Metamorfosis Babarsari, dari Kampung Menjadi "Gotham City"
Wilayah Babarsari di Kabupaten Sleman menjadi bahan perbincangan setelah terjadinya penganiayaan, perusakan ruko, dan pembakaran sepeda motor. Babarsari pun dijuluki "Gotham City" karena kerap terjadi keributan di sana.
Wilayah Babarsari di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi bahan perbincangan setelah terjadinya penganiayaan yang berujung pada perusakan ruko dan pembakaran sepeda motor. Oleh banyak warganet, Babarsari bahkan dijuluki sebagai Gotham City karena kerap terjadi keributan di daerah tersebut.
Babarsari sebenarnya merupakan nama sebuah kampung di Padukuhan Tambakbayan, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman. Lokasi kampung ini berjarak sekitar 7 kilometer di sisi timur laut pusat Kota Yogyakarta.
”Padukuhan Tambakbayan itu terdiri dari tiga kampung, yakni Tambakbayan, Glendongan, dan Babarsari,” kata Dukuh Tambkbayan, Widodo (60), saat ditemui di rumahnya, Rabu (6/7/2022).
Widodo menuturkan, pada zaman dulu, sebagian besar wilayah Babarsari berupa tegalan atau ladang yang ditanami palawija. Dia menyebut, tegalan di Babarsari waktu itu tidak memiliki sistem irigasi sendiri.
”Dulu di sini itu tanah tegalan yang tandus karena enggak ada pengairannya. Jalan di Babarsari juga tak seluas seperti sekarang, dulu hanya cukup untuk lewat gerobak,” ujarnya.
Baca Juga: Sekelompok Orang Rusak Ruko dan Bakar Sepeda Motor di Babarsari Sleman
Warga Kampung Babarsari, Suwadi (65), mengatakan, sebelum ditinggali penduduk, wilayah Kampung Babarsari masih berupa hutan. Dia menambahkan, pada dekade 1960-an, sejumlah warga dari daerah Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pindah ke Babarsari.
”Dulu di sini masih seperti hutan. Lalu, orang-orang dari Wonosari itu bikin gubuk-gubuk untuk tinggal di sini,” kata Suwadi yang tinggal di Babarsari sejak tahun 1962.
Menurut Suwadi, sebelum dikenal dengan nama Babarsari, kampung tersebut bernama Jangkaran. Namun, nama kampung itu kemudian diubah oleh Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX. ”Yang memberikan nama Babarsari itu adalah Ngarsa Dalem (Sultan) IX,” tuturnya.
Suwadi menyebut, Sultan HB IX memang pernah berkunjung ke Babarsari untuk menanam dua pohon beringin di bumi perkemahan yang ada di wilayah itu. Nama Babarsari makin dikenal setelah bumi perkemahan itu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 September 1981.
Bumi perkemahan itu kemudian diberi nama Bumi Perkemahan Taman Tunas Wiguna. Tempat perkemahan yang dikelola Kwartir Daerah Gerakan Pramuka DIY itu juga dikenal dengan nama Bumi Perkemahan Babarsari. ”Setelah bumi perkemahan ini diresmikan Pak Harto, semua orang nyebut wilayah ini Babarsari,” ujar Suwadi.
Nama Babarsari kemudian juga dipakai sebagai nama jalan raya di dekat Padukuhan Tambakbayan dan sekitarnya. Wilayah di sekitar Jalan Babarsari itu kemudian berkembang pesat karena adanya pembangunan perkantoran dan kampus perguruan tinggi. Pada Desember 1978, misalnya, Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) meresmikan kompleks laboratorium dan perkantoran di wilayah Babarsari.
Baca Juga: Anak Pengacara Diduga Terkena Lemparan Batu dalam Kericuhan di Babarsari
Selain itu, sejumlah perguruan tinggi juga membangun kampus di sekitar Babarsari, misalnya Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, dan Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.
Kehadiran kampus-kampus itu membuat banyak mahasiswa dari luar daerah kemudian tinggal di wilayah Babarsari dan sekitarnya. Kondisi itu membuat indekos dan berbagai tempat usaha yang melayani kebutuhan para mahasiswa bermunculan. Babarsari yang dulu hanya kampung pun berkembang pesat.
Tempat hiburan
Pada periode yang lebih kemudian, wilayah Babarsari semakin ramai karena banyak rumah makan, kafe, tempat karaoke, dan berbagai jenis usaha lain yang muncul. Wilayah Babarsari dan sekitarnya lalu dikenal sebagai pusat tempat hiburan malam di DIY karena banyak kafe dan tempat karaoke di daerah tersebut beroperasi hingga dini hari.
Secara administratif, lokasi tempat-tempat hiburan malam itu sebenarnya tersebar di tiga padukuhan di Desa Caturtunggal, yakni Tambakbayan, Kledokan, dan Seturan. Namun, sebagian wilayah tiga padukuhan itu lebih sering disebut dengan nama Babarsari. Oleh karena itu, nama Babarsari pun menjadi lebih dikenal.
Peristiwa perusakan ruko dan pembakaran sepeda motor pada Senin (4/7/2022) lalu, misalnya, lebih dikenal dengan istilah ”kerusuhan Babarsari” atau ”kericuhan Babarsari”. Padahal, menurut Dukuh Kledokan, Supriyono (59), sejumlah ruko yang dirusak itu secara administratif masuk Padukuhan Kledokan.
Namun, karena lokasi ruko-ruko itu berdekatan dengan Jalan Babarsari, orang lebih mengenal wilayah itu dengan nama Babarsari. ”Memang terkenalnya Babarsari karena jalannya Jalan Babarsari,” kata Supriyono.
Baca Juga: Hormati Proses Hukum Kasus Babarsari, Semua Pihak Diminta Tahan Diri
Supriyono menuturkan, perkembangan pesat wilayah Babarsari dan sekitarnya terjadi sejak tahun 2000-an. Dia menyebut, area yang pertama kali berkembang adalah wilayah Padukuhan Tambakbayan, baru kemudian area Padukuhan Kledokan dan Seturan.
”Mulai tahun 2007 ke atas, perkembangannya pesat sekali karena investor-investor banyak buka usaha di sini. Dulu di sini daerah tegalan yang gersang. Tidak bisa ditanami padi, hanya bisa ditanami singkong dan kacang. Ada juga yang ditanami tebu,” ujar Supriyono.
Supriyono mengakui, selama beberapa tahun terakhir, di wilayah Babarsari dan sekitarnya memang kerap terjadi keributan dan perkelahian. ”Itu sudah seperti agenda tahunan,” katanya. Tak jarang, keributan-keributan itu berujung pada perusakan barang hingga penganiayaan yang menyebabkan korban luka-luka.
Mulai tahun 2007 ke atas, perkembangannya pesat sekali karena investor-investor banyak buka usaha di sini. Dulu di sini daerah tegalan yang gersang
Seringnya terjadi keributan itulah yang membuat Babarsari kerap diperbandingkan dengan Gotham City, kota fiksi yang menjadi tempat tinggal tokoh superhero Batman. Seperti dilukiskan dalam sejumlah film, di Gotham City sering terjadi aksi kejahatan yang dilakukan oleh kelompok kriminal.
Kasus awal Juli
Keributan di Babarsari kembali terulang pada awal Juli lalu. Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah DIY Komisaris Besar Yuliyanto menjelaskan, kasus itu bermula dari keributan antara dua kelompok di sebuah tempat karaoke di wilayah Seturan, pada Sabtu (2/7/2022) dini hari.
Satu kelompok yang dipimpin oleh seorang berinisial L merupakan pelanggan di tempat karaoke tersebut. Sementara itu, kelompok lainnya yang dipimpin oleh K merupakan penanggung jawab keamanan di situ. Dalam peristiwa itu, tiga orang dari kelompok L terluka.
Yuliyanto menambahkan, setelah keributan di tempat karaoke itu, kelompok L melakukan penyerangan di wilayah Jambusari, Sleman, pada Sabtu pagi. Akibat penyerangan itu, ada tiga orang dari kelompok K yang mengalami luka-luka. Dua kasus itu kemudian berujung pada perusakan sejumlah ruko dan pembakaran sepeda motor pada Senin (4/7).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan, polisi telah menetapkan lima orang tersangka dalam rangkaian kasus tersebut. Dari lima orang itu, ada satu orang tersangka yang masih dalam pengejaran. ”Yang empat sudah dilakukan penahanan,” katanya.
Baca Juga: Polisi Tahan 4 Tersangka Terkait Kasus Babarsari, Satu Orang Masih Diburu
Ade menyebut, lima tersangka itu merupakan pelaku yang diduga melakukan kekerasan atau penganiayaan di dua lokasi berbeda. Dua tersangka merupakan terduga pelaku kekerasan di tempat karaoke, sementara tiga tersangka lain adalah terduga pelaku penganiayaan di wilayah Jambusari.
Di sisi lain, tiga kelompok yang terlibat dalam rangkaian kasus di Babarsari juga menyatakan telah sepakat untuk berdamai. Kesepakatan damai itu disampaikan perwakilan tiga kelompok, yakni dari kelompok Maluku, kelompok Nusa Tenggara Timur (NTT), dan kelompok Papua di Markas Polda DIY, Kamis (7/7/2022).
Heterogen
Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Soeprapto, menilai, salah satu faktor yang menyebabkan kerap terjadi keributan atau perselisihan di Babarsari adalah beragamnya masyarakat yang tinggal di wilayah itu. Hal ini karena banyak pendatang dari berbagai wilayah Indonesia yang tinggal di Babarsari, baik untuk kuliah maupun bekerja.
”Kondisi heterogen ini telah membuat kawasan ini menjadi rawan konflik, baik konflik antarindividu maupun kelompok. Bahkan, yang awalnya konflik individu bisa berkembang menjadi konflik kelompok dengan alasan solidaritas suku, agama, ras, maupun asal daerah,” ungkap Soeprapto.
Baca Juga: Tiga Kelompok Terkait Kasus Babarsari Sepakat Berdamai, Proses Hukum Berlanjut
Soeprapto menyebut, keberadaan banyak tempat hiburan yang menjual minuman keras dan buka hingga dini hari di Babarsari juga ikut berpotensi memicu terjadinya keributan. Sebab, saat orang-orang dalam kondisi mabuk, hal sepele pun bisa menjadi pemicu keributan.
Kepala Divisi Humas Jogja Police Watch Baharuddin Kamba menyatakan, rangkaian kasus kekerasan di Babarsari harus diusut secara tuntas oleh pihak kepolisian. Semua pihak yang terbukti melakukan tindak pidana harus diproses hukum. ”Kepolisian sebagai alat negara tidak boleh kalah dengan aksi premanisme dan anarkisme oleh siapa pun,” ujarnya.
Baharuddin menyebut, ke depan, dibutuhkan upaya pencegahan dini agar keributan di Babarsari dan sekitarnya tidak terus terulang. Selain itu, pemerintah daerah juga harus rutin melakukan dialog dengan kelompok pendatang yang tinggal di DIY. Dialog ini penting untuk menjaga kondusivitas DIY dan menghindari konflik antarkelompok.
Baharuddin juga meminta pemerintah daerah melakukan razia secara rutin di tempat-tempat hiburan di DIY. Razia harus dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran aturan yang bisa mendorong terjadinya keributan. ”Jika ada tempat hiburan yang melanggar aturan, harus ditindak tegas,” ungkapnya.