpaduan antara gerakan lemah lembut dan aksi menusuk bagian-bagian tubuh dengan keris.
”Mungkin karena kemampuan Maggiri’ (menusuk) ini lalu masyarakat melihat kami sebagai orang kebal, punya kekuatan tertentu. Padahal, itu hanya terjadi saat kami menari. Di hari-hari biasa, saya juga takut melihat pisau,” kata Bissu Ancu sembari tertawa.
Mengatur acara adat
Sepanjang Juli-September mendatang, pernikahan memang ramai digelar di kalangan suku Bugis. Bulan-bulan ini dianggap sebagai bulan dan hari baik untuk melangsungkan pernikahan dan hajatan lain. Ini membuat Bissu Ancu menjadi sangat sibuk.
Memiliki usaha penyewaaan baju adat, tenda pengantin, dan pelaminan, hingga urusan merias pengantin cukup menyita perhatiannya. Belum lagi jika ada keluarga calon mempelai meminta jasanya mengurus segara sesuatu terkait ritual dan tahapan acara.
”Biasanya banyak yang minta saya terlibat dari awal sampai akhir. Mulai dari mengatur acara, menyiapkan pakaian adat lengkap, sampai urusan mencari air dari beberapa sumber mata air untuk memandikan pengantin. Urusan bedak kampung juga saya yang menyiapkan bahannya,” katanya.
Tak semua yang punya hajatan menggunakan jasa bissu untuk acara. Kalangan bangsawan dan berpunya atau keduanya yang biasa memakai jasa mereka. Bagi mereka, ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri jika melibatkan bissu dalam prosesi dan seluruh rangkaian acara.
Bissu Yuyun (34) juga tak kalah sibuk. Pemilik sanggar tari dan musik tradisional ini selalu kelimpahan tanggung jawab mengurus tari dan musik penyambutan di hajatan nikah. ”Saya mengkoordinir saja anggota sanggar untuk mempersiapkan segala sesuatu. Biasanya saya juga diminta untuk hadir di acara lain untuk ritual atau kadang bergabung bersama Bissu Ancu,” katanya.
Baca Juga: Menjadi Berbeda Bukan Penghalang Berkarya
Tak bisa dipungkiri, bissu adalah salah satu komunitas yang paham betul segala tetek bengek acara adat, baik secara filosofi maupun teknis. Sebenarnya, jika tak terlibat secara teknis pun, mereka masih mendapat imbas dari usaha penyewaan kelengkapan pengantin. Bagi bissu, usaha seperti ini adalah cara untuk mandiri dan berdaya. Bahkan, mereka ikut memberdayakan orang lain sebagai pekerja.
Akan tetapi, tak semua orang menghargai kemampuan bissu dalam memahami adat dan tradisi. Sebagian tetap mencibir karena persoalan jender dan kepercayaan.
”Masih ada yang bilang kami pembawa sial, musyrik, dan hal lain. Kadang dalam satu keluarga sampai ribut karena ada sebagian yang mau melibatkan kami, tetapi sebagian lain tidak mau. Kami berusaha memahami saja jika ada yang seperti ini. Kami tak mau memaksa,” kata Bissu Ancu.
Dia mengakui, hingga lebih 10 tahun lalu, bissu masih punya peran cukup besar dan banyak dilibatkan dalam berbagai hajatan, termasuk dalam pemerintahan. Saat itu, hampir semua pemilik hajatan hanya mau jika acaranya melibatkan bissu, setidaknya untuk merias pengantin. Di pemerintahan, dalam banyak acara, termasuk penjemputan tamu kebesaran, juga melibatkan bissu. Namun, belakangan peran bissu kian tersisih.
Pakar filologi Universitas Hasanuddin dan penerjemah La Galigo, Prof Nurhayati Rahman, mengatakan, sebenarnya, peran bissu masih penting sebagai penjaga peradaban. Dalam suku Bugis di Sulawesi Selatan, bissu semacam pendeta atau rohaniawan. Bissu umumnya menyatukan karakter maskulinitas dan feminin. Dalam suku Bugis, seseorang yang memiliki percampuran jender perempuan dan laki-kaki, lebih tepatnya laki-laki yang memiliki identitas jender perempuan, lazim disebut calabai.
Baca Juga: Transpuan, Penjaga Peradaban
Dalam naskah La Galigo, kata Nurhayati, jelas disebutkan tentang bissu. Mereka turun ke bumi bersama To Manurung (orang pertama yang turun ke bumi). Bersama To Manurung, turun pula arajang (istana), bendera, senjata, dan beragam benda kerajaan. Bissu-lah yang memegang peran penting sebagai penjaga barang kerajaan.
Mereka pun dianggap orang suci. Karena itu, mereka menjadi rohaniawan dan penghubung antara manusia dan dewa langit (Botti Langi) dan dan dewa bawah laut (Buri’ Liung). Pentingnya peran bissu pada masa lalu membuat kelompok ini diberi rumah tinggal dalam kompleks istana dan lahan pertanian. Segala keperluan hidup mereka disiapkan kerajaan.
Bissu umumnya menyatukan karakter maskulinitas dan feminin. Dalam suku Bugis, seseorang yang memiliki percampuran jender perempuan dan laki-kaki, lebih tepatnya laki-laki yang memiliki identitas jender perempuan, lazim disebut calabai.
Setelah sempat hilang di masa pergolakan kemerdekaan, di Bone bissu perlahan kembali muncul karena masyarakat masih memahami perannya. Bahkan, saat pelantikan Raja Bone A Mappanyukki yang juga merupakan Raja Bone terakhir, dia meminta upacara pelantikan dipimpin bissu. Di Kebupatan Pangkajene dan Kepulauan, peran bissu masih digunakan, terutama dalam pertanian. Mereka yang menentukan hari baik saat benih pertama ditabur, mereka juga yang pertama kali menabur benih. Bagi sebagian warga, masih lekat kepercayaan bahwa sentuhan bissu membuat hasil panen lebih berhasil.
Menurut Nurhayati, di tengah arus modernisasi yang begitu kuat, sejatinya bissu tak lagi disoal terkait jender ataupun kepercayaannya. Kelompok ini mestinya dilihat sebagai salah satu benteng penjaga tradisi dan peradaban. Karena mereka menyimpan banyak memori kolektif tentang kearifan lokal suku Bugis di masa lampau. Ada banyak kearifan masa lalu yang punya nilai baik untuk diterapkan di masa kini dan nilai-nilai itu di antaranya dipahami oleh bissu.