Mahalnya Upaya Mengembalikan Satwa Dilindungi ke Alam Liar
Upaya perlindungan satwa liar bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan banyak energi, waktu, dan biaya untuk terus menjaga keberadaan mereka di alam demi keseimbangan ekosistem kita.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Satu demi satu burung-burung berbulu hijau dan berparuh jingga terang melesat ke angkasa, meninggalkan kotak-kotak kayu yang telah mengurungnya berjam-jam. Hadirin pun bersorak, mengiringi pengembalian makhluk-makhluk anggun bersayap itu ke alam lepas, di mana mereka seharusnya berada.
Sebanyak 15 burung itu dilepasliarkan di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (1/7/2022) pagi. Satwa-satwa liar endemik Sulawesi itu terdiri dari 8 ekor perkici dora (Trichoglossus ornatus), 2 serindit sulawesi (Loriculusstigmatus), dan 3 betet kelapa punggung biru (Tanygnathussumatranus).
Momen yang hanya berlangsung singkat itu terasa melegakan. Selama tujuh bulan, para pegiat lingkungan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut dan Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki merawat burung-burung itu untuk menghapus ”trauma” domestikasi dan memulihkan sifat liarnya.
”Sebagai institusi yang diberikan tanggung jawab pengendalian dan pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar, kami terus berupaya mengembalikan satwa-satwa hasil sitaan dan hasil penyerahan sukarela dari masyarakat ke habitatnya. Upaya ini sangat penting untuk meningkatkan populasi satwa liar di alam,” kata Kepala BKSDA Sulut Askhari Daeng Masikki.
Menurut Askhari, TWA Batuputih dipilih dengan mempertimbangkan distribusi alami satwa tersebut. ”Habitat ini sesuai dan ketersediaan pakan yang cukup serta aman dari ancaman dan gangguan,” katanya tentang TWA yang merupakan bagian dari Cagar Alam Tangkoko Batuangus itu.
Ketiga spesies burung yang dilepasliarkan hari itu termasuk satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.106/MenLHK/Setjen/Kum.I/12/2018. Namun, masyarakat penggemar satwa dan para pemburu selalu menemukan cara untuk menangkap, memperdagangkan, dan memeliharanya untuk kesenangan sendiri.
Karena itu, kata Askhari, menjelang akhir 2021, BKSDA Sulut menggelar operasi pemberantasan peredaran satwa liar, mula-mula dengan mengumpulkan informasi tentang warga yang memelihara satwa liar, kemudian menginspeksi lokasi domestikasi secara mendadak. Saat itulah ke-15 burung perkici dora, serindit sulawesi, dan betet kelapa punggung biru itu diselamatkan.
Kemudian, mereka dibawa ke PPS Tasikoki untuk direhabilitasi. Avivah Vega Meidienna, dokter hewan di PPS tersebut, menyatakan, kondisi 15 burung itu secara fisik tidak mengalami abnormalitas. ”Namun, ada beberapa yang sakit dan mengalami kerusakan bulu. Mereka juga rawan trauma akibat packing dan perjalanan,” katanya.
Selama tujuh bulan, burung-burung itu beradaptasi kembali dengan alam liar di dalam kandang habituasi yang didesain menyerupai hutan dan cukup luas untuk mereka terbang leluasa. Di sana, burung-burung itu diberi pakan yang sama dengan situasi di hutan, bukan pakan yang biasa diberikan manusia ketika mereka dikurung dalam kandang.
”Kami juga tes mereka untuk terbang dalam jarak tertentu. Dari pihak kami pun tidak diperkenankan mendekati mereka untuk mengurangi kontak dan ketergantungan terhadap manusia, sehingga mereka tidak lagi jinak,” kata Avivah.
Keseimbangan alam
Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Suharyono menyebut pelepasliaran 15 burung yang juga ia hadiri itu dilakukan terutama untuk melestarikan satwa liar. Namun, hal yang tak bisa dilupakan adalah memberikan contoh kepada masyarakat.
”Kegiatan pelepasliaran ini untuk mengedukasi masyarakat agar tidak memelihara, memburu, dan memperdagangkan satwa liar. Itu ilegal. Apalagi, satwa liar berperan aktif untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan yang juga menyangkut kehidupan kita,” kata Suharyono.
Kendati begitu, pelepasliaran tidak bisa sembarangan. Satwa-satwa liar yang telah lama dipelihara telah kehilangan sifat aslinya serta kemampuan untuk bertahan hidup di alam liar. Di situlah peran PPS Tasikoki, sebagai satu-satunya lokasi rehabilitasi satwa liar di Indonesia bagian timur, menjadi penting.
Namun, kata Avivah, proses ini memakan waktu panjang dan biaya yang tak sedikit. Jika dinominalkan, biaya rehabilitasi seekor burung berukuran kecil dengan pakan yang cenderung murah dan mudah didapat, seperti buah, biji, serta serangga, bisa mencapai Rp 4 juta-Rp 5 juta selama enam bulan.
”Jika obat-obatan, suplemen, pemeriksaan laboratorium, serta tenaga untuk perawatan dan pengamatan perilaku satwa juga dihitung, nominalnya bisa lebih besar daripada biaya pakannya sendiri,” kata Avivah. Perlu diingat juga, PPS Tasikoki tidak hanya merawat satu atau dua burung, tetapi ratusan satwa dilindungi dari berbagai jenis spesies.
Namun, biaya itu memang diperlukan untuk memastikan satwa-satwa dilindungi, seperti serindit sulawesi, perkici dora, dan betet kelapa punggung biru, dapat memainkan perannya dalam keseimbangan ekosistem. Mereka berperan penting dalam menyebar biji-bijian yang nantinya akan tumbuh sebagai tanaman baru.
Mereka pun berperan penting dalam proses penyerbukan karena mengonsumsi nektar.
”Beberapa jenis biji tanaman butuh proses kimiawi dalam pencernaan hewan, termasuk burung, untuk berkembang. Di samping itu, burung juga berperan mengurangi serangga yang berpotensi menjadi hama karena itu bagian dari rantai makanan dalam ekosistem. Mereka pun berperan penting dalam proses penyerbukan karena mengonsumsi nektar,” kata Avivah.
Itulah mengapa, pemberantasan pemeliharaan, perburuan, dan perdagangan satwa liar begitu penting dilakukan, demikian pula pelepasannya kembali ke alam. Berbagai kampanye telah dilancarkan untuk mengubah pola pikir masyarakat dan membangkitkan kesadaran bahwa satwa liar berhak hidup bebas di alam.
Pemeliharaan satwa liar, kata Avivah, juga berpotensi menimbulkan berbagai bahaya, seperti penyebaran penyakit zoonosis. ”Potensi konflik dengan manusia juga besar, apalagi jika hewan yang dipelihara sudah besar, ganas, dan suka menyerang orang. Kalau pemilik sudah tak mampu menghidupi satwa tersebut, mau dipindahkan ke mana?” katanya.
Sayangnya, perubahan merupakan impian yang masih jauh dari kenyataan. Menurut Avivah, satwa liar, terutama dari wilayah timur Indonesia yang berada di sisi dalam Garis Wallace, masih kerap dianggap sebagai trofi dan koleksi untuk dipamerkan. Bahkan, semakin banyak pemengaruh (influencer) dan oknum-oknum berseragam yang kerap memburunya.
”Satwa-satwa liar ini diambil saat oknum-oknum ini sedang bertugas di luar wilayah asal mereka kemudian dibawa pulang. Selama hukum sulit menjangkau mereka, perubahan akan sulit dicapai dalam waktu dekat,” kata Avivah.