Keceriaan Pendidikan Seharusnya untuk Semua Anak-anak Indonesia
Sebagian anak di Jabar belum menikmati keceriaan mendapatkan akses pendidikan. Masih ada yang terhalang biaya saat hendak mewujudkan mimpi untuk masa depan lebih baik bagi sesama.

Anak jalanan makan nasi bungkus di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (8/9/2020). Pandemi Covid-19 mengubah wajah perekonomian dan kesejahteraan. Selain pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan anjlok, jumlah pengangguran dan kemiskinan juga diperkirakan meningkat.
Senin (18/7/2022), hampir semua anak-anak di seantero negeri ini kembali menikmati bangku sekolah. Antusiasme yang muncul, setelah dua tahun pandemi sehingga dipaksa belajar dari rumah, seperti dirayakan bersama di hari pertama masuk sekolah tahun ini.
Di Kota Bandung, Jawa Barat, banyak orangtua mengunggah foto anaknya masuk sekolah untuk pertama kali bersama pakaian terbaik. Tidak ingin kehilangan momen, sebagian dari mereka mengantar anak-anaknya pergi ke sekolah untuk pertama kalinya. Di berbagai titik dekat sekolah, jalan-jalan macet menjadi hal jamak ditemui.
Akan tetapi, tidak semua orangtua dan anak larut dalam kegembiraan yang sama. Sebagian dari mereka masih sulit bahagia. Ada sejumlah persoalan, dari biaya hingga administrasi yang merepotkan, membatasi keinginan sekolah. Semuanya menyisakan kekhawatiran tentang masa depan yang tidak bakal mudah dihadapi.
Kekhawatiran itu hadir di benak Elis (42) saat menatap anaknya, Selly (13), yang tengah bermain-main dengan sandal barunya. Sepasang sandal berkelir hitam itu didapatkan dari salah seorang dermawan. Dermawan itu kerap melihat Selly berjalan tanpa alas kaki.
Senin pagi, mereka duduk beralas kardus di pinggir trotoar salah satu toko di Jalan Braga, Kota Bandung. Ibu-anak ini beristirahat setelah berjalan dari pagi untuk memulung plastik dan barang lainnya.
Sesekali mata Selly tertuju kepada anak-anak berseragam yang melewati mereka. Jalan Braga saat itu tetap ramai oleh pengunjung. Sebagian di antaranya adalah anak-anak yang menjalani hari sekolah pertamanya di semester baru.
”Saya khawatir dia seperti saya, hidup di jalanan. Padahal, anak ini pintar. Walaupun tidak sekolah, dia suka membaca. Kadang kalau ada buku bekas, dia pungut,” ujar Elis sambil menatap Selly. Elis lupa kapan Selly terakhir sekolah.
Mata berkaca-kacanya disambut senyuman Selly. Dia tidak ingin jauh dari ibunya meskipun harus tidur di emperan toko atau bangunan yang tidak terpakai.
”Pengen ikut ibu,” ujarnya pelan.
Elis mengatakan, ia sebenarnya tidak ingin hidup di jalan. Dia rindu pulang kampung ke Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Namun, tidak mudah baginya mengumpulkan ongkos hingga Rp 120.000 untuk ke sana. Dia juga tidak memiliki bayangan, bakal bekerja apa jika tinggal di kampung.
”Sehari saya cuma bisa mengumpulkan Rp 15.000 dari memungut plastik. Kadang, kami beristirahat sambil berharap ada orang baik yang mau memberi apa saja,” ujarnya pelan.
Elis bukannya tega mengajak anaknya hidup di jalan dan tidak mengenyam pendidikan. Pernah saat Selly kecil, Elis menitipkannya ke salah satu anggota keluarga dan sempat sekolah di sana.
Akan tetapi, saat kembali berjumpa, Elis melihat putri semata wayangnya itu kurus dan tidak terurus. Karena itu, dia nekat mengajak Selly ikut hidup di jalanan meski di tengah keterbatasan.
”Bapaknya Selly sudah meninggal. Sekarang kami tinggal berdua. Sudah beberapa bulan ini kami berdua di Bandung dan tidak tahu sampai kapan,” ujar Elis pelan.
Baca Juga: Selamat Jalan, Kehidupan Jalanan…
Belum bisa membaca

Elis bersama anaknya, Selly (kanan) menyeberangi Jalan Naripan, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (18/7/2022). Selly terpaksa tidak bersekolah karena hidup di jalanan dan tidak memiliki tempat tinggal.
Tidak hanya Selly yang terjebak hidup di jalanan. Bambang, bocah berumur 7 tahun, juga terpaksa ikut ibunya, Rempi (50), berjualan tisu di salah satu sudut Jalan Naripan, Kota Bandung.
Pagi itu, mereka duduk menikmati sarapan nasi berlauk secuil hati ampela ayam. Cuaca teduh dan bersahabat sehingga ibu dan anak ini menikmati sarapannya dengan lahap.
”Kami terpaksa hidup di jalan karena tidak ada tempat tinggal. Bapaknya Bambang kasar, suka main tangan. Jadi, saya lebih baik membawanya pergi. Bambang sama saya terus meski di tinggal di jalan,” ujarnya.
Rempi pun sudah lupa berapa lama dia hidup di jalan. Dia hanya mengingat saat berangkat dari Stasiun Karanganyar, Kebumen, Jateng, menuju Bandung, ongkos kereta api pada saat itu baru Rp 3.500 per orang. Kini, harga tiket Kebumen-Bandung dijual paling murah Rp 62.000 per orang.
Hingga saat ini, Rempi belum pernah pulang ke kampungnya di Kebumen. Bambang pun hidup dan besar di jalan. Karena itu, dia merasa harapan untuk Bambang bersekolah telah pupus.
”Bagaimana mau sekolah, tempat tinggal tidak ada, akta (kelahiran) juga enggak punya. Yang penting sudah bisa makan saja syukur,” ujarnya.
Rempi menyadari konsekuensi hidup di jalan. Dia tahu anaknya sulit untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik karena tidak mengenyam pendidikan. Bahkan, Bambang hingga saat ini belum bisa membaca dan menulis meski punya cita-cita.
”Aku ingin jadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia),” kata bocah berbaju biru kumal itu sambil menunjuk gambar pria berseragam di mobil mainannya.
Karena tidak bisa membaca, Bambang tidak menyadari, mobil mainan itu bertuliskan Brimob (Brigade Mobil), salah satu korps di Polri. Dia pun menggunakan istilah lama yang kini tidak digunakan lagi.
”Saya sudah tidak bisa apa-apa, tetapi saya tetap berharap Bambang tidak berakhir hidup di jalanan,” ujarnya.
Baca Juga: Memahami Anak Jalanan
Membangun desa

Anak asuh Panti Sosial Asuhan Anak Al Hidayah Bandung menerima sejumlah paket pendidikan dan Al Quran dari Dana Kemanusiaan Kompas, Senin (8/7/2022). Donasi itu berasal dari pembaca harian Kompas.
Kisah Fajar Suhana (20), warga Kebonjayanti, Bandung, bisa dibilang lebih beruntung meski juga jauh dari kata ideal. Dia kini tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Namun, setelah beasiswa bidik misinya dicabut dengan alasan pandemi Covid-19, ia harus memutar otak untuk mendapat dana itu.
”Saya menerima beasiswa dari semester 1-5. Sekarang untuk semester 6 dan saya baru punya setengahnya. Uangnya dibantu Panti Asuhan Al Hidayah. Kebetulan sudah tiga tahun tinggal di sana,” kata dia. Biaya pendidikan per semester Rp 4,6 juta.
Panti Asuhan Al Hidayah adalah pintu yang membukakan mimpinya untuk tetap sekolah. Hijrah dari Ciamis, dia tinggal di panti itu. Di sana, ia mendapatkan biaya hidup hingga memenuhi kebutuhan pendidikan yang tidak dibiayai beasiswanya.
”Saya selalu didorong Ibu untuk terus sekolah. Kini, saat saya kesulitan biaya, Ibu juga yang membantu mencarikannya. Dia ingin saya lulus kuliah dan menjadi manusia lebih baik. Kalau saya tidak di panti, mungkin saya tidak akan melanjutkan kuliah,” katanya.
Ibu yang dia maksud adalah Hevni Ariyani, pengasuh Panti Sosial Asuhan Anak Al Hidayah, Bandung. Hevni mengatakan, Fajar adalah satu dari 23 anak asuhnya. Dalam sebulan, ia bisa menyalurkan sekitar 20 juta untuk biaya pendidikan anak-anak asuhnya.
”Semua uang itu adalah titipan para donatur. Dari mereka, anak-anak di sini semuanya bisa melanjutkan sekolah. Kalau Pemerintah Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat mau membantu biaya pendidikan bagi anak-anak kami, saya menerimanya dengan senang hati,” ujarnya saat menerima 23 paket pendidikan dan Al Quran dari Dana Kemanusiaan Kompas (DKK), Senin.
Bukan tanpa alasan, Hevni ingin anak asuhnya sekolah. Dia yakin, sekolah tidak hanya memberi bekal masa depan bagi anak, tetapi juga membuat mereka lebih berguna untuk sesama.
”Fajar anak cerdas. Begitu juga anak-anak asuh saya yang lain. Sangat sayang apabila mereka tidak bisa sekolah karena tidak punya biaya,” katanya.
Sejauh ini, Hevni tidak keliru. Di tengah kesulitan biaya, niat Fajar menjadi manusia berguna tidak runtuh. Bersama tiga kawannya, ia kini sedang merancang aplikasi data digital yang bakal diterapkan di kampung halamannya di Kabupaten Ciamis.
”Kebetulan, di sana masih belum akrab dengan digitalisasi. Pelayanan data dan kebutuhan masyarakat masih dilakukan manual. Saya ingin membuat semuanya berbasis teknologi. Menurut rencana, aplikasi itu akan saya berikan gratis. Sekarang kami masih dalam tahap pengumpulan data. Doakan semua bisa terwujud,” tutur Fajar.
Baca Juga: Valentina Sastrodihardjo, Guru di Kolong Jembatan Rawamangun
Putus sekolah

Anak asuh Panti Asuhan Yatim Piatu dan Dhuafa Bandung menerima sejumlah paket pendidikan dan Al Quran dari Dana Kemanusiaan Kompas, Senin (8/7/2022). Donasi itu berasal dari pembaca harian Kompas.
Mimpi yang sama juga diapungkan Raenata Jenderal Mahesa Putra (13). Datang sebagai anak putus sekolah dari Sukamandi, Kabupaten Subang, anak buruh serabutan ini sekarang menjadi siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sekelimus. Biaya untuk sekolah ditanggung Panti Asuhan Anak Yatim dan Dhuafa Bani Salam, Kota Bandung.
”Di Subang cuma kelas I SD lalu tidak melanjutkan sekolah. Dua tahun kemudian, baru dilanjutkan di Bandung. Saya senang di sini. Cita-cita mau jadi tentara,” kata Mahesa saat menjadi satu dari 114 penerima paket pendidikan dan protokol kesehatan dari DKK yang bersumber dari donasi pembaca harian Kompas.
Abdul Karim, salah seorang pengasuh Panti Bani Salam, mengatakan, 20 anak asuhnya kini semua bersekolah. Biaya untuk sekolah anak asuh didapatkan dari kemurahan donatur. Selain untuk biaya hidup, mereka juga memberikan dana pendidikan agar anak asuh tidak putus sekolah.
”Harapan kami besar terhadap anak asuh. Selain mendidik akhlak yang baik, kami ingin mereka terus melanjutkan sekolah agar memiliki ilmu yang baik untuk masa depan mereka kelak. Sejauh ini, sudah banyak anak asuh kami yang lulus SMA dan SMK,” katanya.
Bagi banyak orang, pendidikan menjadi jalan utama untuk keluar dari berbagai kesulitan hidup. Namun, saat masih terkurung biaya, pendidikan tetap menjadi hal sulit untuk sekadar dikejar.
Baca Juga: Egi Trialogi, Guru bagi Anak Jalanan