Berawal dari Bau, Berakhir Jadi Sumber Energi Alternatif
Jantje Sumelang (65) hanyalah seorang peternak babi biasa yang tak pernah cari masalah. Namun, lebih dari lima tahun lalu, ia menjadi target utama pedasnya cibiran tetangga. Biang keroknya adalah kotoran babi.
Jantje Sumelang (65) hanyalah seorang peternak babi biasa di Desa Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Ia tak pernah ingin cari masalah. Namun, lebih dari lima tahun lalu, ia menjadi target utama pedasnya cibiran tetangga di Jaga 14, dusun yang menjadi lokasi peternakannya.
Keadaan itu tentu bukan tanpa alasan. Sebab, Jantje tak betul-betul tahu cara terbaik mengelola kotoran 100-an babi ternaknya. Alhasil, kala bayu berembus, semerbak aroma metana dan sulfur pun ikut terbawa, menyelinap ke celah-celah pintu dan jendela rumah tetangga lalu menyusup ke indera penciuman.
Kabar akan bau busuk kotoran babi di Jaga 14 pun menyebar bahkan hingga ke luar desa hingga terdengar oleh PT Tirta Investama Airmadidi, produsen air mineral Aqua. Maka, alih-alih menjadi bahan gunjingan, tim tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan yang hanya berjarak 10 menit perjalanan mobil dari Tumaluntung itu mencetuskan suatu terobosan, yaitu produksi biogas dari kotoran babi.
”Waktu itu tahun 2017, kebetulan Aqua tawarkan bangun (instalasi) biogas di sini. Saya langsung terima, bahkan ikut bantu (patungan). Dari biaya sekitar Rp 25 juta, saya ikut bayar sekitar setengahnya,” kata Jantje, Senin (4/7/2022), ketika ditemui di area peternakannya.
Kini, di tengah lahan peternakan dengan pijakan cor itu terdapat semacam kubah bawah tanah yang merupakan biodigester alias reaktor biogas. Sebuah lubang pembuangan kotoran terhubung dengannya.
Setiap hari, kotoran babi yang dihasilkan peternakan dimasukkan ke lubang intake, lalu disiram air agar masuk ke dalam biodigester. Kotoran yang menumpuk di dalam reaktor akan memproduksi gas metana yang mudah teroksidasi atau terbakar.
Gas tersebut kemudian akan dialirkan dari pipa di atap kubah ke jaringan selang yang bermuara pada kompor biogas di dapur-dapur rumah warga. Alhasil, warga mendapatkan substitusi elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Kompor khusus biogas serta jaringan selang biogas pun telah disediakan oleh PT Tirta Investama Airmadidi.
Bagi Jantje, hal itu adalah sebuah titik balik bagi kehidupan sosialnya di Jaga 14 Desa Tumaluntung. Bau kotoran tetap ada, tetapi tak lagi keras seperti dahulu. Protes dan cibiran tetangga pun menghilang, apalagi karena Jantje tak menarik sepeser pun dari warga yang memakai biogas dari peternakannya.
”Karena ada biogas, semua senang. Warga sudah tidak perlu lagi beli-beli gas elpiji. Boleh bebas pakai (biogas untuk memasak) sepuasnya karena tidak pernah habis selama ada kotoran (yang masuk ke biodigester),” kata Jantje.
Istri Jantje, Yuli Dompas (58), pun merasakan nikmatnya melepas ketergantungan pada elpiji. Dahulu, ia bisa membeli tabung gas 3 kilogram sekali setiap dua minggu. Kini, pengeluaran untuk tabung gas ”melon” itu bisa dihemat, kecuali situasi mendesak.
Yuli juga merasa lebih nyaman memasak dengan biogas. ”Kalau banyak kotoran (dalam biodigester), apinya lebih besar. Jadi, masakan lebih cepat matang. Enggak perlu takut juga seperti saat ganti-ganti tabung elpiji,” ujarnya.
Saat program biogas baru dimulai, ada 10 keluarga di Jaga 14 Desa Tumaluntung yang memanfaatkan biogas. Namun, karena dua keluarga pindah rumah, kini hanya tersisa delapan keluarga, termasuk keluarga Jantje dan Yuli.
Karena itu, untuk sementara Jantje hanya mengisi biodigester dengan kotoran dari dua kandang berisi paling 15-20 babi yang besar-besar. Terdapat pipa yang menyambungkan kandang dengan lubang intake kotoran.
Padahal, populasi di peternakannya 80-100 babi. Untuk sementara, kotoran dari mayoritas ternak disiram dan dialirkan ke sebuah telaga di belakang peternakan. ”Kalau mau produksi banyak biogas bisa, tetapi kotorannya harus diangkat ke sini (lubang intake),” kata Jantje.
Masalah lingkungan
Dalam sebuah diskusi di Balai Desa Tumaluntung, Manajer CSR PT Tirta Investama Airmadidi Imanuel Adoeng mengatakan, program tersebut adalah bentuk kepedulian perusahaan terhadap berbagai masalah lingkungan di sekitar tempatnya beroperasi. Biodigester bervolume 6 meter kubik itu pun terbukti dapat menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan.
”Saya yakin, dalam perkembangan ke depan, biogas ini akan sangat bermanfaat tak hanya untuk kelompok penerima manfaat, tetapi juga masyarakat. Data yang kami miliki, para pengguna biogas bisa menghemat Rp 1,48 juta karena tidak perlu lagi beli gas berkat biogas dari kotoran babi,” kata Imanuel.
Tak hanya itu, reaktor biogas di peternakan Jantje juga menghasilkan limbah berupa pupuk kandang. Sebanyak dua kelompok tani yang menanam jagung dan berbagai tanaman hortikultura pun dapat mengambilnya secara gratis.
Di samping itu, ada juga satu kelompok dari Desa Airmadidi Bawah yang memanfaatkan pupuk itu. ”Harapan kami, pupuk yang dihasilkan tidak hanya dipakai di Desa Tumaluntung, tetapi bisa diolah menjadi pupuk organik cair dan padat yang bisa dijual ke kelompok-kelompok tani di desa sekitar,” kata Imanuel.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat yang membina masyarakat dalam pemanfaatan biogas, yaitu Manengkel Solidaritas, mencatat, ada 74 orang di desa berpenduduk 3.300-an orang itu yang merasakan manfaat langsung dari biogas untuk memasak. Di samping itu, ada 13,6 hektar lahan pertanian yang diintervensi dengan pupuk organik.
Namun, Erlando Tumangken, Ketua Manengkel Solidaritas, menilai potensi biogas di Desa Tumaluntung masih dapat terus dikembangkan. Sebab, dari 56 kandang babi ternak yang ada di Desa Tumaluntung, baru dua yang dimanfaatkan untuk biogas. ”Kalau ada pengembangan, manfaat ekonomisnya akan lebih besar,” ujarnya.
Setiap hari, biogas yang dihasilkan dari reaktor di peternakan Jantje mencapai 2,8 meter kubik berat kering. Jika dikonversikan, kata Erlando, itu setara dengan 1,2 kilogram elpiji setiap hari. Jika dikonversi menjadi listrik, biogas itu dapat menghasilkan daya sebesar 13,19 kilowatt jam (kWh).
Pada saat yang sama, jumlah keluarga pengguna biogas juga masih sedikit. Agar lebih banyak warga yang bergabung, Manengkel Solidaritas memfasilitasi pembentukan kelompok usaha mikro yang memproduksi makanan-makanan ringan. Hal itu akan mendorong terlaksananya prinsip ekonomi sirkular yang ramah lingkungan.
”Gol besar yang ingin kami capai adalah model ekonomi sirkular. Pertama, limbah pertanian dijadikan pakan ternak, kemudian kotoran ternak dimanfaatkan jadi biogas. Limbah biogas dipakai lagi sebagai pupuk dan kembali ke pertanian, sedangkan biogas dimanfaatkan untuk industri rumahan. Itu seperti roda yang terus berputar,” katanya.
Keberadaan pemanfaatan biogas di Desa Tumaluntung pun menjadi hal yang sangat menarik bagi para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Pusat Statistik (BPS). Tiga peneliti dari Jakarta, dua dari BRIN, dan satu dari BPS menyambangi desa itu khusus untuk menilik lebih jauh potensi pengembangannya.
Mewakili timnya, Triyono, peneliti Pusat Riset Kependudukan, Sumber Daya Manusia, dan Ketenagakerjaan BRIN, menyatakan, Sulut adalah daerah yang sangat unggul dalam pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Di sektor kelistrikan, bauran EBT sudah melampaui 30 persen, jauh di atas target nasional.
Namun, biogas belum umum digunakan, termasuk dari babi ternak. Padahal, Sulut adalah daerah dengan populasi babi ternak terbesar kelima di Indonesia, yaitu 426.973 ekor pada 2021. ”Ini (biogas) sebenarnya bisa menjadi program unggulan berkonsep green economy untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Karena itu, timnya akan mendalami proses inisiasi dan penerapan program biogas sampai hari ini, serta pengembangannya ke depan. ”Akan ada working paper berisi hasil wawancara, apa saja kendala dan hambatan yang dialami para stakeholder, baik dari perusahaan, LSM, pemerintah, masyarakat, maupun kelompok penerima manfaat di desa ini,” katanya.
Berbagai isu masih menghadang pengembangan biogas dari kotoran babi ternak, misalnya ketakutan warga akan kemungkinan ledakan besar dari kompor. Ada juga isu terkait pantas tidaknya pupuk kandang jika dikaitkan kaidah keagamaan. ”Namun, jelas ini bisa menjadi sumber energi alternatif unggulan di Sulut,” kata Triyono.