Empat film pendek karya sineas asal Lombok diputar dalam program ”Sinema Akar Rumput”. Empat film pendek tersebut berhasil memotret kehidupan pilu masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
Setelah berkeliling ke berbagai festival film dunia, film Jamal karya Muhammad Heri Fadli diputar di kampung sendiri, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bersama tiga film pendek lain, Jamal berhasil memotret sisi pilu kehidupan masyarakat Pulau Lombok.
Lampu di salah satu studio CGV Mataram, Selasa (5/7/2022), dipadamkan. Di depan lebih dari 200 penonton, layar bioskop menampilkan siluet sebuah rumah di sisi kiri dan dan pohon di sisi kanan.
Di bawah pohon itu terlihat siluet seorang anak yang tengah bermain ayunan. Lalu di dekat rumah tampak seorang ibu tengah menjemur pakaian.
Tak jelas seperti apa wajah mereka. Selain dialog dan suara angin, yang bisa dilihat penonton di layar adalah para pemain yang bergerak. Termasuk saat anak yang bermain ayunan, berjalan tertatih kembali ke rumahnya. Tak lama setelah itu, raung sirine ambulan terdengar memenuhi studio.
Potongan adegan itu berasal dari film Jamal karya Muhammad Heri Fadli. Salah satu dari empat film pendek yang ditayangkan di program ”Sinema Akar Rumput” yang digelar Balene Creative di CGV Mataram. Tiga film lainnya adalah Junaidi karya Ahyar Hambali, Sepiring Bersama yang juga karya Muhammad Heri Fadli, dan Pepadu karya Ming Muslimin.
Empat film tersebut memiliki satu benang merah. Sisi pilu kehidupan masyarakat Pulau Lombok. Dalam diskusi seusai pemutaran film, ketiga sutradara tersebut menyatakan bahwa karya mereka berangkat dari kegelisahan melihat kehidupan warga Lombok yang terlupa di tengah hingar-bingar berbagai pembangunan dan perhelatan balap motor dunia di sana.
Jamal, misalnya, memotret kematian pekerja migran Indonesia nonprosedural atau ilegal. Meski diproduksi pada 2019 lalu, hingga saat ini film itu masih bisa mewakili atau terkait dengan kondisi kekinian di Lombok.
Desember 2021 lalu, saat Jamal sedang berkompetisi di festival film internasional, satu kapal pembawa pekerja migran nonprosedural mengalami kecelakaan di perairan Johor, Malaysia. Sebanyak 14 orang asal Lombok dalam kapal itu meninggal dunia.
Paling dekat, pada minggu ketiga Juni 2022, kapal pengangkut pekerja migran ilegal juga mengalami kecelakaan di perairan Batam. Sebanyak 23 orang yang berada dalam kapal itu diketahui berasal dari Lombok Tengah.
Sepiring Bersama juga mengangkat kisah tentang pekerja migran. Namun, film ini lebih memotret anak-anak yang ditinggal pergi oleh orangtuanya ke luar negeri sebagai pekerja migran. Sampai saat ini, fenomena orangtua meninggalkan anak di kampung karena menjadi pekerja migran masih mudah ditemukan.
Di wilayah Lombok Timur yang menjadi latar film Jamal dan Sepiring Bersama, misalnya, mulai dari anak balita, mereka sudah ditinggal oleh salah satu atau kedua orangtuanya dan dititipkan di kakek atau neneknya.
Produser Jamal dan Sepiring Bersama, Putu Yudhistira, mengatakan, menjadi pekerja migran memang memberi dampak yang cukup baik kepada masyarakat di Lombok. Namun, ada bom waktu yang sebagai dampak dari banyaknya pekerja migran.
”Rata-rata, pekerja migran itu meninggalkan anak di rumah. Diasuh oleh kakek, nenek, atau pamannya. Itu menimbulkan banyak masalah sosial di NTB, seperti kekerasan seksual, angka putus sekolah tinggi, tengkes, dan narkoba. Itu banyak menimpa anak-anak yang kurang kasih sayang karena orangtuanya menjadi pekerja migran,” kata Yudhistira yang sehari-hari bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS).
Sementara film Junaidi memotret bagaimana kehidupan sosial masyarakat Lombok yang mengukur sukses sebatas menjadi pegawai negeri sipil. Padahal, ada begitu banyak peluang lain dan mendatangkan manfaat bagi seorang sarjana.
Adapun Pepadu mengangkat masalah kemiskinan di Lombok. Pepadu berkisah tentang seorang pria yang kembali ke medan laga sebagai pepadu atau pemain yang bertarung dalam kesenian tradisional peresean (adu pukul dengan rotan dengan perisai kulit sapi atau kerbau).
Ia kembali ke dunia peresean yang lama ditinggalkannya karena masalah ekonomi keluarga. Kemiskinan yang menderanya membuat anaknya hampir tidak bisa melanjutkan sekolah sehingga ia harus mencari cara mendapatkan uang.
Berdampak
Dalam diskusi seusai pemutaran film, para sutradara film pendek tersebut berharap agar film mereka bisa membawa dampak, terutama mengingatkan penonton atau masyarakat agar melihat kondisi di sekitarnya.
”Bukan berarti Lombok (punya cerita) sedih saja. Justru, karena kita terlalu banyak tertawa sehingga lupa banyak orang di sekitar kita yang bersedih,” kata Ming Muslimin.
Menurut Heri, ia memang tidak berharap terlalu besar bahwa dengan Jamal bisa mengubah keadaan. Tetapi, dengan film itu, ia berharap nasib dan kematian pekerja migran di luar negeri dilihat banyak orang.
”Isu itu bisa dibicarakan lagi. Terbuka ruang-ruang diskusi, merangsang orang untuk berpikir ulang tentang fenomena itu,” kata Heri.
Yudhistira ingin film Jamal juga sekaligus menjadi kampanye untuk menghentikan pengiriman pekerja migran ilegal atau nonprosedural. ”Jadi, kami merasa terpanggil. Apalagi film, selain sebagai produk seni, juga produk keresahan. Saya, kami, terus terang resah dengan kondisi pekerja migran yang seperti ini,” kata Yudhistira.
Para penonton yang antusias hadir dalam pemutaran tersebut mengaku sangat tersentuh dengan cerita yang diangkat. Beberapa orang bahkan menangis saat menyampaikan testimoni mereka.
”Saya sangat suka semangat yang diangkat. Apalagi itu benar-benar terjadi dan saya lihat sendiri, misalnya, jenazah pekerja migran yang kembali ke Lombok,” kata Fitri, penonton asal Mataram.