Kecurangan dalam Tata Niaga Karet di Sumsel Lumrah Terjadi
Kecurangan dalam tata niaga karet di Sumatera Selatan sudah lumrah terjadi. Kecurangan yang kerap terjadi itu, misalnya, berupa manipulasi bahan olah karet dan timbangan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS — Kecurangan dalam tata niaga karet di Sumatera Selatan sudah lumrah terjadi. Kecurangan yang kerap terjadi itu, misalnya, berupa manipulasi bahan olah karet dan timbangan. Selain itu, dalam tata niaga karet di Sumsel, harga acuan juga tidak terlalu diperhatikan karena penentuan harga dilakukan oleh tengkulak.
Hal ini disampaikan Analis Madya Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian, Selasa (5/7/2022). Dia menuturkan, sebenarnya dalam proses jual beli karet antara petani dan tengkulak, harga acuan tidak menjadi patokan.
”Penentuan harga hanya satu arah, yakni dari tengkulak saja,” ungkapnya. Asal terjadi kesepakatan antara kedua pihak, proses transaksi pun terjadi. Sistem penentuan harga seperti ini sudah membudaya sejak dulu, tetapi memang tidak pernah ada perselisihan karena kedua pihak sama-sama memaklumi.
Rudi juga menambahkan, dalam tata niaga karet di Sumsel, banyak petani maupun tengkulak bersikap curang dengan memanipulasi bahan olah karet (bokar) dan timbangan. Sebagian petani terkadang mencampurkan getah karet dengan bahan pemberat seperti batu, ranting, kayu, plastik, bahkan sandal untuk membuat bokar lebih berat.
”Terkadang, bokar juga direndam lama agar memiliki kadar air yang tinggi tujuannya ketika ditimbang akan lebih berat,” ucapnya.
Di sisi lain, ujar Rudi, para pengepul atau tengkulak telah mengatur timbangan karena sejak awal tera dari timbangan jarang diawasi. ”Timbangan diatur sedemikian rupa agar hasilnya dapat dimanipulasi,” ujar Rudi.
Rudi menyebut, biasanya selisih berat bokar dengan berat sesungguhnya berkisar 1-2 kilogram (kg). Dia menambahkan, melihat banyaknya manipulasi itu, pemerintah menggalakkan pembentukan unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB).
UPPB akan memfasilitasi jual beli karet kepada agen atau suplier dengan sistem lelang. Sistem ini bertujuan agar praktik manipulasi atau kecurangan pada tata niaga karet dapat dikurangi.
Penentuan harga hanya satu arah, yakni dari tengkulak saja. (Rudi Arpian)
Menurut Rudi, antusiasme petani untuk beralih ke UPPB pun terus bertambah. ”Mereka yang beralih ke UPPB sudah merasakan keuntungannya. Harga karet yang dijual melalui UPPB lebih besar dibandingkan yang dijual melalui tengkulak, yakni sekitar Rp 4.000 per kg,” katanya.
Meski begitu, dalam penjualan melalui UPPB, proses sortir karet menjadi lebih ketat. Bahkan, hanya karet yang berkualitas dan bersih yang bisa dilelang dalam UPPB.
Jerat tengkulak
Ketua UPPB Sumatera Selatan sekaligus petani karet di Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Jumirin, menuturkan, petani sulit lepas dari jeratan tengkulak karena sebagian petani telanjur terjerat utang. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka hanya bisa pasrah ketika harga karetnya ditawar rendah oleh para tengkulak.
Di sisi lain, sebagian petani tertarik menjual karet ke tengkulak karena mereka bisa memperoleh uang secara langsung. Hal ini berbeda dengan penjualan karet melalui proses lelang. ”Kalau lewat lelang, setidaknya mereka harus menunggu sekitar dua hari untuk mendapatkan uang hasil penjualan,” ujar Jumirin.
Selain itu, sistem sortir di UPPB yang sangat ketat juga dinilai memberatkan petani. Sebab, dalam aturan UPPB, petani harus menghasilkan bokar yang berkualitas. ”Bokar harus bersih dan tidak ada bahan tambahan di dalamnya. Bahkan bahan pembekunya pun sudah diatur. Jika ada pelanggaran, bokar tidak akan diterima,” papar Jumirin.
Proses lelang di UPPB menggunakan harga acuan yang sudah dikeluarkan oleh Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) dan Dinas Perkebunan. ”Tujuannya agar dalam proses lelang, petani mengetahui tentang harga karet di pasar internasional,” ucap Jumirin.
Dalam lelang di UPPB, bokar akan diberikan kepada agen yang bisa menawar dengan harga tertinggi. Dengan begitu, harga yang diperoleh petani bisa lebih tinggi dibanding menjualnya kepada tengkulak. ”Perbedaan harganya bisa mencapai Rp 3.000 per kg,” ungkap Jumirin.
Saat ini, harga karet di tingkat UPPB sekitar Rp 12.000 per kg, sedangkan petani yang menjual karetnya ke tengkulak sekitar Rp 9.000 per kg. Namun, jika mengikuti lelang di UPPB, petani akan dibebani beberapa jenis biaya, seperti biaya angkut dari kebun ke tempat pelelangan, biaya keamanan, dan biaya untuk pengurus.
”Biasanya petani dibebankan sekitar Rp 350 per kg untuk operasional UPPB. Dana itu pun sudah disepakati oleh setiap anggota,” kata Jumirin.