Program Selisih Harga Belum Mampu Turunkan Harga Kedelai di Jateng
Harga kedelai di Jawa Tengah masih terus melambung, menjauhi harga acuan yang ditetapkan pemerintah. Solusi jangka panjang melalui swasembada kedelai ditunggu untuk mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
KRISTI DWI UTAMI
Warga mendinginkan kedelai yang akan dijadikan tempe di sentra industri tempe Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (7/1/2021). Adanya kenaikan harga kedelai membuat produsen mengurangi produksi harian tempe dari 2 kuintal menjadi 1,5 kuintal.
SEMARANG, KOMPAS — Para perajin tahu dan tempe di Jawa Tengah mengeluhkan masih mahalnya harga kedelai di tengah berlangsungnya program Bantuan Penggantian Selisih Harga Pembelian Kedelai. Pada Senin (11/7/2022), rata-rata harga kedelai Rp 12.460 per kilogram, lebih tinggi dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan data Harga Kepokmas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng, rata-rata harga kedelai Rp 12.460 per kilogram. Harga kedelai tertinggi di Pasar Bulu, Pasar Gayamsari, dan Pasar Karangayu, yakni Rp 12.600 per kilogram.
Harga kedelai di Jateng tersebut jauh lebih tinggi dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07 Tahun 2020. Dalam peraturan tersebut, harga acuan kedelai Rp 9.200 per kilogram untuk kedelai lokal dan Rp 6.800 per kilogram untuk kedelai impor.
Menurut Keman (53), produsen tempe di Kelurahan Krobokan, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, harga kedelai terus merangkak naik sejak akhir tahun 2021. Harga kedelai mencapai puncaknya pada awal Juni, Rp 12.800 per kilogram.
”Harga kedelai tahun ini adalah yang tertinggi selama puluhan tahun saya berjualan tempe. Saya tetap nekat berproduksi karena tidak tahu mau kerja apa lagi. Untungnya sedikit banget, cuma cukup untuk makan sehari-hari saja,” ujar Keman tanpa merinci besaran keuntungan yang ia dapat dari produksi tempe.
Tahun lalu, Keman masih dibantu oleh tiga karyawannya untuk membuat tempe. Kini, ia hanya bekerja sendiri lantaran tidak kuat menggaji karyawannya.
Sebenarnya, Keman ingin menaikkan harga tempe untuk menutup ongkos produksinya. Namun, ia khawatir pelanggannya kabur. Solusinya adalah mengurangi jumlah kedelai yang dipakai untuk membuat tempe. Untuk satu bungkus plastik tempe papan ukuran kecil, biasanya, Keman memakai 5 ons kedelai. Kini, jumlah kedelainya dikurangi menjadi 4 ons per bungkus.
KRISTI DWI UTAMI
Warga menunjukkan tempe buatannya di sentra industri tempe Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (7/1/2021).
Keluhan yang sama juga disampaikan Slamet (61), pengusaha tempe asal Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Awalnya, Slamet tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menaikkan harga. Lambat laun, ia menyerah kemudian menaikkan harga jual tempenya.
”Awalnya cuma menipiskan ukuran tempe. Lama-lama tidak kuat karena harganya naik terus. Akhirnya saya naikkan sedikit harganya sambil berusaha menjelaskan kepada konsumen,” kata Slamet.
Tempe dengan bungkus daun pisang kecil yang biasanya dijual Slamet dengan harga Rp 1.000 per buah, sejak Juni harganya dinaikkan menjadi Rp 1.200 per buah. Adapun tempe dengan ukuran sedang yang sebelumnya dijual Rp 2.500 per buah naik menjadi Rp 3.000 per buah.
”Saya bingung, sudah ada program bantuan dari pemerintah, tetapi, kok, harganya tetap tinggi. Harga kedelai saat ini sudah hampir sama dengan harga beras, padahal dulu harganya jauh di bawah beras,” ucap Slamet.
Berbagai upaya untuk meringankan para perajin tahun dan tempe telah dilakukan. Salah satunya melalui program Bantuan Penggantian Selisih Harga Pembelian Kedelai. Melalui program tersebut, pemerintah melalui Perum Bulog akan menyediakan kedelai 200.000 ton per bulan, mulai April hingga Juli 2022.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, pengadaan kedelai bukan melalui impor, melainkan dengan cara membeli dari importir kedelai di dalam negeri. Nanti, pemerintah akan mengganti selisih harga Rp 1.000 per kilogram agar produsen tahu dan tempe mendapatkan harga kedelai Rp 11.000 per kilogram (Kompas.id 25/3/22).
”Pemerintah akan menyediakan anggaran senilai total Rp 900 miliar untuk menutup selisih harga itu,” ucap Oke.
KRISTI DWI UTAMI
Warga memeriksa tumpukan kedelai yang sedang diproses menjadi tempe di sentra industri tempe Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (7/1/2021).
Penyaluran bantuan tersebut dilakukan melalui Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti) di kabupaten/kota. Kopti Kabupaten Pekalongan, misalnya, mendapatkan pasokan sekitar 406 ton per bulan dari total rata-rata kebutuhan 1.000 ton per bulan. Kedelai-kedelai itu dijual Kopti Kabupaten Pekalongan dengan harga Rp 10.400 per kilogram.
”Di Kabupaten Pekalongan, harga kedelai saat ini sekitar Rp 11.400 per kilogram, selisih Rp 1.000 dengan harga kedelai di Kopti. Program ini sedikit meringankan para perajin tahu dan tempe,” kata Ketua KOPTI Kabupaten Pekalongan Rohmah Nawawi.
Menurut Rohmah, perajin tempe dan tahu yang bisa memperoleh kedelai dengan harga Rp 10.400 per kilogram adalah anggota Kopti. Di Kabupaten Pekalongan, ada sekitar 200 orang yang tergabung dalam Kopti.
Rohmah menilai, program bantuan selisih harga belum menyelesaikan akar persoalan tingginya harga kedelai di Indonesia. Perlu ada upaya mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor sehingga gejolak harga akibat kondisi perekonomian global tidak mengganggu harga dalam negeri.
”Di sini, pakar pertanian banyak, lahan juga ada, tinggal menggalakkan penanaman kedelai. Kalau sudah ada produk dari dalam negeri, impor bisa dikurangi atau bahkan tidak perlu impor sama sekali,” katanya.