Setitik Cerita Batik Madura
Keunggulan batik Madura, Jawa Timur, selain motif dan keunikan, terutama spektrum harga yang amat lebar, dari Rp 100.000 hingga di atas Rp 100 juta, yang mencerminkan ragam kekayaan batik pulau tersebut.

Batik tulis motif pesisir produksi pembatik Desa/Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Tanjungbumi diyakini sejak abad ke-18 telah tumbuh menjadi salah satu sentra batik tradisional di Pulau Madura. Keunggulan batik Tanjungbumi terutama harga yang terjangkau dan berkualitas baik.
Surabaya dan Pulau Madura, Jawa Timur, hanya berjarak sekitar 5,5 kilometer bentang Jembatan Suramadu. Namun, di Surabaya, ibu kota Jawa Timur, ternyata tak semudah membalik telapan tangan untuk menemukan batik khas Pulau Madura.
Serasa aneh mengingat masyarakat ”Nusa Garam”, julukan Pulau Madura, jelas mewarnai perjalanan peradaban di Surabaya. Budaya Arekan (Arek) yang khas Jatim di Surabaya tidak terlepas dari pengaruh warga Madura.
Mencari batik Madura yang notabene bercorak pesisir lebih sulit ditemukan di Surabaya daripada kuliner pengaruh Madura, terutama bebek, rujak, gulai, dan sate. Batik Madura bukan komoditas utama di gerai, kios, atau toko di Pasar Bong (Slompretan), Pasar Atom, Jembatan Merah Plaza, bahkan ITC Mega Grosir. Justru batik Jatim atau Jogja, Solo, Pekalongan yang lebih lazim ditemui.
”Peminatnya (batik Madura) sedikit. Jadi, kalaupun ada, barangnya tidak banyak,” ujar Rika (34), pegawai gerai batik di ITC Mega Grosir Surabaya, Minggu (17/7/2022).
Baca juga : Penawar Rindu Batik Gentongan
Padahal, batik Madura diproduksi di empat kabupaten dengan keunggulan dan keunikan tersendiri, yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Peminat yang dianggap kurang mungkin mendorong kalangan pengusaha batik Madura membuka gerai sendiri dan meluaskan jaringan pemasaran dalam jaringan (online). Penjualan relatif stagnan karena batik Madura diminati secara khusus atau eksklusif.
Okelah jika batik Madura sulit ditemukan di Surabaya yang cuma di seberang pulau dan terpisah oleh Selat Madura. Jika ingin menemukan ”surga” batik Madura, cuma dengan mendatangi dan menjelajahi sentra atau gerai kain legendaris itu di Pulau Madura.
Selepas melintasi Jembatan Suramadu, sejenak isilah perut di salah satu restoran atau kedai bebek khas Madura. Setiba di ujung Jalan Raya Suramadu atau pertigaan Tangkel, bisa belok ke barat (kiri) menuju ibu kota Bangkalan atau ke timur (kanan) menuju Sampang lalu Pamekasan dan Sumenep.

Suasana kediaman Hj Watik, pembatik dan pemilik usaha Batik Tulis Potre Koneng di Desa/Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan.
Tanjungbumi
Jika menuju ke barat, akan dijumpai belasan toko atau butik busana batik Madura. Di Bangkalan, mayoritas batik yang dijual merupakan produksi para perajin dari Kecamatan Tanjungbumi. Memang ada batik-batik yang diproduksi sendiri di Bangkalan atau kecamatan lainnya, tetapi secara umum amat dipengaruhi oleh tradisi membatik di Tanjungbumi yang diyakini sudah ada sejak abad ke-18.
Teruslah berkendara ke barat untuk kemudian menyusuri pesisir barat dan utara bagian barat Pulau Madura sampai Tanjungbumi sejauh 48 km dari pertigaan Tangkel.
Di Tanjungbumi, penggila batik sudah pasti kesulitan karena begitu banyaknya gerai, toko, atau rumah produksi batik. Menurut catatan Pemerintah Kabupaten Bangkalan, di Tanjungbumi ada lebih dari 1.500 perajin yang dinaungi oleh rumah-rumah produksi atau gerai-gerai penjualan.
Kami berkunjung ke kediaman Hj Watik, pembatik dan pemilik usaha Batik Tulis Potre Koneng di Desa/Kecamatan Tanjungbumi. Watik merupakan salah satu senior di kalangan pengusaha batik Madura.
Di kediamannya tersimpan belasan ribu lembar batik tulis dari harga Rp 100.000 sampai lebih dari Rp 100 juta. Spektrum harga yang amat lebar dan mencerminkan kekayaan khazanah batik Tanjungbumi.
Baca juga : Pembatik Jawa Timur Terus Bangun ”Pertahanan”
”Tidak perlu heran, Mas. Meskipun dianggap murah, ini batik tulis, bukan printing, dan memang berbeda motifnya,” kata Watik. Jika gagal mengendalikan diri, mungkin uang lebih dari Rp 1 juta di dompet akan amblas untuk membeli beberapa lembar batik kisaran Rp 150.000-Rp 250.000.
Mengapa ada batik yang harganya begitu tinggi? Watik memperlihatkan selembar batik yang diklaim berusia seabad dan diproduksi leluhurnya.
Batik itu bermotif perahu tradisional Madura dan dibuat dengan teknik gentongan sehingga disebut batik gentongan. ”Pewarnaan alami dan kata orang tua dibuat lebih dari dua tahun,” ujar Watik.
Senada diutarakan oleh Hj Darmayanti, pembatik dan pemilik rumah produksi batik tulis CV Sumber Arafat. Membeli batik di Tanjungbumi mendapatkan sejumlah keuntungan selain harga yang lebih rendah dibandingkan dengan, misalnya, di Jawa atau secara daring.
”Dijual di Bangkalan, harga batik Rp 150.000 bisa naik minimal Rp 20.000. Semakin jauh penjualan batiknya, perbedaan harga dengan di Tanjungbumi semakin besar,” katanya.
Darmayanti melanjutkan, motif batik Tanjungbumi amat beragam. Diperkirakan lebih dari 100 motif tradisional yang terinspirasi dari buah, daun, bunga, hewan, dan aktivitas manusia. Misalnya, salak, padi, jambu, kembang kopi, kupu-kupu, burung pantai, bangau, ikan pari, dan perahu.
”Motif tradisional tidak lepas dari kehidupan dan keseharian masyarakat Tanjungbumi yang kebanyakan nelayan, petani, dan pedagang,” ujarnya.

Seorang pengunjung memilih batik tulis di Pasar 17 Agustus Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, yang menjadi sentra dagang batik tulis terbesar. Hari utama perdagangan batik di Pasar 17 Agustus ialah Kamis dan Minggu. Di sini dijual batik tulis dari seluruh sentra di Pulau Madura yang mencakup empat kabupaten, yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Pasar 17 Agustus
Dalam waktu yang berbeda, kami berkendara dan tiba di Pasar 17 Agustus Pamekasan. Di sinilah pusat dagang batik Madura terbesar. Terdapat puluhan kios dan lapak menjual batik-batik dari seluruh sentra di Pulau Madura. Datanglah pada hari pasaran batik setiap Minggu dan Kamis.
Karena merupakan pasar, batik yang dijual ada yang dari Tanjungbumi, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Harga relatif terjangkau. Kami membeli kemeja batik tulis cuma seharga Rp 125.000 tanpa ditawar.
Ketika kemeja itu diperlihatkan kepada teman, mereka bingung dengan harga yang dianggap terlalu murah. Harga yang rendah harus diakui mencerminkan sisi kelam, yakni masih rendahnya apresiasi atau upah tenaga kerja, terutama perajin batik, di Madura.
Baca juga : Canthing Jawi Wetan, Menggelorakan Cinta Batik Karya UMKM di 38 Kabupaten dan Kota di Jatim
”Biarpun murah, tetapi ini batik tulis. Ya, memang ini salah satu keunggulan batik Madura, harganya terjangkau dan kualitasnya silakan dilihat sendiri,” kata Rozaki (55), pemilik salah satu kios batik di Pasar 17 Agustus.
Rozaki juga merupakan satu di antara beratus-ratus pembatik dan pengusaha batik dari Kecamatan Proppo, sentra utama batik di Pamekasan.
Menurut Rozaki, sebelum pandemi Covid-19 menyerang atau sampai dengan 2019, ia mampu menjual lebih dari 100 lembar batik dalam sehari ke Jatim, Jateng, Jabar, dan Jakarta.
Di masa pandemi, penjualan anjlok hingga 50 persen. Sebagian penjualan juga dilakukan secara daring atau melalui telepon dan pengiriman bahkan ke mancanegara.

Suasana di salah satu kios batik tulis di Pasar 17 Agustus Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, yang menjadi sentra dagang batik tulis terbesar. Hari utama perdagangan batik di Pasar 17 Agustus ialah Kamis dan Minggu.
Suramadu
Penjualan batik Madura diyakini kian intens setelah peresmian Jembatan Suramadu pada 10 Juni 2009. Sebelumnya, Pulau Madura dan Pulau Jawa dihubungkan dengan penyeberangan feri Ujung-Kamal atau penerbangan perintis Surabaya-Sumenep. Jembatan Suramadu turut membuka dan mendorong pengenalan produk budaya Madura, terutama batik, ke Nusantara.
Ketua Komunitas Batik Jawa Timur (Kibas) Lintu Tulistyantoro pernah mengatakan, setiap daerah, termasuk di Madura, memiliki ciri khas dan keunikan dalam produksi batik. Tradisi membatik di Madura, terutama Tanjungbumi, juga cukup tua sehingga memiliki produk tradisional yang otentik, yakni gentongan.
Ada kemiripan dengan daerah lain, yakni Pekalongan, Lasem, dan Tuban, yakni batik Madura berkarakter pesisir dan mungkin di beberapa sentra seperti Pamekasan dan Sumenep turut dipengaruhi budaya peranakan Tionghoa.
Serangan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 sampai dua tahun kemudian memaksa pengusaha batik berkonsolidasi, berkolaborasi, dan beradaptasi. Ada yang terpaksa berhenti karena tidak punya jejaring. Ada yang bertahan berproduksi karena dibantu pemasaran digital. Ada yang berkembang karena kolaborasi dengan sesama perajin dan pendekatan personal.
Baca juga : Meneguhkan Hati Pembatik, Rutin Memberikan Order
”Dalam pengamatan kami, perajin batik kelas premium malah bertahan, bahkan ada yang berkembang,” ujar Lintu, dosen Universitas Kristen Petra.
Pandemi secara umum memukul kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang jumlahnya mayoritas ini adalah konsumen batik dengan harga terjangkau. Kelompok yang tidak terpengaruh berasal dari golongan kaya, yang dalam hal konsumsi batik memilih produk premium dan atau edisi terbatas.
Memiliki ciri khas dalam corak batik serta kegigihan menerobos pasar luar negeri sudah dinikmati oleh Siti Maemonah (53), pemilik Galeri Pesona Batik, Bangkalan.

Pengusaha Galeri Pesona Batik, Bangkalan, Siti Maemonah (53), salah satu pembatik di Pulau Madura, Jawa Timur, yang berhasil membuat batik berukuran kimono khusus untuk pencinta batik di Jepang.
Penerus usaha batik dari neneknya ini bahkan masih mengoleksi sekitar 500 lembar batik lawasan berusia 100 tahun.Dia pun terus memunculkan corak baru, terutama batik gentongan yang prosesnya bisa hingga 15 bulan. Sekarang harga batik gentongan paling murah sekitar Rp 3,5 juta dan bisa tembus Rp 50 juta berupa sarimbit (terdiri atas tiga lembar batik). Prinsipnya, ada rupa ada rega atau harga batik tergantung kualitas, kerumitan, dan prosesnya.
Maemonah memang gencar dan tak kenal lelah untuk terus menjajakan batik yang dikerjakan oleh kaum perempuan di Tanjungbumi, Bangkalan, hingga ke luar negeri, baik secara daring maupun menunggu di galerinya yang sedang disiapkan menjadi museum sekaligus tempat pelatihan membatik di Jalan RE Martadinata, Gang Lawu, Mlajah, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan,
Berkat sentuhan desainer Edward Hutabarat dan jejaring semakin menggurita, karya pembatik Tanjungbumi kian mudah dan cepat tiba di pangkuan pemiliknya yang kini tinggal di berbagai belahan dunia.
Bagi penggila batik gentongan, menunggu setahun, bahkan lebih, tak apa. Yang penting, ketika batik pujaannya datang, selalu membahagiakan dan bikin ketagihan.