Restorasi Mangrove Didorong untuk Atasi Problem Pesisir Jateng
Restorasi mangrove didorong untuk digalakkan di kawasan pesisir Jateng. Kehadiran mangrove diharapkan mampu mengatasi problem masyarakat pesisir.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Mangrove dinilai mampu menangkal persoalan di wilayah pesisir salah satunya banjir rob. Selain itu, keberadaan mangrove juga bisa memperkuat ketahanan pangan masyarakat. Sejumlah pihak mendorong agar restorasi mangrove dilakukan secara serius demi kesejahteraan masyarakat pesisir.
Berdasarkan data Satu Peta Mangrove Nasional, Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 4 juta hektar. Angka itu sekitar seperempat dari luas total lahan mangrove di dunia. Dari 4 juta hektar itu, sekitar 3,3 juta hektar merupakan hutan mangrove eksisting dan sekitar 756.000 hektar merupakan hutan mangrove potensi.
Sekitar 1,1 juta hektar atau 28 persen dari total luas hutan mangrove di Indonesia berada di area penggunaan lain. Area itu rawan dialihfungsikan sebagai permukiman dan tambak.
Di wilayah pantura Jateng, alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak merupakan penyebab paling besar kerusakan mangrove. Hal itu antara lain terjadi di Pemalang, Brebes, dan Demak.
”Penyebab kerusakan mangrove yang tak kalah besar di pantura Jateng adalah reklamasi yang mengakibatkan pola arus air laut berubah, kemudian memicu abrasi. Selain itu, ada juga hutan mangrove yang rusak akibat pencemaran,” kata dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi, dalam lokakarya nasional terkait mangrove di kantor Gubernur Jateng, Selasa (12/7/2022).
Untuk mengatasi kerusakan mangrove, perlu ada restorasi. Rudhi mengatakan, pemerintah di daerah-daerah sudah banyak melakukan restorasi dengan cara menanam kembali mangrove.
Jangan cuma mentang-mentang sudah tumbuh terus tidak diawasi. (Rudhi Pribadi)
Meski demikian, tak semua program penanaman itu berhasil. Hal itu biasanya terjadi karena penanaman dilakukan asal-asalan, tidak berorientasi pada masalah penyebab kerusakan.
”Perlu ada kajian supaya penanaman yang dilakukan tidak sia-sia, misalnya cocok atau tidak substaratnya dan bagaimana tipe arusnya. Selanjutnya, perlu ada monitoring dan evaluasi setelah mangrove itu ditanam. Jangan cuma mentang-mentang sudah tumbuh terus tidak diawasi,” tutur Rudhi.
Menurut dia, mangrove memiliki fungsi yang sangat signifikan untuk mengatasi persoalan di wilayah pesisir. Untuk persoalan rob, misalnya, hutan mangrove bisa menghalau dan memecah gelombang sehingga potensi limpas ke permukiman bisa ditekan.
Kekurangan gizi
Selain itu, keberadaan hutan mangrove juga bisa memancing biota laut, seperti udang, kerang, dan ikan, untuk hidup di sekitarnya. Kondisi ini membuat masyarakat di wilayah pesisir memiliki kesempatan mengambil biota laut itu untuk dikonsumsi sehingga persoalan kekurangan gizi bisa diatasi. Sisanya bisa dijual untuk meningkatkan perekonomian mereka.
Pemerintah Provinsi Jateng berkomitmen untuk melestarikan ekosistem mangrove di 16 kabupaten/kota di pesisir Jateng. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Jateng Peni Rahayu mengatakan, pihaknya telah menyiapkan anggaran restorasi melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan.
Saat ini pihaknya sedang menghimpun dana tanggung jawab sosial perusahaan yang bekerja sama dengan dinas lingkungan hidup dan kehutanan untuk melakukan reklamasi mangrove.
”Kerja sama juga kami lakukan dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Pemali Jratun dalam hal pembibitan mangrove, pembuatan kebun benih mangrove, hingga rehabilitasi hutan mangrovenya,” ujarnya.
Menurut Peni, upaya-upaya itu diharapkan mampu memperluas lahan mangrove di Jateng. Sebab, sepanjang 2017-2020, terjadi pengurangan ekosistem mangrove di Jateng sebesar 5 persen.
Tak hanya pemerintah, lembaga swadaya masyarakat bersama masyarakat pesisir juga turut berupaya merestorasi mangrove dengan melakukan penanaman kembali.
Organization for Industrial, Spiritual, and Cultural Advancement (OISCA) Demak, misalnya, merestorasi sekitar 25 hektar mangrove di Desa Bedono dan Timbulsloko di Kecamatan Sayung pada 2004-2010.
Di samping menanam mangrove, masyarakat pesisir yang terdiri atas 10 kelompok itu juga diberdayakan dengan cara membuat track mangrove untuk wisata memberi perahu kepada kelompok masyarakat.
Cara lain adalah melatih masyarakat mengenai budidaya kerang. Dengan begitu, rasa memiliki masyarakat terhadap hutan mangrove bisa tubuh dan mangrove bisa lestari.
”Tanpa restorasi lahan mangrove, desa-desa di wilayah pesisir itu sudah pasti hilang. Dengan pendekatan khusus, masyarakat yang awalnya membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak juga kembali bersedia menanam mangrove di pematang tambak mereka,” tutur Koordinator OISCA Demak, Ali Mahmud.
Sejak merasakan dampak positif keberadaan hutan mangrove, kesadaran masyarakat Demak untuk menjaga kelestarian mangrove menjadi semakin tinggi.
Di sejumlah desa di Kecamatan Bonang, misalnya, ada peraturan yang mengharuskan satu orang yang menebang satu batang pohon untuk menanam 500-1.000 pohon sebagai pengganti. Selama ini, OISCA mengucurkan anggaran Rp 100 juta-Rp 250 juta untuk program restorasi mangrove dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Ali berharap, ke depan, desa-desa di wilayah pesisir diwajibkan mengalokasikan sebagian dana desa untuk rehabilitasi kawasan pesisir sehingga penyelamatan wilayah pesisir bisa lebih optimal.