KLHK mendorong pemerintah daerah segara menindaklanjuti usulan masyarakat adat Kinipan untuk mendapatkan pengakuan dan penetapan hutan adat. Pemerintah pusat bakal membantu pemerintah daerah untuk mencapainya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Pencadangan Hutan Adat Kinipan dengan luas 6.825 hektar di Lamandau, Kalimantan Tengah. Pencadangan hutan adat itu berada di kawasan hutan lindung, sedangkan kawasan yang menjadi sumber konflik belum masuk dalam peta indikatif buatan pemerintah.
Hal itu terungkap dalam peluncuran film Perempuan Penjaga Laman Kinipan dan diskusi publik dengan tema ”Kinipan dalam Dilema Pengakuan Masyarakat Hukum Adat” yang diselenggarakan oleh Save Our Borneo (SOB) di Palangkaraya, Kamis (30/6/2022).
Hadir sebagai penanggap dalam kegiatan itu Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Muhammad Said, Penyuluh Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalteng Wilson, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR) Heriamariaty, dan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing.
Saat ini Effendi Buhing sedang di Jakarta menerima SK Pencadangan Hutan tersebut di KLHK. Ia ditemani beberapa warga Kinipan, termasuk Kepala Desa Kinipan Willem Hengki yang baru-baru ini diputus bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Palangkaraya dalam kasus dugaan korupsi dana desa.
”(SK) ini merupakan angin segar buat kami. Meski pemerintah daerah belum mengakui kami, SK ini menandakan bahwa kami benar dan pemerintah pusat mengakuinya meski di dalam SK ini masih banyak hal yang harus dibicarakan lagi,” kata Buhing.
Kami selama ini berupaya mendorong, bahkan ke sana untuk mendengarkan langsung keluhan masyarakat. Kami juga sudah menyurati Bupati Lamandau untuk segera menindaklanjuti permohonan masyarakat.
Menurut dia, SK tersebut hanya menetapkan kawasan pencadangan hutan di kawasan hutan di luar konsesi perusahaan swasta perkebunan sawit dan perusahaan kayu yang selama ini memicu konflik dengan masyarakat.
Seharusnya, lanjut Buhing, kawasan di dalam konsesi itu yang dikembalikan ke masyarakat karena selama ini ditolak keberadaannya.
Diungkap bahwa dalam SK pencadangan hutan tersebut KLHK menggunakan peta indikatif yang tidak sesuai dengan peta partisipatif yang dibuat warga bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2016.
Perbedaannya, dalam peta indikatif pemerintah tersebut luas kawasan hutan adat Kinipan hanya 6.285 hektar, sedangkan dalam peta partisipatif yang dibuat warga luasnya kurang lebih 16.000 hektar.
Konflik panjang itu dimulai saat penolakan warga pada 2005 hingga saat ini. Selama itu, Effendi Buhing sudah pernah ditangkap bersama lima orang lainnya dengan tuduhan pencurian karena berupaya menghalangi alat berat perusahaan membuka hutan, begitu juga Kepala Desa Kinipan yang dituduh korupsi, tetapi bebas di pengadilan.
”Persoalannya menurut pemerintah itu adalah soal batas dengan Desa Karang Taba. Kami membuka jalan, ayo duduk bersama menyelesaikan ini, tetapi niat dari pemerintah daerah tidak ada. Itu saja persoalannya,” tutur Buhing.
Mendapatkan pengakuan
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Said mengatakan, SK Pencadangan Hutan Adat di Kinipan merupakan upaya pemerintah pusat memfasilitasi masyarakat Kinipan dalam mendapatkan pengakuan dan penetapan hutan adatnya.
”Dalam SK itu terdapat poin-poin yang mendorong pemerintah daerah untuk memfasilitasi masyarakat adat, seperti melakukan identifikasi dan verifikasi lapangan,” kata Said.
Said menjelaskan, meskipun bisa mengeluarkan SK Pencadangan Hutan Adat di Kinipan, wewenang untuk menetapkan dan mengakui hutan adat juga masyarakat hutan adat (MHA) ada di pemerintah daerah, bukan di pusat.
”Kami selama ini berupaya mendorong, bahkan ke sana untuk mendengarkan langsung keluhan masyarakat. Kami juga sudah menyurati Bupati Lamandau untuk segera menindaklanjuti permohonan masyarakat,” ujar Said.
Heriamariaty menilai masyarakat di Kinipan sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan penetapan pengakuan MHA dan hutan adatnya. Syarat itu bisa dilihat dari sejarah budaya Kinipan dan wilayah MHA yang merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas. Bahkan, masyarakat masih beraktivitas di dalam kawasan hutan itu untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
”Negara sebenarnya sudah mengakui hukum-hukum adat dalam konstitusi, tetapi tetap dibutuhkan syarat pendukung yang harus dipenuhi masyarakat dengan difasilitasi pemerintah,” ujar Heriamariaty.
Melihat hal itu, Wilson dari DLH Provinsi Kalteng yang masuk dalam panitia pembentukan MHA Provinsi Kalteng mengungkapkan, sampai saat ini belum semua panitia pembentukan MHA terbentuk di kabupaten dan kota di Kalteng. Hal itu juga menjadi penghambat karena panitia MHA merupakan syarat untuk mengakui MHA di daerah.
”Di Kinipan, karena masuk dalam kawasan hutan, maka membutuhkan peraturan daerah. Sampai saat ini yang baru dibahas itu adalah perda tata cara pengakuan MHA. Masih dalam proses, kami juga terus mendorong supaya hak masyarakat bisa diberikan,” tutur Wilson.