Digelar Kembali, Garebek Besar Kasunanan Surakarta Disambut Antusiasme Warga
Dengan melandainya kondisi penularan Covid-19, Garebek Besar Keraton Kasunanan Surakarta digelar kembali tahun ini. Segenap warga menyambutnya dengan antusiasme tinggi.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Garebek Besar Keraton Kasunanan Surakarta, yang urung terselenggara akibat pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, kembali digelar tahun ini saat penularan Covid-19 melandai. Segenap warga menyambutnya dengan antusiasme tinggi.
Garebek Besar merupakan tradisi tahunan dari Keraton Kasunanan Surakarta yang diadakan bersamaan dengan perayaan Idul Adha. Dalam kegiatan itu, Raja Keraton Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono XIII bersedekah kepada warga. Bentuk sedekahnya berwujud hasil bumi yang dirangkai dalam rupa gunungan.
”Ini untuk memperingati hari raya Idul Adha. Gunungan melambangkan rasa syukur kita (Keraton Kasunanan Surakarta) terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas kelimpahan rahmat, rezeki, kesehatan, kebarokahan, waktu, dan lain sebagainya,” kata Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Dani Nur Adiningrat, di Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (10/7/2022).
Prosesi acara dimulai dengan arak-arakan dari halaman depan Keraton Kasunanan Surakarta menuju Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta. Dani menjadi sosok yang memimpin rombongan abdi dalem yang menggotong dua gunungan besar dan beberapa gunungan kecil dalam kegiatan tersebut. Dua gunungan besar itu dinamai Gunungan Jaler dan Gunungan Pawestri.
Ratusan warga menunggu di kompleks masjid sekitar 30 menit sebelum rombongan abdi dalem tiba. Mereka langsung mengeluarkan ponselnya masing-masing untuk merekam momen kedatangan gunungan.
Dari dua gunungan besar yang dibawa para abdi dalem, hanya Gunungan Pawestri yang akan dibagikan kepada warga. Gunungan tersebut berisi hasil bumi seperti kacang panjang, cabai, hingga telur asin.
Sesampainya di masjid, Gunungan Pawestri diletakkan di halaman. Segenap warga yang hadir langsung mengerumuni gunungan tersebut. Setelah selesai didoakan oleh para abdi dalem dan perwakilan keraton, barulah warga diperbolehkan mengambil berbagi hasil bumi yang dipasang pada gunungan tersebut.
Cara mengambilnya dengan ”rayahan” atau saling berebut. Ada juga yang memanjatnya lalu melemparkan isi gunungan kepada warga lainnya yang berada di bawahnya.
”Tentu ini punya makna khusus bagi keraton. Kami sebagai penerus kerajaan Mataram Islam juga ikut memuliakan hari-hari besar umat Islam. Ini menjadi peringatan penting juga bagi kami,” kata Dani.
Selama pandemi Covid-19, jelas Dani, tradisi tersebut diadakan tanpa melibatkan kirab atau arak-arakan. Kegiatannya diganti dengan selamatan atau wilujengan di dalam lingkup keraton saja. Dengan kondisi penularan yang mulai rendah, ia mengharapkan nantinya gelaran tersebut bisa diadakan lebih ramai lagi.
”Harapannya ke depan acara ini semakin meriah lagi. Lebih khidmat lagi. Banyak makna yang bisa diketahui masyarakat awam lewat kegiatan ini,” kata Dani.
Ketua Takmir Masjid Keraton Kasunanan Surakarta Muhammad Muhtarom menyampaikan hal serupa. Ia merasa bersyukur mengingat masyarakat bisa terlibat lagi dalam garebek. Kehadiran mereka membuat kegiatan tersebut semakin riuh rendah.
Keterlibatan masyarakat dianggap penting. Sebab, kegiatan itu menjadi tradisi yang harus diteruskan ke generasi-generasi selanjutnya. Dikhawatirkan, kearifan lokal itu bisa hilang jika terus-menerus ditiadakan.
”Saat ini, kondisinya (pandemi Covid-19) sudah membaik. Ini bagian dari tradisi keraton yang harus dipertahankan atau dilestarikan. Maka dalam kondisi ini, baik untuk diadakan lagi,” kata Muhtarom.
Rina Rahayu (38), warga Kabupaten Sukoharjo, termasuk salah seorang penduduk yang menantikan gelaran tersebut. Hari itu adalah kedua kalinya mengikuti garebek. Ia memercayai, hasil bumi yang diberikan bisa membawa berkah. Dalam kesempatan itu, ia memperoleh kacang panjang dan cabai. Hasil bumi tersebut akan dimasaknya menjadi sayur.
”Ini ngalap (mencari) berkah saja. Katanya orang-orang dulu kalau dapat kayak gini, bisa dapat berkah selama setahun. Kalau ada terus, saya mau ikut terus,” kata Rina.
Sementara itu, Yeni (45), warga Kota Surakarta, baru pertama kali mengikuti gelaran tersebut. Itu pun diikutinya secara tak sengaja. Kebetulan ia melintas di sekitar lokasi penyelenggaraan dan menyaksikan kerumunan orang. Bersama dua putranya yang masih kanak-kanak, ia memantapkan diri untuk ikut menyaksikan tradisi tahunan tersebut.
”Tahu ada tradisi seperti ini, ya, sudah lama. Tetapi memang baru pertama kali ikut. Bagus sekali untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang budaya Jawa. Paling tidak mereka mengenal ada tradisi-tradisi seperti ini,” kata Yeni.