Potensi Biogas Sulut Besar, Pemanfaatan Masih Minim
Potensi pemanfaatan biogas dari kotoran ternak, terutama kotoran babi, sangat besar di Sulawesi Utara, tetapi belum maksimal. BRIN dan BPS berupaya mempromosikan energi baru terbarukan ini melalui riset.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Potensi pemanfaatan biogas dari kotoran ternak, terutama babi, sebagai bahan bakar sangat besar di Sulawesi Utara, tetapi belum maksimal. Badan Riset dan Inovasi Nasional serta Badan Pusat Statistik pun berupaya mempromosikan energi baru terbarukan ini melalui riset.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, populasi babi ternak di Sulut pada 2021 mencapai 426.973 ekor, terbanyak kelima se-Indonesia. Namun, baru satu desa yang telah memanfaatkan kotoran ternak tersebut menjadi biogas sebagai alternatif elpiji, yaitu Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara.
Biogas di desa itu berasal dari reaktor biogas yang dibangun di area peternakan babi milik Jantje Sumelang (65) di Jaga (dusun) 14. ”Reaktor dibangun kira-kira tahun 2017. Waktu itu yang menawarkan dari Aqua (PT Tirta Investama Airmadidi),” kata Jantje, Senin (4/7/2022), ketika ditemui di area peternakannya.
Saat ini, ia memelihara sekitar 80 ekor babi, tetapi hanya sekitar 20 ekor babi yang kotorannya digunakan untuk memasok reaktor biogas berukuran 6 meter kubik tersebut. Biogas yang dihasilkan kemudian dialirkan ke rumah-rumah tetangganya melalui jaringan selang. Total ada delapan keluarga yang menikmati biogas tersebut secara gratis.
”Kebetulan, dulu, warga protes karena bau kotoran dari peternakan saya. Namun, sejak mereka dapat biogas, semua senang. Bau kotoran juga hilang,” katanya.
Selain bahan bakar, produksi biogas dari reaktor menyisakan limbah yang dapat diolah menjadi pupuk organik. Jantje mengatakan, warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Simaru Sindo dapat mengambilnya secara gratis.
Erlando Tumangken, ketua lembaga swadaya masyarakat bernama Manengkel Solidaritas yang mendampingi proyek biogas di Desa Tumaluntung, mengatakan, setiap keluarga bisa menghemat sampai Rp 1,48 juta setiap tahun berkat substitusi elpiji dengan biogas. Sebab, produksi harian biogas sebanyak 2,8 meter kubik berat kering setara dengan 1,2 kilogram elpiji per hari.
Penggunaan biogas pun merupakan realisasi konsep ekonomi sirkular. ”Gol besarnya adalah masyarakat memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan ternak, kemudian kotoran ternak dipakai untuk biogas. Limbah biogas itu bisa dijadikan pupuk kandang untuk dipakai lagi di pertanian. Itu seperti roda yang berputar,” katanya.
Biogas yang berlimpah pun dapat dimanfaatkan untuk membangun industri rumah tangga di desa. Di Tumaluntung, misalnya, Manengkel Solidaritas telah membimbing delapan keluarga penerima manfaat untuk membuat produk seperti keripik pisang. ”Pendapatan warga bisa meningkat hingga 50 persen berkat biogas,” ujarnya.
Kendati begitu, pemanfaatan biogas dari peternakan babi belum diminati di Sulut. Bahkan, ia menilai pelaksanaannya di Desa Tumaluntung pun masih cenderung kecil. Sebab, dari 56 kandang ternak babi yang ada di desa itu, hanya dua yang dimanfaatkan untuk memproduksi biogas.
Hingga kini, belum ada data pemanfaatan biogas dari kotoran ternak di Sulut. Inisiasi program pun belum masif, misalnya biogas dari tenak sapi di Desa Poopo, Minahasa Selatan, oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulut pada 2021. Pada 2018, Pemkot Manado juga membangun pembangkit listrik tenaga biogas di Rumah Potong Hewan Bailang.
Kami mencoba mencari keterkaitan biogas dengan kesejahteraan masyarakat.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Sumber Daya Manusia, dan Ketenagakerjaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Triyono, mengatakan, biogas sebenarnya bisa menjadi program unggulan untuk mengembangkan ekonomi hijau. Namun, terkait pemanfaatannya yang belum masif, ia menyatakan diperlukan kajian di tingkat akar rumput.
”Kami mencoba mencari keterkaitan biogas dengan kesejahteraan masyarakat. Perlu dicari tahu, bagaimana persepsi masyarakat tentang energi terbarukan, terkait limbahnya, serta bagaimana pengaruhnya pada pendapatan mereka jika sudah menggunakan,” katanya.
Riset kualitatif terkait ekonomi hijau ini akan ia laksanakan hingga pertengahan Juli bersama dua rekannya, masing-masing dari BRIN dan BPS. Hasil penelitian, lanjut Triyono, akan dipaparkan di pertemuan puncak G20 di Bali untuk menunjukkan praktik ekonomi hijau di Indonesia.
Selain itu, ada pula dokumen rekomendasi kebijakan (working paper) untuk memaparkan keunggulan serta kendala dan hambatan yang menghadang pemangku kepentingan. ”Pemanfaatan biogas sebagai energi baru terbarukan (EBT) ini penting untuk diteliti, apalagi Sulut adalah daerah yang telah melampaui target nasional dalam pemanfaatan EBT,” katanya.
Pemanfaatan EBT di Sulut baru dominan di sektor energi listrik. Kepala Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkit (UPDK) Minahasa PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Andreas Arthur Napitupulu mengatakan, sistem kelistrikan Sulut dan Gorontalo telah berkontribusi dalam bauran EBT sebesar 33,16 persen.
Kontribusi ini disumbang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong sebesar 80 megawatt (MW) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II sebesar 51 MW. Adapun di daerah Kepulauan Sangihe, PLN juga menyediakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan daya terpasang sebesar 1.500 kilowatt peak, atau 25,72 persen dari kebutuhan di kabupaten itu.
”Kami terus akan selalu mendukung transformasi energi dengan ekspansi EBT. Sesuai RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) 2021-2030 nasional, kita punya target baruan EBT sebesar 51 persen dari total seluruh pembangkit yang akan dibangun,” kata Andreas.