Cepat Hentikan Konflik antara Satwa dan Manusia
Konflik satwa liar dengan manusia di Provinsi Aceh semakin masif. Dampaknya sama-sama buruk, baik bagi manusia maupun satwa. Jika konflik tak dapat dihentikan, kehidupan manusia dan satwa sama-sama berada dalam ancaman.
Konflik satwa liar dengan manusia di Provinsi Aceh semakin masif. Dampaknya sama-sama buruk, baik bagi manusia maupun satwa. Jika konflik tidak dapat dihentikan, kehidupan manusia dan satwa sama-sama berada dalam ancaman.
Muhammad Nadir (46), warga Desa Sido Mulyo, Kecamatan Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, terbaring lemas di ranjang Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) Banda Aceh. Tiga ruas tulang rusuknya patah setelah dibanting oleh gajah liar. Nyawanya nyaris melayang karena amukan satwa lindung itu.
”Secara logika tidak mungkin saya selamat. Saya ditubruk dan dibanting, saya berpikir hari itu saya akan mati,” kata Nadir ditemui di RSUDZA, Senin (11/7/2022).
Nadir dan Omin nekat mengusir gajah liar yang masuk ke perkebunan di desa itu meski hanya bermodalkan mercon. Pada Kamis (7/7) sore, mereka mendapat kabar kawanan gajah telah merusak tanaman di perkebunan yang berbatasan dengan hutan.
Baca Juga: Aceh Susun Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar
Setelah memarkir sepeda motor di jalan setapak, Nadir dan Omin masuk ke perkebunan. Baru berjalan beberapa langkah, seekor gajah liar menyerang mereka. Nadir dan Omin lari menjauh, tetapi lutut Nadir terkilir. Sementara gajah itu menghindar ke balik semak belukar.
Nadir mengira gajah telah lari ke hutan. Saat bangkit, dia kembali ditubruk, kepala gajah tepat mengenai dadanya. Krak…! tulang rusuknya patah. Rasa nyeri membuat Nadir tidak sanggup bangkit dan kepalanya berkunang-kunang. Kemudian dia tidak sadarkan diri.
Dalam keadaan pingsan, gajah itu mengangkat tubuh Nadir menggunakan belalai. Nadir dilempar ke udara setinggi 2 meter. Omin hanya bisa menatap tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mungkin mereka (gajah) stres karena selalu diusir. Makanya, sekarang mulai menyerang.
”Saat dilempar saya tersadar. Setelah jatuh ke semak belukar saya menahan napas, pura-pura mati. Gajah itu pun pergi,” kata Nadir.
Dalam keadaan sekarat, Omin memapah Nadir menuju sepeda motor. Malam itu juga Nadir dibawa ke Rumah Sakit Umum Cut Mutia, Lhokseumawe. Sehari dirawat di sana, Nadir dirujuk ke RSUDZA Banda Aceh.
Kian masif
Sebelum peristiwa itu terjadi, Nadir memang kerap menghalau gajah liar agar tidak ke perkebunan dan permukiman. Desa Sido Mulyo berbatasan dengan hutan lindung. Kawanan gajah liar itu kerap mendatangi perkebunan warga. Tidak terhitung kerugian warga karena tanaman dirusak oleh mamalia berbadan besar itu. Biasanya, saat diusir menggunakan mercon, gajah-gajah itu menjauh, tetapi hari itu justru menyerang.
”Mungkin mereka (gajah) stres karena selalu diusir. Makanya, sekarang mulai menyerang,” ujar Nadir.
Menurut Nadir, kelompok gajah itu telah lama menjelajah kawasan hutan antara Aceh Utara, Bener Meriah, dan Bireuen. Menurut dia, kelompok gajah itu terkurung perkebunan sawit, terutama milik perusahaan.
Nadir berharap ada solusi konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik gajah dengan manusia di kawasan itu. Dia tidak mau ada korban lain seperti dirinya. ”Saat ada gajah mati, pemerintah cepat menurunkan tim. Namun, saat ada manusia yang jadi korban, tidak didatangi,” ucap Nadir.
Nadir bukan korban pertama amukan gajah liar. Pada Minggu (4/7), Abdurrahman, warga Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, meninggal akibat diamuk gajah liar. Dia dihajar gajah liar saat menghalau satwa lindung itu ketika masuk ke kawasan permukiman.
Namun, tiba-tiba seekor gajah jantan muncul dari belakang. Gajah itu menabrak dan membanting korban. Setelah mengamuk, gajah itu meninggalkan korban dalam keadaan kritis. Abdurrahman meninggal dalam perawatan di rumah sakit.
Pada Januari 2015, Husna, seorang petani, di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, tewas diinjak gajah liar. Setahun sebelumnya, dua petani di Pintu Rime Gayo, yakni Hasan Basri dan Firmansyah, juga tewas diinjak gajah.
Baca Juga: Perkuat Desa untuk Atasi Konflik Satwa Lindung di Aceh
Tidak ada data konkret berapa jumlah warga yang tewas atau kritis karena diamuk gajah liar. Sebagian besar peristiwa terjadi di perkebunan.
Data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2016-2021 terjadi sebanyak 542 kali konflik gajah dengan manusia. Konflik tersebar di 16 kabupaten/kota di Aceh. Daerah dengan konflik tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
Bukan hanya manusia, konflik membuat kehidupan gajah juga berada dalam ancaman. Data BKSDA Aceh sejak 2015-2021 jumlah gajah yang mati sebanyak 63 ekor. BKSDA Aceh mengelompokkan penyebab kematian, 27 ekor karena konflik, 16 ekor kematian alami/sakit, dan 10 ekor karena perburuan. Adapun jumlah populasi gajah di Aceh saat ini 539 ekor.
Konflik harimau
Selain gajah, konflik satwa lindung harimau sumatera juga masif. Pada Mei 2022, Muhajir (47), seorang petani di Kecamatan Bakongan Timur, Kabupaten Aceh Selatan, mengalami luka pada kaki karena dicakar harimau saat sedang memanen cabai. Muhajir dapat lolos dari maut setelah berhasil memanjat pohon.
Harimau itu berminggu-minggu berkeliaran di areal perkebunan. Para petani ketakutan ke kebun. Mereka kehilangan pendapatan.
Ketua Forum Geuchik (kepala desa) Bakongan Timur Nazmin menuturkan, ada beberapa harimau liar muncul di kebun warga. Anehnya, harimau liar itu tidak bergeming saat melihat manusia meski hanya berjarak 20 meter. Sebagian warga memotret raja rimba itu dengan gawainya.
”Pemerintah harusnya merespons cepat. Jangan sampai ada jatuh korban,” kata Nazmin.
Nazmin mengatakan, apabila pemerintah tidak menemukan solusi, dia khawatir warga bertindak diluar aturan, misalnya meracun atau menjerat. Kasus ini pernah terjadi di Aceh Selatan. Pada Juni 2020, seekor harimau mati setelah memakan kambing yang telah dilumuri racun serangga.
”Kami meminta pemerintah membangun posko penanggulangan di desa-desa supaya bisa bergerak cepat saat ada konflik,” ujar Nazmin.
Susun strategi
Selama ini penanganan konflik satwa dilakukan secara parsial atau tidak menyeluruh. Misalnya di satu sisi pagar kejut dan parit terus dibangun, tetapi di sisi lain alih fungsi lahan dan deforestasi terus terjadi. Akibatnya, konflik tidak kunjung reda.
Menyadari hal itu, Pemprov Aceh, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan lembaga konservasi menyusun rencana aksi Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar (SRAP SL). Pemprov Aceh juga membentuk satuan tugas mitigasi konflik satwa.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud menuturkan, SRAP SL akan menjadi pedoman bersama dalam menangani konflik satwa di Aceh.
Di dalam SRAP SL Aceh itu terdapat sembilan poin penting yang dijadikan rencana aksi. Meliputi persoalan habitat dan populasi, perlindungan dan pemulihan habitat, pengendalian konflik satwa-manusia, mitigasi, penegakan hukum, serta penguatan kelembagaan, riset, dan inovasi. Selanjutnya, peran serta warga, penggalangan dukungan para pihak, dan pendanaan berkelanjutan.
Sembilan poin penting itu diturunkan dalam banyak kegiatan, seperti melakukan survei populasi, memulihkan habitat, membangun sistem basis data, patroli rutin, dan menindaklanjuti penegakan hukum.
”SRAP ST Aceh lebih fokus pada pengelolaan habitatnya, tidak pada satu per satu satwa. Sebab, di Aceh, satu kawasan bisa hidup berbagai satwa lindung,” kata Daud.
Baca Juga: Satwa Lindung yang Belum Terlindungi di Aceh
Pemprov Aceh juga telah melakukan indentifikasi kawasan ekosistem esensial (KEE) seluas 895,397 hektar. Sembilan calon koridor yang diusung adalah di Aceh Jaya, Bengkung-Trumon, Cot Girek, Lokop-Serbajadi, Peusangan, Pidie-Pidie Jaya, Woyla-Beutong, Rawa Tripa-Babah Rot, dan Seulawah-Jantho. Areal KEE akan dikelola mengedepankan kepentingan satwa dan manusia.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto mengatakan, selama ini penanganan konflik telah dilakukan. Namun, penanganan masih parsial dan masing-masing pihak bekerja sendiri.
Menurut Agus, dengan adanya satgas, upaya mitigasi konflik dapat dilakukan bersama, terstruktur, dan komprehensif. ”Saat ini penanganan konflik masih parsial. Padahal, jika dikerjakan secara bersama, akan lebih mudah,” katanya.
Kini, publik menunggu aksi nyata dari satgas mitigasi konflik satwa liar. Tidak bergerak cepat, kehidupan manusia dan satwa lindung akan terus berada dalam ancaman.