Lindungi Gambut di Kawasan Lindung, Sumsel Revisi RTRW
Pemprov Sumatera Selatan akan merevisi rencana tata ruang wilayah pada akhir 2022. Salah satu tujuannya adalah melindungi kawasan gambut sebagai upaya mitigasi bencana hidrometeorologi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan merevisi rencana tata ruang wilayah pada akhir 2022. Salah satu tujuannya adalah melindungi kawasan gambut sebagai upaya mitigasi bencana hidrometeorologi. Jika tidak diatur, kawasan gambut di Sumsel rentan diokupasi.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Sosialisasi Rencana Tindak Tahunan (RTT) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2021-2024 dan Integrasi RTT ke dalam Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang digelar di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (7/7/2022). Hadir dalam rapat tersebut semua instansi pemerintahan, swasta, dan instansi vertikal terkait.
Dalam pertemuan tersebut, sejumlah instansi terkait mendengarkan rencana Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk melakukan revisi RTRW. Prosesnya akan dimulai dengan pengkajian tahun ini dan ditargetkan diajukan menjadi peraturan daerah pada tahun depan.
Kepala Seksi Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi Sumsel Faustino Do Darmo menerangkan, revisi RTRW perlu dilakukan karena terjadinya dinamika pembangunan di Sumsel. ”Semakin lama, jumlah penduduk akan bertambah. Seiring dengan itu, pembangunan pun akan terus bertumbuh,” ungkapnya.
Dengan begitu, revisi RTRW sangat diperlukan agar pembangunan di daerah bisa lebih terfokus dan tidak melanggar tata ruang yang telah diatur. Selain itu, jangan sampai pembangunan strategis tertunda karena tidak adanya perencanaan. ”Karena itu, keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan,” ucap Faustino.
Terkhusus kawasan gambut, Pemprov Sumsel berkomitmen melindungi ekosistem gambut sesuai peruntukannya. Lahan fungsi ekologis gambut (FEG) tidak boleh digunakan untuk aktivitas yang mengancam ekosistem gambut, misalnya perkebunan atau permukiman.
Pada kenyataannya, berdasarkan data tahun 2016, dari 1,91 juta hektar lahan FEG Lindung di Sumsel, sekitar 19.105 hektar digunakan untuk permukiman dan 8.846 hektar untuk industri. Masih adanya aktivitas di kawasan lindung lantaran perubahan kebijakan dari pemerintah pusat berupa moratorium izin perkebunan dan juga ketidaktahuan masyarakat bahwa di dalam FEG Lindung tidak boleh ada aktivitas yang berisiko mengancam ekosistem.
Karena itulah, ucap Faustino, dibutuhkan sinergi dari semua pihak, terutama pemerintah kabupaten/kota, untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam pengelolaan ekosistem gambut. Revisi RTRW akan dibarengi dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) agar pola pembangunan dapat diintegrasikan untuk kelestarian lingkungan di Sumsel.
Arga Pandi Wijaya, peneliti geoinformatik dari The International Center for Research in Agroforestry(ICRAF), menuturkan, adanya pelanggaran tata ruang disebabkan ketelanjuran. ”Masyarakat atau perusahaan telanjur melakukan aktivitas di kawasan lindung karena memang belum diatur dalam RTRW sebelumnya,” ucapnya.
Menurut dia, saat ini kerentanan ekosistem gambut tergerus dalam dinamika pembangunan sangatlah tinggi. Jika tidak dilindungi, keberadaannya bisa saja terancam atau bahkan rusak. ”Ketika gambut sudah rusak, kawasan tersebut tidak bisa lagi optimal menjalankan fungsinya,” kata Arga.
Di Sumsel, kerap terjadi kebakaran lahan di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Fungsi gambut adalah untuk menyimpan air kala hujan dan memberikan pasokan air kala kemarau. Namun, akibat kerusakan yang masif, fungsi tersebut tidak berjalan optimal. ”Di Sumsel, kerap terjadi kebakaran lahan di musim kemarau dan banjir di musim hujan,” ujarnya.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai peran penting ekosistem gambut bagi lingkungan. Peran itu sebagai penyimpan cadangan karbon, menjaga tata air, menopang kehidupan masyarakat, dan menjaga keanekaragaman hayati.
Dengan luas gambut sekitar 2,09 juta hektar atau 23 persen dari total wilayah, Sumsel memiliki peran penting dalam upaya mencegah bencana akibat perubahan iklim. Karena itu, revisi KLHS RTRW perlu dilakukan segera untuk melindungi gambut agar tidak diokupasi oleh kepentingan lain yang membahayakan ekosistemnya.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Ferdian Krisnanto menuturkan, saat ini risiko kebakaran lahan di Sumsel semakin tinggi, termasuk gambut. Pada Selasa (5/7/2022), terjadi kebakaran di kawasan gambut tipis dengan kedalaman 75 sentimeter di Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir. Luas kebakaran mencapai 10 hektar.
Penyebabnya kelalaian manusia karena api berasal dari pinggir jalan dan ada tumpukan sampah yang habis terbakar. Tidak hanya di Ogan Komering Ilir, kebakaran yang bersifat sporadis juga terjadi di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir dan Muara Enim. Kebakaran lahan di dua daerah itu diperkirakan bertujuan membuka lahan karena di samping kawasan bekas terbakar ada tanaman kelapa sawit.