Satgas Konflik Satwa di Aceh Susun Strategi Mitigasi
Satgas penanganan konflik satwa lindung di Aceh berupaya memitigasi konflik secara bersama, terstruktur, dan komprehensif.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
KOMPAS/ ZULKARNAINI
Bayi dan induk gajah sumatera di Trumon, Aceh Selatan, Aceh, Rabu (10/5/2017).
BANDA ACEH, KOMPAS — Satuan tugas penanganan konflik satwa lindung di Aceh menyusun strategi untuk menekan konflik satwa dengan manusia. Keberadaan satgas diharapkan menjadi penggerak dalam misi menyelamatkan satwa lindung di Aceh.
Satgas penanganan konflik satwa dibentuk melalui surat keputusan Gubernur Aceh pada Oktober 2020. Namun, butuh waktu hingga dua tahun untuk melakukan konsolidasi dan menyusun rencana strategi aksi.
Satgas tersebut diketuai oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Sementara para anggota terdiri dari perwakilan pemerintah provinsi dan pemkab/pemkot, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan aparat penegak hukum.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto dalam rapat koordinasi tim satgas, Kamis (30/6/2022), menuturkan, selama ini penanganan konflik telah dilakukan. Namun, penanganan masih parsial dan masing-masing pihak bekerja sendiri.
POLRES ACEH TIMUR
Dua dari tiga ekor harimau sumatera yang mati karena terkena jerat sling di Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Minggu (24/4/2022).
Menurut Agus, dengan adanya satgas, upaya mitigasi konflik dapat dilakukan bersama, terstruktur, dan komprehensif. ”Saat ini penanganan konflik masih parsial. Padahal, jika dikerjakan secara bersama, akan lebih mudah,” katanya.
Dia mencontohkan, salah satu strategi mencegah konflik gajah adalah dengan menyesuaikan jenis tanaman. Dia berharap dinas pertanian dan perkebunan tidak menyalurkan bibit tanaman yang disukai gajah untuk kawasan yang rawan konflik antara gajah dan manusia. Sebab, apabila ditanami tanaman yang disukai gajah, sama halnya mengundang konflik.
Dengan adanya koordinasi di dalam tim satgas, setiap lembaga yang terlibat akan melakukan program pembangunan dengan mempertimbangkan konflik satwa. Selain itu, alokasi anggaran penanganan konflik satwa oleh para pihak juga akan saling menyesuaikan dan saling mendukung aktivitas satu sama lain.
”Di Pidie ada desa yang menggunakan dana desa untuk pengadaan pagar kejut. Namun, pagar kejut ini harus dirawat. Karena itu, butuh dukungan pemerintah kabupaten. Artinya, kita saling melengkapi,” kata Agus. Dia menambahkan, penanganan konflik satwa lindung harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak ada lubang untuk menciptakan konflik berulang.
Konflik satwa masih menjadi persoalan serius di Aceh. Para petani terus mengalami kerugian karena tanaman rusak diamuk gajah. Daerah konflik gajah di antaranya adalah di Bener Meriah, Aceh Timur, Pidie, dan Aceh Jaya.
Sementara, di Aceh Selatan, konflik harimau semakin masif. Harimau liar bukan hanya berkeliaran di dalam perkebunan, melainkan sesekali juga masuk ke kawasan permukiman. Pada Mei 2022, seorang petani di Aceh Selatan terluka kakinya setelah diterkam harimau saat sedang berada di kebun.
Agus menuturkan, sejumlah upaya mitigasi konflik sudah dilakukan oleh BKSDA Aceh dan lembaga mitra. Ini mencakup pembangunan pagar kejut, pembangunan parit, pemasangan kalung deteksi pada gajah dan harimau, penguatan pusat mitigasi, dan edukasi kepada warga.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengatakan, kini warga menanti aksi nyata tim satgas untuk menekan konflik satwa. Jika tidak dapat menekan konflik, petani akan terus merugi dan keberlangsungan hidup satwa lindung akan terus terancam.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Para pengunjung Conservation Respon Unit Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, memberikan makanan untuk gajah jinak, Kamis (3/3/2022).
”Satgas yang sudah dibentuk harus jelas akan berbuat apa. Warga menanti aksi konkret,” kata Daud. Salah satu pemicu konflik satwa di Aceh adalah karena kerusakan hutan, baik alih fungsi untuk perkebunan maupun pembalakan liar. Oleh sebab itu, pemulihan habitat satwa mutlak harus dilakukan.
Pemulihan habitat akan dilakukan melalui skema kawasan ekosistem esensial (KEE). Areal hutan yang masuk KEE akan dikelola dengan mengedepankan kepentingan satwa lindung. ”Nilai-nilai kearifan lokal juga perlu digali kembali untuk memperkuat mitigasi,” kata Daud.
Bupati Aceh Selatan Amral mengatakan, pemerintah harus merespons cepat setiap terjadi konflik satwa agar warga percaya kepada pemerintah. Sebaliknya, jika diabaikan, warga cenderung mengambil jalan lain, seperti memasang jerat dan meracuni satwa lindung. ”Ketika harimau mati, pemerintah cepat turun menangani. Namun, ketika warga yang jadi korban, respons lambat,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK Wilayah Sumatera Subhan menuturkan, kematian satwa lindung terus terjadi. Sejak September 2021 hingga Mei 2022, pihaknya telah menangani lima kasus perdagangan kulit harimau. ”Jika ini kita biarkan, suatu saat harimau sumatera punah seperti harimau jawa,” katanya.
Dia pun mengajak tim satgas untuk bersama-sama bekerja keras menekan konflik satwa sehingga warga dapat hidup tenang dan satwa terselamatkan.