Menjaga Bahasa Cirebon dengan Al Quran
Melalui terjemahan Al Quran ke bahasa Cirebon, akademisi, kiai, pengamat bahasa, hingga budayawan berusaha melestarikan bahasa Cirebon yang kian terkikis zaman.
Selama tiga hari dua malam, akademisi, kiai, pengamat bahasa, hingga budayawan asal Cirebon, Jawa Barat, berkumpul untuk menyusun terjemahan Al Quran berbahasa Cirebon. Melalui kitab suci tersebut, mereka berusaha melestarikan bahasa daerah yang kian terkikis zaman.
Program ini diinisiasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Agama Islam Negeri (LP2M IAIN) Syekh Nurjati Cirebon dengan dukungan Kementerian Agama. Kegiatan yang berlangsung sejak 2021 itu memasuki masa validasi pada Selasa-Kamis (28-30/6/2022) di Kuningan, Jawa Barat.
Pertemuan dimulai sejak pagi hingga tengah malam, pukul 24.00. Tim penerjemah yang berasal dari berbagai latar belakang ilmu mengkaji setiap paragraf, kalimat, bahkan kata. Tidak jarang mereka, termasuk yang berusia lanjut, berdebat definisi kata sebelum akhirnya bersepakat.
Baca juga: Lestarikan Bahasa Daerah, Terjemahan Al Quran Bahasa Cirebon Disusun
Kata kamu yang mengarah kepada Nabi Muhammad SAW, misalnya, tidak menggunakan sira. Alasannya, sira merujuk kepada sebaya atau yang lebih muda. Kata ini juga terkesan pasaran. Forum sepakat memakai Panjenengan Nabi sebagai kata ganti kamu yang merujuk kepada Nabi.
”Perdebatan tadi malam seru. Untuk menyepakati satu kata atau satu ayat, perdebatannya jauh lebih sengit,” ucap pegiat naskah kuno Cirebon Muhamad Mukhtar Zaedin yang juga anggota tim penerjemah, Kamis (30/6/2022). Ia mengakui, ada banyak kendala proses alih bahasa tersebut.
Menurut Mukhtar, hingga kini belum ada rujukan utama kamus bahasa Cirebon. Salah satu yang kerap digunakan adalah karya TD Sudjana. ”Kamus ini tidak cukup. Makanya, kami ambil juga kamus sastra Jawa yang populer. Kalau mentok, kami kembalikan ke teks Al Quran,” katanya.
Bahasa Cirebon cukup unik. Bahasanya bukan Sunda, meski berada di Jabar. Bahasanya juga bukan Jawa, walaupun berbatasan dengan Jawa Tengah. Dialek Cirebon juga berbeda dengan kedua bahasa itu. Itu sebabnya, kata Mukhtar, belum ada kamus standar bahasa Cirebon.
Di sisi lainnya, terdapat kesamaan bahasa Cirebon dengan beberapa kata dalam Al Quran. Mukhtar mencontohkan, kata serowal dalam bahasa Cirebon berasal dari bahasa Arab sirwalun yang artinya celana. Begitu pun kata korsi di Cirebon serupa dengan bahasa Arab kursiyun, ’kursi’.
Di tengah berbagai kendala, tim sepaham untuk mencantumkan bahasa Cirebon madya atau kelasnya pertengahan dalam alih bahasa. ”Artinya, bahasanya tidak pasaran seperti umum, tetapi tidak juga bebasan halus. Tujuannya agar semua kalangan bisa membacanya,” ungkapnya.
Inspirasi banyumasan
Ketua LP2M IAIN Syekh Nurjati Cirebon Ahmad Yani mengatakan, ide penerjemahan Al Quran bahasa Cirebon muncul empat tahun lalu ketika ia dan rekan-rekannya berkunjung ke IAIN Purwokerto. Di sana, mereka takjub menerima Al Quran terjemahan bahasa banyumasan.
”Kami lalu berpikir, Cirebon tidak kalah hebat dengan bahasa daerah lainnya,” ucapnya. Di Jabar, Cirebon menjadi bahasa daerah kedua setelah Sunda. Penuturnya, lanjutnya, sekitar 6 juta orang dan tersebar di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, hingga Karawang.
Oleh karena itu, lanjutnya, penyusunan terjemahan Al Quran bahasa Cirebon bukan semata-mata dakwah dengan kearfian lokal, tetapi juga mengonservasi bahasa daerah. ”Apalagi, di era sekarang, globalisasi. Bahasa umum (Indonesia) diutamakan, bukan bahasa umi (ibu),” ucapnya.
Pihaknya lalu berkeliling menjaring pendapat ke sejarawan hingga kiai di pondok pesantren pada 2019. Rencana alih bahasa itu pun disambut baik. Sayangnya, pandemi Covid-19 menghambat proses penerjemahan pada 2020 sampai pertengahan 2021. Program lalu berlanjut hingga kini.
KH Mahsun Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun Cirebon, menyambut baik rencana alih bahasa itu. ”Bagi pesantren, (terjemahan) ini sangat membantu karena kajian kitab kami di desa dan majelis taklim menggunakan bahasa Cirebon,” ujarnya.
Ia menuturkan, penggunaan bahasa daerah lebih memudahkan masyarakat menyerap pesan keagamaan. Terjemahan doa-doa bahkan turut memakai bahasa setempat. ”Ini cara kami mempertahankan bahasa ibu ke generasi selanjutnya yang lebih akrab dengan bahasa nasional,” katanya.
Pengamat sejarah dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Eva Nur Arofah, mengatakan, penyampaian makna ayat suci Al Quran melalui bahasa daerah sudah dimulai oleh Syekh Nurjati, tokoh perintis dakwah Islam di Cirebon abad ke-14. Beliau juga guru Sunan Gunung Jati.
Sejumlah petuah dari Sunan Gunung Jati, salah seorang dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa, juga memakai bahasa Cirebon. Misalnya, ”Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin”yang terjemahan bebasnya, saya (Sunan Gunung Jati) titipkan tajug (musalah) dan fakir miskin.
Tradisi sorogan, membaca kitab dan artinya secara perseorangan di hadapan guru, juga memakai bahasa Cirebon. Itu sebabnya, bahasa daerah dan Al Quran sangat dekat dengan pondok pesantren setempat. Akan tetapi, lanjutnya, berbagai faktor turut mengancam bahasa daerah.
Terkikis lembut
”Bahasa Cirebon ini perlahan terkikis dengan lembut. Orang dari Jakarta, misalnya, pasti lewat Cirebon kalau mau ke Jawa. Ditambah lagi migrasi. Ini mengikis bahasa daerah,” ungkapnya. Sebagai pelabuhan internasional berabad silam, Cirebon juga dikunjungi beragam negara.
Penerjemahan itu, lanjut Eva, dapat menjadi benteng pelindung bahasa daerah. ”Apakah nanti pembaca memahami atau tidak terjemahan ini? Kalau memahami, berarti ini efektif. Kata-kata yang dikumpulkan juga bisa jadi bibit untuk kamus atau tata bahasa Cirebon,” katanya.
Bahari, Koordinator Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajamen Organisasi Kemenag, mengatakan, program itu merupakan tugas Kemenag dalam menjaga agama dan budaya lokal. Terjemahan itu ditargetkan rampung Oktober 2022.
Hingga kini, Kemenag telah memfasilitasi penyusunan terjemahan Al Quran ke 24 bahasa. Mulai dari bahasa Sunda, Palembang, Banyumasan, hingga Batak. “Tahun ini, kami targetkan (terjemahan Al Quran) bahasa Cirebon, Banyuwangi, Jambi, dan Gayo, Aceh. Kami berharap, pemerintah daerah juga mendukung program ini,” ujarnya.
Pengamat budaya Cirebon Supali Kasim menilai, terjemahan Al Quran berbahasa daerah sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa tertentu. ”Bahasa dan dialek banyumasan, misalnya, dianggap tidak sekeren bahasa Jawa di Yogyakarta,” katanya.
Begitu pun bahasa Cirebon, yang dinomorduakan setelah bahasa Sunda atau dianggap nomor kesekian dari bahasa Jawa. Padahal, katanya, akar bahasa Cirebon juga dari Jawa. Di Yogyakarta dan sekitarnya, bahasa Jawa punya setidaknya empat tingkatan, dari dasar hingga krama inggil untuk orang yang kedudukannya lebih tinggi.
”Di Cirebon, hanya ada dua tingkatan bahasa. Ini untuk orang yang lebih tua atau dihormati. Itu menggambarkan egaliternya warga,” ungkap Supali. Itu sebabnya, lanjutnya, mempertahankan bahasa Cirebon sama saja dengan menjaga kesetaraan di antara warga.
Lalu, apakah terjemahan Al Quran berbahasa Cirebon efektif menjaga bahasa daerah? ”Untuk menjawabnya, apakah itu sesuai kebutuhan? Pesantren tradisional tentu membutuhkannya. Tapi, ada tujuan lainnya, yakni mengembangkan khazanah bahasa Cirebon ke kehidupan lebih luas,” katanya.
Baca juga: Ikhtiar agar Generasi Muda Gemar Berbahasa Daerah