Wisata Perkampungan Terapung Suku Bajo Torosiaje Terus Dikembangkan
Pemdes Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, membangun tempat pengamatan matahari terbenam dan menyiapkan lokasi penyelaman untuk menggaet wisatawan. Namun, infrastruktur masih menjadi kendala.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
POHUWATO, KOMPAS — Pemerintah Desa Torosiaje di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, terus mengembangkan potensi perkampungan terapung suku Bajo sebagai destinasi wisata. Selain membangun tempat pengamatan matahari terbenam, pemdes juga menyiapkan lokasi penyelaman. Namun, infrastruktur menjadi kendala pariwisata.
Desa Torosiaje berjarak sekitar 250 kilometer dari pusat Kota Gorontalo atau sekitar tujuh jam perjalanan dengan istirahat. Seperti perkampungan suku Bajo lainnya, rumah warga di daerah itu dibangun terapung di atas laut. Pengunjung yang ingin ke permukiman itu harus menyeberang sekitar 700 meter dari daratan menggunakan perahu nelayan.
Kepala Desa Torosiaje Uten Sairullah, Sabtu (16/7/2022), mengatakan, sektor pariwisata di desa itu terus dikembangkan. Sejak Januari 2022, pihaknya membangun destinasi wisata Alo Cinta, tempat itu berupa jembatan kayu dengan panjang sekitar 300 meter yang bagian ujungnya berbentuk hati. Dermaga itu dicat warna-warni serta dilengkapi saung dan kafe.
Pengunjung juga dapat menyaksikan matahari terbenam saat senja jika cuaca cerah. Di bawah jembatan, terdapat tempat budidaya teripang, biota laut seperti mentimun. Sabtu sore, sejumlah warga bermain dan berswafoto di Alo Cinta. ”Kalau akhir pekan, yang datang bisa 100 orang. Kami juga berencana bikin spot pemancingan ikan di sana,” ujar Uten.
Selain Alo Cinta, pemdes bersama sejumlah pihak juga tengah mengembangkan spot menyelam (diving). Lokasinya di Pulau Karang, sekitar satu jam dengan kapal cepat dari Desa Torosiaje. Pemerintah juga membangun tempat istirahat di pulau tersebut. ”Sudah ada beberapa orang yang datang, termasuk wisatawan asing. Ini masih pengembangan,” kata Uten.
Akan tetapi, lanjutnya, pemdes belum memiliki tempat penyewaan alat diving untuk wisatawan. Pengembangan pariwisata di Torosiaje juga masih terkendala infrastruktur. Jembatan kayu yang membentang di desa, misalnya, rusak di beberapa bagian. Pihaknya juga mengkhawatirkan air pasang laut saat pagi hari semakin tinggi dan hampir sejajar dengan jembatan.
”Infrastruktur jembatan perlu ditinggikan. Masalahnya, kami kesulitan bahannya, kayunya,” ucap Uten. Pihaknya berharap, pemerintah daerah hingga pusat dapat mendukung sarana dan prasarana di Desa Torosiaje. Terlebih lagi, Torosiaje sudah digadang-gadang jadi desa wisata sejak 2007. Rumah makan, toko kelontong, hingga tempat penginapan juga tersedia.
Terdapat dua warga yang menjadi tempat penginapan dengan kapasitas masing-masing empat kamar. Pemilik Homestay Mutiara Laut, Jootje Repi, mengatakan, usaha penginapan memberikan pendapatan bagi keluarganya. Setiap bulan, satu atau dua pengunjung bermalam di rumahnya dengan tarif Rp 150.000 per kamar per hari.
Jootje juga berharap pemerintah daerah membantu sarana dan prasarana tempat penginapan di Torosiaje. Pemerintah, lanjutnya, dapat memberikan stimulus, seperti tempat tidur atau kipas angin bagi pelaku usaha penginapan. ”Setelah homestay berkembang 2018, pengunjung bisa berwisata lebih lama. Kalau tidak ada (homestay), mereka pulang. Tidak menginap,” katanya.
Ahmad Ikram (39), pengunjung asal Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mengagumi Torosiaje. Selain perkampungannya terapung di atas laut, desa itu juga menjadi tempat pemancingan bagi pengunjung. ”Saya sudah dua kali ke sini dan selalu menginap. Di sini memancing enak. Orang-orangnya juga ramah,” kata Ikram yang datang bersama sembilan anggota keluarganya.