Harapan dari Mereka yang Tengah Berjuang di Pasar Kosambi
Setelah pandemi Covid-19 mereda tidak lantas membuat sebagian orang bahagia. Di Pasar Kosambi, Bandung, perjuangan itu bisa jadi baru dimulai di antara kenaikan harga beragam komoditas.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Sepi masih menyelimuti sejumlah lorong di Pasar Kosambi, Kota Bandung, yang berdiri sejak 1973 ini. Keramaian hanya terasa di sejumlah lapak pedagang sayur mayur dan kebutuhan sehari-hari. Suasana itu mirip dengan kegalauan orang-orang yang berjuang hidup di sana.
Di warung makan milik Sujana (69), misalnya, keriuhan pasar yang pernah terbakar tahun 2019 itu tidak terasa. Dia hanya menatap resah ke salah satu lorong yang sepi pengunjung. Hanya ada penjaga di sejumlah lapak dagangan yang duduk hampa sambil sesekali bercengkerama.
Etalase lauk pauk yang menjadi dagangan Sujana di salah satu sudut Pasar Kosambi, Bandung, masih terisi penuh. Pemilik warung nasi ini hanya bisa pasrah saat makanannya belum terjual habis hingga Rabu (13/7/2022) siang menjelang sore.
Kekhawatirannya menjadi lebih berat saat mengetahui harga elpiji tabung 12 kilogram melonjak. Sejak 10 Juli 2022, harga elpiji melonjak hingga lebih dari Rp 210.000. Dia pun merogoh kocek lebih dalam hingga Rp 30.000 per tabung dibandingkan dengan pekan sebelumnya.
”Tabung gas 12 kg itu hanya bisa tahan 3-5 hari. Bayangkan saja dalam sebulan saya perlu menambah berapa hanya untuk tabung gas. Kalau beli yang subsidi tabung 3 kg, repot saya ganti tabung terus tiap hari,” katanya. Tabung 3 kg juga lebih diprioritaskan untuk warga menengah ke bawah.
Kenaikan ini sudah dirasakan Sujana sejak akhir Desember 2021. Dalam kurun setengah tahun, gas tabung 12 kg mengalami kenaikan harga hingga lebih dari Rp 50.000. Karena itu, saat mengetahui harga gas naik lagi, dia hanya bisa mengelus dada karena penghasilannya akan lebih sedikit.
”Desember akhir tahun lalu, gas tabung 12 kg hanya sekitar Rp 140.000-an. Sekarang sudah naik tinggi. Kemarin saya beli harga Rp 218.000 per tabung,” ujarnya sambil menghela napas.
Melonjaknya harga ini tentu memberatkan Sujana. Selama pandemi, pelanggannya berkurang hampir separuhnya. Sebelum Covid-19 menghantui Bandung dan kota-kota lainnya di seluruh dunia hadir, dia mampu menjual lebih dari 300 porsi makanan dalam sehari.
”Sekarang saya hanya bisa menjual sekitar 200 porsi sehari. Saat pandemi kemarin, terjual 100 porsi saja sudah syukur. Apalagi sekarang sewa kios sudah lebih mahal. Saya bingung harus bagaimana menjalankan usaha ini,” tuturnya muram. Rata-rata 1 porsi Rp 10.000-Rp 15.000.
Kegelisahan ini juga dirasakan oleh Reni (51), pedagang sayur di Pasar Kosambi. Meskipun harga kebutuhan dapur sudah bergerak turun, dagangan sayur mayurnya juga masih belum laris manis. Padahal, di luar sana, matahari sudah di atas kepala.
Dalam sehari, hanya belasan pembeli yang datang hingga siang. Padahal, sejumlah harga sayur dan bumbu dapur yang melonjak seperti cabai dan bawang sudah beranjak turun.
”Sekarang cabai merah besar sudah di harga Rp 120.000 per kg. Dulu waktu Idul Adha, harganya bisa sampai Rp 200.000 per kg. Tapi, setelah turun, sekarang malah harga gas yang naik. Saya galau lagi hal itu bakal menurunkan daya beli konsumen,” ujarnya.
Meskipun harga gas yang naik ditujukan untuk nonsubsidi, Reni khawatir, kenaikan harga ini berdampak pada berkurangnya pembeli. Dia juga semakin khawatir untuk menjual bahan makanan di harga yang tinggi di saat semuanya serba naik.
”Saya sebenarnya tidak tega menjual dengan harga tinggi kalau sedang naik. Kadang saya perlu nombok kalau harga barang-barang sudah mulai naik,” kata Reni.
Dugaan Reni tidak keliru. Nunung (55), warga Padasuka, Kota Bandung, mengatakan kenaikan harga membuat niatnya kembali membuka usaha kuliner maju mundur tidak pasti. Kenaikan harga cabai dan bawang merah hingga ratusan ribu beberapa waktu lalu sukses mengurunkan niatnya. Kini, saat harga mulai turun, Nunung—yang kerap berbelanja di Kosambi—belum berani mengambil risiko.
”Saya takut nanti waktu buka usaha, harga-harga bahan baku naik lagi. Bisa rugi lagi saya,” ujarnya.
Nunung sesungguhnya masih trauma. Pandemi dan kenaikan harga bahan baku membuat dia menutup usaha berjualan nasi kelilingnya di akhir 2020. Keuntungan hanya Rp 50.000 per hari, raib dihantam Covid-19.
”Semoga harga bawang, minyak, dan gas kembali murah lagi. Kalau masih terus tinggi seperti sekarang, saya tidak berani buka usaha,” ujar Nunung yang mengandalkan penghasilan suaminya sebagai pengemudi ojek daring sekitar Rp 50.000 hari.
Kelompok rentan
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD), Setia Mulyawan, kenaikan harga kebutuhan nonsubsidi ini berdampak pada kelompok rentan. Kelompok ini terdiri dari warga berpenghasilan sekitar upah minimum regional (UMR) atau pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Kelompok ini dikatakan rentan karena sebelumnya tidak masuk kelompok miskin yang jadi penerima subsidi. Namun, kenaikan harga-harga berdampak pada biaya pengeluaran dan menguras pendapatan sehingga mereka jadi penerima subsidi,” paparnya.
Di sisi lain, pembatasan barang subsidi ini juga perlu dilakukan agar tidak membebani negara. Setia berujar, dana yang keluar akibat subsidi terlalu banyak dapat berdampak pada beban anggaran negara.
”Seperenam anggaran negara ditujukan untuk subsidi bahan bakar. Kalau terlalu banyak itu tidak sehat. Sebaiknya pemanfaatannya perlu diimbangi dan diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Penggunaan aplikasi untuk memantau distribusi subsidi, lanjut Setia, merupakan salah satu upaya untuk membatasi penerima subsidi. Namun, dia berharap usaha tersebut tidak menambah beban kepada masyarakat kecil.
Karena itu, Setia berpendapat, hal yang paling penting dalam menghadapi problem subsidi ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat dengan pendapatan tinggi diharapkan tidak mengakses subsidi sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran.
”Aplikasi seperti kemarin itu justru untuk mengarah ke masyarakat menengah ke bawah yang sulit mengaksesnya. Karena itu, yang perlu adalah memicu kesadaran warga tanpa harus dipersulit,” ujarnya.
Naik turun harga memberikan tantangan tidak ringan bagi mereka yang ingin terus berjuang. Perhatian besar pemerintah tetap ditunggu. Besar kemungkinan bukan hanya orang-orang di Pasar Kosambi yang mengalami keresahan itu.