Warga Lumajang Adukan Tambang Pasir Lereng Semeru ke Komnas HAM
Tiga warga Lumajang yang berjalan kaki ke Jakarta akhirnya mengadu ke Komnas HAM. Mereka berharap kekecewaan terkait penambangan pasir di Lumajang didengarkan dan ditindaklanjuti.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS – Tiga warga Lumajang yang berjalan kaki ke Jakarta akhirnya mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka berharap kekecewaan terkait dengan penambangan pasir di Lumajang didengarkan dan ditindaklanjuti.
Senin (11/7/2022), tiga warga Lumajang diterima oleh komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara. Ketiganya ialah Supangat (52), Nur Holik (39), dan Masbud (36). Ketiganya merupakan warga Dusun Kamarkajang, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang.
”Tiga warga tersebut mengadu soal permukiman mereka yang terkena banjir lahar Semeru karena adanya tanggul melintang yang dibangun yang berefek pada permukiman dan kehidupan mereka. Harapannya, mereka meminta Komnas HAM bisa menindaklanjuti aduan mereka dan agar bisa berkoordinasi dengan berbagai lembaga terkait supaya permasalahan itu cepat selesai,” kata Beka, Senin malam.
Beka mengatakan, warga berharap ada evaluasi tambang pasir di sana. ”Harapannya adalah agar ada solusi misalnya soal kerusakan rumah mereka. Apakah akan diperbaiki atau bagaimana. Sebab, sebagian di antara mereka masih tinggal menumpang di rumah saudara atau tetangga dan masih ada yang membangun huntara (hunian sementara) sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, Komnas HAM akan menindaklanjuti aduan tersebut dengan meminta keterangan Pemerintah Kabupaten Lumajang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan kepolisian.
Kisah tiga pelapor tersebut bermula saat mereka menjadi salah satu korban erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021. Mereka menilai, dampak erupsi tersebut menjadi kian parah akibat adanya aktivitas membendung aliran lahar Semeru untuk penambangan pasir.
Perjalanan tiga warga Lumajang yang ditempuh dengan jalan kaki itu dimulai pada Selasa (21/6/2022). Perjalanan dimulai oleh Supangat. Berikutnya perjalanan Supangat disusul oleh dua rekannya.
Pada Senin (27/6/2022), Supangat dan Masbud sampai di Yogyakarta. Sementara Nur Holik sampai sehari kemudian. Di Yogyakarta, mereka sempat bertemu dengan sejumlah warga yang bersimpati sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Jakarta pada Rabu (29/6/2022).
Nur Holik menjelaskan, ia dan dua temannya memprotes pembuatan tanggul yang melintang di tengah Sungai Regoyo. Sungai Regoyo adalah kelanjutan dari Besuk Kobokan, yaitu jalur aliran lahar dari Gunung Semeru.
”Pembuatan tanggul itu dilakukan oknum perusahaan pertambangan pasir dengan tujuan menampung pasir yang terbawa banjir. Dengan begitu, proses penambangan pasir bisa lebih mudah dilakukan. Hal inilah yang menjadi masalah,” kata Nur Holik.
Nur Holik mengatakan, perusahaan itu juga membangun kantor dan tempat workshop di dalam daerah aliran sungai (DAS). Dia menuturkan, perusahaan tersebut mendapat izin untuk melakukan penambangan pasir sekitar tahun 2015. Sementara pembuatan tanggul dimulai sekitar 2019.
”Aliran sungai yang dibendung jelas akan menimbulkan banjir. Dan, itulah yang membahayakan warga desa,” kata Nur Holik.
Oleh karena khawatir pada keberadaan tanggul itu, pada 23 Februari 2021 perwakilan warga Sumberwuluh melaporkan keberadaan tanggul tersebut ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang dan pihak-pihak terkait.
Namun, tanggul yang dibuat perusahaan pertambangan pasir itu tetap dibiarkan hingga akhirnya terjadi erupsi besar Gunung Semeru pada 4 Desember 2021. Saat erupsi itu, rumah warga tertimbun lumpur, bahkan hingga kini banyak yang belum diperbaiki.
”Keberadaan tanggul melintang setinggi 4-5 meter itu sama tinggi dengan tanggul di sisi sungai yang dibangun era pemerintahan terdahulu. Tujuannya saat itu untuk mencegah banjir membahayakan warga. Eh, sekarang justru dibangun tanggul,” kata Nur Holik yang merupakan Ketua Paguyuban Peduli Erupsi Semeru.
Sebelumnya, tambang pasir telah menyebabkan banyak konflik horizontal di masyarakat. Pada 26 September 2015, konflik tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar menyebabkan Salim Kancil tewas dan Tosan terluka parah. Keduanya adalah aktivis antitambang pasir di desa tersebut.
Persoalan penambangan pasir di Kabupaten Lumajang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, penambangan pasir di sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Semeru menjadi gantungan hidup banyak orang. Material vulkanik berupa batuan dan pasir harus rutin ditambang agar saat hujan tidak menyebabkan banjir dan merugikan masyarakat. Namun, di sisi lain, pertambangan tidak memberikan hasil banyak pada daerah agraris tersebut.
Penambangan di sepanjang sungai aliran lahar Gunung Semeru perlu dilakukan karena potensi pasir dari gunung tertinggi di Jawa tersebut sangat besar. Potensinya tersebar di delapan kecamatan di Lumajang, yaitu Pronojiwo, Candipuro, Yosowilangun, Pasirian, Sumbersuko, Kunir, Tempeh, dan Tempursari.
Potensi cadangan pasir besi di kawasan itu juga paling luas di Indonesia. Menurut survei beberapa investor, area pasir yang mengandung zat besi itu bisa mencapai 60.000 hektar dengan kadar besi antara 30 dan 40 persen. Adapun areal tambang pasir besi mencapai 30.460 ha.
Data Bagian Perekonomian Kabupaten Lumajang 2016 mencatat bahwa potensi tambang galian C berada di sepanjang Sungai (Kali) Rejali (Candipuro), Kali Regoyo (Pasirian), dan Kali Glidig (Tempursari dan Pronojiwo). Luas areal bahan tambang berupa pasir dan batu seluas 82,50 ha dengan volume 5.976.625 m³.