Akhiri Polemik, Butuh Kekompakan Bangun Aceh
Di luar kepentingan politik, publik perlu kompak mendukung Achmad Marzuki memimpin Aceh. Bila polemik terus digoreng, energi publik justru habis untuk berseteru sementara agenda-agenda pembangunan terabaikan.
Para pihak berpendapat persoalan politik penunjukan Penjabat Gubernur Aceh sudah saatnya diakhiri. Kini saatnya bahu-membahu membangun Aceh.
Akhirnya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh. Dia telah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada Rabu (6/7/2022) di Banda Aceh.
Achmad Marzuki disebut rela pensiun dini dari kariernya sebagai perwira tinggi bintang dua Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat demi menduduki kursi gubernur di provinsi yang pernah dilanda konflik itu.
Penunjukan Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh dipersoalkan oleh kalangan aktivis, salah satunya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.
Pemilihan Marzuki dianggap tidak melalui mekanisme yang tepat sebab sebelumnya dia masih sebagai TNI aktif. Marzuki mengajukan pensiun dini beberapa hari sebelum ditetapkan sebagai penjabat gubernur.
Baca juga: Achmad Marzuki Penjabat Gubernur Aceh, Penguatan Perdamaian dan Penanggulangan Kemiskinan Dinanti
”Peralihan status dari militer menjadi aparatur sipil negara (ASN), Achmad Marzuki, tidak sesuai prosedur. Penangkatan dia sebagai ASN cacat hukum,” kata Ketua Divisi Advokasi dan Kampanye Kontras Aceh Azharul Husna.
Irit bicara
Meski ada gelombang protes, pelantikan Achmad Marzuki berjalan lancar. Dia juga mulai menjalankan aktivitas sebagai penjabat gubernur. Pada Kamis (7/7/2022), Marzuki melantik Penjabat Wali Kota Banda Aceh.
”Sebagai Gubernur, saya memiliki kewenangan membina pemerintahan kota dan kabupaten,” ujar Marzuki saat melantik Bakri Siddiq sebagai Pejabat Wali Kota Banda Aceh.
Marzuki bukan tipikal orang yang suka bicara banyak kepada media. Saat dia menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda 2020-2021, dia jarang tampil ke media.
Usai dirinya dilantik, Marzuki tidak mau berbicara banyak kepada wartawan. ”Nanti, ada waktunya,” ujar Marzuki saat dicegat oleh puluhan wartawan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Marzuki mengatakan, dia perlu mengumpulkan kepala dinas dan aparatur untuk menghimpun berbagai masukan terkait program dan persoalan di Aceh.
”Saya akan kumpulkan dulu SKPA, beberapa sudah ada yang saya lihat. Nanti kita sampaikan kemudian, ya,” ujar Marzuki sambil berlalu ke mobil dinas.
Akhiri polemik
Para pihak di Aceh mulai dari eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), politisi, ulama, hingga akademisi berharap polemik dan persoalan politik penunjukkan penjabat gubernur Aceh harus diakhiri. Mereka mengajak para pihak untuk bahu-membahu membangun Aceh.
Mantan juru bicara GAM, Sofyan Dawood, menuturkan, siapa pun pilihan pemerintah pusat harus dihargai, termasuk mantan militer dan bukan kelahiran Aceh.
Baca juga: Jelang Pelantikan di Aceh, Penunjukan Penjabat Gubernur Aceh Dipertanyakan
”Achmad Marzuki rela pensiun dini dari karier militer, itu harus dilihat sebagai sebuah pengorbanan untuk membangun Aceh,” kata Sofyan.
Sofyan menilai Achmad Marzuki punya pengetahuan mendalam tentang Aceh sebab dia lama bertugas di Aceh. Menurut Sofyan, sebagai mantan militer, Achmad Marzuki punya komitmen kuat menjaga perdamaian Aceh.
”Perdamaian harus kita rawat bersama. Kami mantan GAM komitmen menjaga perdamaian,” ujarnya.
Sofyan mengatakan, Aceh masih jauh tertinggal dari provinsi lain. Padahal, Aceh mendapatkan berbagai keistimewaan dan dana otonomi khusus. Sofyan menilai penggunaan dana otonomi khusus belum tepat sasaran.
”Mantan GAM juga banyak yang hidup melarat. Artinya, mereka tidak merasakan dana otonomi khusus. Saya berharap ada perubahan pada pemerintahan sekarang,” kata Sofyan.
Sofyan berharap Achmad Marzuki menjalankan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Sementara ulama Aceh, Yusni Sabi, menuturkan, di luar kepentingan politik, publik harus mendukung Achmad Marzuki memimpin Aceh. Bila polemik terus digoreng, dia khawatir energi publik habis untuk berseteru sementara agenda-agenda pembangunan terabaikan.
Yusni mendorong penjabat gubernur Aceh untuk merangkul para pihak, termasuk kelompok yang berseberangan. ”Membangun Aceh perlu kekompakan. Saya berharap gubernur dapat membangun komunikasi dengan semua pihak,” katanya.
Yusni mengatakan, persoalan utama di Aceh adalah kemiskinan. Per September 2021, jumlah penduduk miskin di Aceh 850.000 jiwa atau 15,53 persen, naik dibandingkan dengan September 2020, yakni 833.000 jiwa atau 15,43 persen. Selama setahun, jumlah penduduk miskin di Aceh bertambah 17.000 jiwa.
Sementara dana otonomi khusus yang diterima Aceh sejak 2008 hingga 2021 mencapai Rp 92 triliun. Pemberian dana otonomi khusus merupakan butir perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia, 15 Agustus 2005.
”Sedih rasanya melihat Aceh jadi provinsi termiskin di Sumatera, sementara dana otonomi khusus kita cukup besar,” kata Yusni.
Yusni mengatakan, para intelektual kampus dan ulama siap menyumbang pikiran untuk pembangunan Aceh.
Rektor Universitas Teuku Umar Aceh Barat Ishak menuturkan, Penjabat Gubernur Aceh harus fokus pada program peningkatan kesejahteraan warga.
”Usaha kecil menengah di akar rumput harus disentuh oleh pemerintah. Mereka butuh modal dan butuh pendampingan,” kata Ishak.
Meski hanya memimpin selama setahun, Ishak berharap, penjabat gubernur dapat melakukan terobosan pembangunan, bukan hanya menjalankan rutinitas birokrasi.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hendra Budian mengatakan, beberapa persoalan serius akan menjadi pekerjaan besar bagi Achmad Marzuki. Ini, antara lain, isu kemiskinan, persoalan narkoba, kekerasan seksual pada anak, dan penguatan perdamaian.
Baca juga: Menanti Penjabat Gubernur yang Mengerti Aceh