Pengembangan Kasus Pornografi Anak, Polda DIY Tangkap Tujuh Tersangka Baru
Polda DIY menangkap tujuh tersangka baru terkait kasus penyebaran konten pornografi anak. Mereka merupakan pembuat, admin, dan anggota dua grup aplikasi Whatsapp yang menjadi sarana penyebaran konten pornografi anak.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menangkap tujuh tersangka baru dalam kasus penyebaran konten pornografi anak melalui media sosial. Mereka adalah pembuat, admin, dan anggota dua grup aplikasi Whatsapp yang menjadi sarana penyebaran konten pornografi anak.
”Kami mengerucut dulu terhadap dua grup Whatsapp yang sangat aktif menyebarkan video dan gambar dengan anak-anak,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Komisaris Besar Roberto Gomgom Manorang Pasaribu dalam konferensi pers, Rabu (13/7/2022), di DI Yogyakarta.
Sebelumnya, Polda DIY telah menangkap tersangka FAS (26) pada 22 Juni 2022 di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. FAS ditangkap karena melakukan video call (panggilan video) terhadap sejumlah anak sambil menunjukkan alat kelaminnya. Berdasarkan penyidikan terhadap FAS, polisi menemukan sejumlah grup Whatsapp yang menjadi tempat penyebaran materi pornografi anak.
Roberto menyatakan, polisi telah menyelidiki dua grup Whatsapp yang sangat aktif menyebarkan konten pornografi dengan obyek anak-anak, GCBH dan BBV. Dari hasil penyelidikan itu, polisi kemudian menangkap tujuh pelaku terkait dua grup Whatsapp tersebut selama beberapa hari terakhir.
Terkait grup GCBH, polisi menangkap lima tersangka. Tersangka pertama adalah DS (23) yang ditangkap di Lampung dan merupakan pembuat grup GCBH. DS membuat grup Whatsapp itu pada 2 Desember 2021. Dia lalu membagikan tautan untuk bergabung ke grup tersebut melalui media sosial Facebook dan grup Whatsapp lainnya.
Tersangka kedua adalah S (45) yang ditangkap di Semarang, Jateng. Dia merupakan admin grup GCBH. Sementara itu, tiga tersangka lainnya adalah ACP (21) yang ditangkap di Madiun, Jawa Timur, RRS (17) ditangkap di Klaten, serta DD (19) ditangkap di Karawang, Jawa Barat. Ketiganya anggota grup yang juga mengunggah dan membagikan materi pornografi anak dan dewasa.
Sementara itu, terkait grup BBV, polisi menangkap dua tersangka, yakni AN (27) dan AR (39). AN yang ditangkap di Kalimantan Selatan merupakan pembuat grup BBV. Adapun AR yang ditangkap di Kalimantan Tengah merupakan anggota grup Whatsapp tersebut yang juga berperan mengunggah dan membagikan konten pornografi dengan obyek anak-anak dan dewasa.
Roberto menuturkan, polisi masih mendalami dari mana para tersangka itu mendapatkan konten pornografi anak. Selain itu, dugaan motif ekonomi dalam penyebaran konten pornografi juga masih diselidiki.
Para tersangka itu dijerat dengan sejumlah pasal sekaligus, yakni Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Yang kedua adalah Pasal 29 juncto Pasal 4 Ayat (1) UU No 44/2008 tentang Pornografi. Adapun yang ketiga adalah Pasal 14 juncto Pasal 4 Ayat (1) Huruf (I) juncto Pasal 4 Ayat (2) Huruf (E) UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ancaman hukuman untuk pelaku adalah pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 6 miliar.
Delapan grup lain
Roberto menambahkan, polisi terus mengembangkan penyidikan terkait kasus penyebaran konten pornografi anak itu. Dia menyebut, ada delapan grup Whatsapp lain yang masih dalam penyelidikan. Polisi pun masih mengejar orang-orang yang berkaitan dengan grup-grup Whatsapp tersebut.
”Dari grup Whatsapp yang sudah kami lakukan penangkapan, kami masih mengembangkan lagi terhadap delapan grup Whatsapp lainnya. Diperkirakan masih ada tujuh calon tersangka yang sedang dalam proses pengejaran di beberapa wilayah,” kata Roberto.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto mengatakan, kasus pornografi anak ini harus menjadi perhatian bagi semua pihak, termasuk orangtua. Dia menyebut, berdasarkan survei KPAI, sebanyak 25 persen anak-anak di Indonesia mengakses media digital selama 5 jam lebih dalam sehari.
”Kalau proteksi orangtua dan literasi dalam penggunaan media digital itu lemah, kerentanan anak menjadi korban memang cukup tinggi,” ujar Susanto yang juga hadir dalam konferensi pers di Markas Polda DIY.
Susanto mengatakan, banyak anak yang menjadi korban pornografi dan bahkan traficking (perdagangan manusia) karena mengakses media digital tanpa pengawasan. Oleh karena itu, orangtua harus benar-benar mengawasi anak mereka saat mengakses media digital. ”Kondisi ini tentu tantangan berat bagi orangtua di dalam proses pengasuhan,” katanya.
Susanto menambahkan, para guru juga harus berperan dengan menyisipkan pembelajaran mengenai literasi digital dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Hal ini agar anak-anak tidak menjadi korban saat mengakses media digital.
”Era digital tidak bisa dihindari. Banyak sumber belajar di media digital. Namun, penting integrasi literasi oleh guru di dalam ruang-ruang proses pembelajaran agar anak tidak mudah terpapar konten-konten negatif,” kata Susanto.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Anak DIY Sari Murti menyatakan, kasus ini menunjukkan kejahatan terhadap anak dengan memanfaatkan teknologi ternyata terus terjadi. Kondisi ini tentu harus diwaspadai. Apalagi, sejak adanya pandemi Covid-19, anak-anak menjadi lebih akrab dengan gawai untuk mengakses berbagai konten digital.
”Akan tetapi, anak-anak belum sepenuhnya memiliki kemampuan literasi digital yang baik. Oleh karena itu, mereka mudah sekali menjadi korban,” ujar Sari.
Sari memaparkan, kondisi tersebut harus mendapat perhatian dari semua pihak, tidak hanya orangtua. Sebab, masyarakat dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak. ”Mari kita bersama-sama saling mengingatkan agar persoalan-persoalan ini tidak terulang kembali,” katanya.