Skema Baru Pelayaran Perintis Melumpuhkan Daerah Terpencil
Skema pelayaran perintis terbaru membuat waktu tunggu kapal paling cepat 28 hari. Warga di daerah terpencil kian sengsara.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Sejumlah pihak memprotes kebijakan Kementerian Perhubungan terkait skema baru pelayaran perintis dengan jeda waktu tunggu hampir mendekati satu bulan. Kebijakan itu dinilai melumpuhkan akses masyarakat dan mobilitas barang di daerah terpencil. Semangat membangun dari pinggiran yang sering digaungkan pemerintah kini dipertanyakan.
”Kami sudah dapat informasi bahwa kapal tidak beroperasi seperti dulu. Kapal jalan satu putaran, terus berhenti dua putaran atau selama hampir satu bulan. Ini sangat menyengsarakan,” kata Leo Imuly, Kepala Desa Tela, Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, saat dihubungi pada Selasa (12/7/2022).
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada PT Pelni sebagai salah satu operator pelayaran perintis. Surat tertanggal 28 Juni 2022 itu berisi tentang sosialisasi skema operasi kapal perintis.
Contohnya, semua kapal untuk pangkalan Ambon yang berjumlah lima unit, tidak lagi beroperasi rutin. Semua kapal itu beroperasi satu putaran, kemudian jeda dengan hitungan waktu dua putaran. Di pangkalan Saumlaki terdapat tiga kapal. Satu kapal beroperasi satu putaran kemudian jeda selama dua kali putaran. Dua kapal yang lain tidak beroperasi.
Untuk pangkalan Kota Kupang, terdapat tiga kapal. Semuanya beroperasi satu putaran kemudian jeda selama dua putaran. Waktu yang dibutuhkan satu kapal untuk satu putaran paling cepat 14 hari. Dengan begitu, jika jeda dua putaran, masyarakat menunggu paling cepat 28 hari atau hampir satu bulan (Kompas,12/7/2022).
Padahal, lanjut Leo, untuk menjangkau pulau terdekat, mereka biasanya menunggu jadwal kapal perintis. Selama ini, paling lama setiap 10 hari pulau itu disinggahi dua kapal perintis, baik ke ibu kota kabupaten maupun ke kabupaten tetangga. Bahkan, ada kapal yang melayari sampai ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mereka sangat terbantu.
Babar merupakan satu dari beberapa pulau di sisi selatan Maluku yang paling terisolasi. Mereka mengandalkan pelayaran perintis. Jarang ada kapal kayu yang beroperasi mengingat perairan di sana sering dilanda gelombang tinggi seperti sekarang ini, mulai Mei hingga September.
Ada speedboat atau perahu cepat milik warga, tapi jumlahnya tidak banyak. Itu pun hanya beroperasi saat cuaca teduh. Harga sewa speedboat sangat mahal. Untuk perjalanan dengan waktu tempuh sekitar 3 jam, biaya sewa paling sedikit Rp 10 juta. Speedboat hanya dipakai jika ada kunjungan pejabat.
Warga setempat tidak mampu menyewa karena alasan ekonomi. Wilayah kepulauan itu merupakan kantong kemiskinan di Maluku dengan persentase di atas 25 persen. Padahal, daerah itu kaya sumber daya kelautan dan perikanan. Belakangan mereka mulai bangkit setelah ramai dilewati kapal perintis. ”Jadi, kalau perubahan seperti ini, ekonomi masyarakat di sini akan lumpuh lagi,” ujar Leo.
Ampi (35), warga Pulau Kisar, menambahkan, kebijakan itu juga akan berdampak pada kenaikan harga barang kebutuhan di sana. Ia mencontohkan, harga beras yang paling murah Rp 14.000 per kilogram berpotensi naik. Harga barang kebutuhan lain juga bakal naik mengingat rantai pasok tersendat.
Pada saat bersamaan, warga semakin sulit memasarkan komoditas mereka, seperti ikan, kopra, rumput laut, dan aneka tanaman hortikultura. Padahal, hasilnya dipakai untuk membiayai pendidikan anak mereka di tahun ajaran baru ini. Adapun masa pendaftaran tahun ajaran baru atau tahun akademik bagi mahasiswa sudah berlangsung dan segera ditutup.
Intinya ada kapal. Soal harga, belakangan.
Ampi pun meminta jeda waktu tunggu pelayaran yang mencapai satu bulan bisa diperpendek sehingga masyarakat tidak perlu menunggu lama. Namun, jika itu tidak memungkinkan, mereka tidak keberatan jika pemerintah ingin menaikan harga tiket pelayaran perintis. ”Intinya ada kapal. Soal harga, belakangan,” ujarnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, lewat sambungan telepon pada Senin (11/7/2022), mengatakan, perubahan skema itu dengan alasan rendahnya okupansi. ”Karena kalau kita bikin kapal yang (kapasitasnya) 1.000 orang, terus naiknya (hanya) 50 orang,” ujarnya seraya mengaitkan dengan anggaran yang dikeluarkan untuk operasional perintis.
Menurut dia, pihaknya masih terus melakukan evaluasi setelah penerapan sistem ini, termasuk melihat dampak yang timbul. Hasil evaluasi akan segera diikuti dengan tindak lanjut. ”Hasil evaluasinya akan kami sampaikan,” ucapnya.
Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias mempertanyakan komitmen pemerintah dalam membangun daerah pinggiran sebagaimana semangat Nawacita yang sering digaungkan Presiden Joko Widodo. Salah satu poin Nawacita adalah membangun dari pinggiran. Karena itu, Anos menyayangkan jika capaian okupansi menjadi alasan perubahan skema itu.
”Di saat masyarakat pinggiran mulai merasakan kemerdekaan akses transportasi, hal itu pun dalam sekejap hilang karena negara mau efisien. Padahal, selama bertahun-tahun, masyarakat pinggiran diabaikan,” katanya.
Dalam waktu dekat, lanjut Anos, pihaknya akan mendatangi Kementerian Perhubungan di Jakarta untuk mencari jalan keluar agar masyarakat terpencil tidak dikorbankan. Ia pun setuju dengan perubahan skema, tapi jeda waktu tunggu harus diperpendek lagi. Waktu menunggu selama 28 hari terlalu lama.