Selfina, Pengukir Senyum Anak Bibir Sumbing
Selfina (41) mengukir jalan sepi untuk menjangkau anak atau orang dengan bibir sumbing agar dioperasi. Jalan itu mengembalikan senyum anak-anak untuk meraih impiannya dan bersosialisasi tanpa keminderan.
Suatu hari pada 2016, Selfina (41) menemukan fakta yang menyayat hati. Widya (14) di Desa Vatu Bula, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang memiliki bibir sumbing tak mau sekolah karena minder dengan kondisinya. Selfina mencari informasi untuk membantu anak tersebut. Tak lama kemudian, Widya menjalani operasi bibir sumbing gratis.
Widya tak lagi minder dan mengenyam pendidikan. Saat ini, ia duduk di bangku kelas II sekolah menengah pertama. Sejak saat itu, hati Selfina terpaut dengan anak dan orang bibir sumbing.
Pengalaman dengan Widya menjadi awal jalan Selfina mengabdi kepada anak dan orang bibir sumbing atau celah bibir dengan menjadi pekerja sosial (social worker) lembaga amal penanganan orang bibir sumbing Smile Train Indonesia Wilayah Sulteng. Widya yang Selfina jumpai saat mengajar secara sukarela bersama Komunitas Banua Pengajari yang didirikannya hanya satu dari banyak anak yang karena kondisinya mengalami keminderan dan perundungan di masyarakat.
Setelah menangani Widya pada 2016, Selfina yang biasa disapa Cepi bergabung dengan Yayasan Pusat Pelayanan Paripurna Penderita Celah Bibir dan Langit-langit (P4CBL) Siti Masyithah, Palu. Yayasan yang dipimpin dokter spesialis bedah mulut Mohammad Gazali itu menjadi mitra lembaga amal Smile Train Indonesia untuk mengoperasi orang dengan bibir celah secara gratis sejak 2008 di Sulteng.
Bibir sumbing atau celah bibir adalah kelainan bawaan yang ditandai adanya celah di bibir. Celah bisa muncul di tengah, kiri, atau kanan bibir. Umumnya, celah bibir disertai celah langit-langit mulut.
Berbagai referensi menyebutkan bibir sumbing terjadi karena jaringan yang membentuk bibir pada janin tidak menyatu sempurna. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga kuat akibat kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Ibu dari keluarga dengan riwayat bibir sumbing berisiko melahirkan bayi bibir sumbing.
Operasi bibir sumbing dan celah langit-langit dilakukan untuk menyembuhkan atau memperbaiki celah sekaligus mengembalikan estetika wajah seseorang. Di Sulteng, pada umumnya pasien bibir sumbing juga memiliki celah langit-langit sehingga membutuhkan operasi hingga empat kali.
Cepi mengatakan, dengan intervensi medis, sumbing atau celah yang ada sudah tidak kentara lagi atau sembuh. Itu terutama jika operasi dilakukan dari kecil, mulai umur tiga bulan.
Karena penanganan orang dengan bibir sumbing tak cuma pada intervensi medis dengan operasi, Smile Train Indonesia lalu mengangkat Cepi menjadi pekerja sosial lembaga tersebut untuk Sulteng sejak 2018. Sedari itu pula tamatan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Tadulako, Palu, itu masuk ke kampung-kampung menyebarkan informasi dan edukasi penanganan orang bibir sumbing. Karena tak punya staf atau pekerja sosial lain, ia sering bertualang dengan suaminya, Mohammad Muhsen Saleh (35).
”Kadang kami nginap di tenda kalau di tempat yang didatangi tak ada penginapan. Nikmat dan seru sekali,” ujar anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bambang Daeng Matoru (alm) dan Suhartini (alm) ini di Palu, Sulteng, Jumat (24/6/2022).
Di Sulteng, Smile Train telah mengoperasi 1.700 orang dengan bibir sumbing sejak 2008. Mereka tersebar, antara lain, di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Tolitoli, Parigi Moutong, Morowali, dan Poso. Operasi sepenuhnya dibiayai Smile Train Indonesia bermitra dengan yayasan dan rumah sakit lokal sehingga gratis untuk orang dengan celah bibir. Tak hanya digelar di Palu, operasi juga dilakukan di kabupaten agar menekan biaya yang dikeluarkan orangtua.
”Banyak orangtua, terutama di kampung-kampung, tidak percaya ada operasi bibir sumbing gratis sampai mereka terlibat. Ini yang menjadi tugas kami menyebarkan informasi lebih masif agar makin banyak orang terjangkau,” ujar Cepi.
Selain keterbatasan informasi, sejumlah orangtua takut dengan operasi atas anaknya yang bibir sumbing. Ada orangtua yang takut darah. Tak sedikit pula yang salah persepsi. Mereka berpikir operasi bibir sumbing dan celah langit berarti mengambil daging dari anggota tubuh lain untuk ditambal di celah tersebut. Padahal, operasi dilakukan murni untuk memperbaiki celah yang ada di bibir dan langit-langit mulut. ”Operasi pun berstandar internasional sehingga tak ada efek fatal,” kata Cepi.
Operasi selama ini tak berefek medis fatal. Tindakan medis berjalan baik. Hanya ada satu kasus pendarahan pascaoperasi. Kejadian itu pun cepat ditangani sehingga tidak berlangsung lama.
Untuk operasi bibir sumbing, Smile Train mengikuti prosedur standar melibatkan dokter spesialis bedah mulut dan bedah plastik. Di Palu, ada tiga dokter yang memiliki kualifikasi tersebut dan bermitra dengan Smile Train. Kadang dokter spesialis didatangkan dari Makassar, Sulawesi Selatan, jika banyak pasien yang dioperasi atau dokter yang ada berhalangan. Selain kedua dokter spesialis tersebut, operasi melibatkan pula dokter spesialis anestesi. Ini karena saat operasi berlangsung, pasien dibius.
Sebelum operasi dilakukan, pasien juga menjalani penapisan (screening) kesehatan untuk mendeteksi halangan, baik sakit yang ringan maupun berat. Jika ditemukan sakit saat diperiksa, operasi ditunda sampai kondisi pasien prima atau penyakit terkontrol.
Selain gambaran buruk terkait operasi, orangtua anak bibir sumbing umumnya menerima begitu saja kondisi anaknya. Biaya menjadi kendalanya. Secara umum, dibutuhkan sekitar Rp 20 juta untuk sekali operasi bibir sumbing. ”Begitu kami menyebarkan informasi operasi gratis, banyak orangtua yang tidak percaya. Informasi seperti ini yang harus sampai ke mereka,” tutur Cepi.
Saat ini sudah ada 20 orang untuk dioperasi pada Agustus 2022 di Kabupaten Banggai Laut. Operasi akan digelar di Banggai, ibu kota Banggai Laut. Operasi gratis terbaru digelar di Palu pada 3-4 Juni 2022 dengan jumlah pasien 15 orang.
Tak ada data pasti jumlah anak atau orang dengan bibir sumbing di Sulteng. Yang jelas, hampir setiap bulan ada operasi yang digelar Smile Train dengan jumlah 10-20 orang.
Mengubah persepsi
Berdasarkan penelusuran selama ini, orang dengan bibir sumbing pertama-tama mendapatkan perlakuan tak adil dari lingkungan terdekat mereka (keluarga). Sejumlah keluarga menganggap bibir sumbing sebagai kutukan sehingga diterima begitu saja tanpa ada usaha untuk menyembuhkannya. Bahkan, sejumlah orangtua menjadikan kondisi itu sebagai perundungan ”abadi” dengan menamai anak mereka secara asosiatif dengan kondisinya.
Ada anak yang diberi nama Umbing. Umbing tak lain bibir sumbing. Ditemukan pula orangtua memberikan nama anaknya dalam bahasa daerah yang menunjukkan kondisinya tersebut. Perundungan juga antara suami dan istri yang berdampak pada perceraian.
”Perundungan terhadap anak atau orang dengan bibir sumbing dilakukan orang-orang yang seharusnya menerima mereka, lingkungan terdekat mereka. Seharusnya mereka diterima seperti anak lainnya dan dicarikan jalan keluar atas kondisinya,” tutur Cepi.
Perundungan di lingkungan lebih luas pun menggelinding sampai anak-anak atau orang bibir sumbing minder. Banyak anak yang tak mau berteman dengan anak yang berbibir sumbing. Mereka juga sering diejek karena kondisinya tersebut.
Cepi mengatakan penyebaran informasi dan edukasi agar masyarakat menerima dan berlaku adil terhadap anak atau orang celah bibir sangat diperlukan. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukan apa saja seperti halnya dilakukan kebanyakan orang karena mereka bukan penyandang cacat.
Di Sulteng, selangkah demi selangkah kesadaran masyarakat sudah tumbuh. Di Palu, orangtua yang anaknya telah dioperasi membentuk Komunitas Anak Istimewa. Mereka menjadi garda terdepan untuk menyebarkan informasi dan edukasi agar masyarakat tak merundung anak atau orang dengan bibir sumbing. ”Mereka juga yang melaporkan ke Smile Train jika ada anak bibir sumbing atau calon bayi yang terdiagnosis bibir sumbing agar bisa ditangani lebih awal,” ucap Cepi.
Selain itu, Cepi yang bekerja sendiri untuk Smile Train Wilayah Sulteng menggandeng sejumlah komunitas guna membantu kebutuhan orangtua atau keluarga yang berasal dari tempat jauh yang anaknya dioperasi di Palu. Komunitas dilibatkan untuk menyiapkan penginapan dan meringankan biaya transportasi orangtua. Rumah Cepi di Palu juga sering menjadi tempat menginap orangtua dan anak yang dioperasi.
Pada awal 2022, Smile Train Sulteng menggandeng pesepak bola asal Palu, Witan Sulaeman, dengan mengampunya menjadi Duta Senyum. Dengan popularitasnya, Witan bisa berkampanye agar orangtua mendapatkan informasi operasi gratis bagi anak mereka yang memiliki celah bibir. Jalan itu juga menjadi kampanye agar masyarakat berhenti merundung anak atau orang bibir sumbing.
”Kami sudah merangkul berbagai lembaga dan korporasi untuk menyosialisasikan penanganan gratis atas anak bibir sumbing dan kampanye bahwa anak-anak tak seharusnya bibir sumbing. Kalaupun mengalaminya, mari bersama kami untuk ditangani,” ujarnya.
Salah satu tantangan penanganan pascaoperasi bibir sumbing saat ini adalah tak adanya terapis wicara. Terapis wicara diperlukan agar orang yang telah dioperasi bisa mengucapkan kata dengan jelas dan tepat, bukan sengau. Selama ini, Cepi melakukannya sendiri dengan berpedoman pada kurikulum Smile Train. Dia juga mendorong keluarga dan anak atau orang telah dioperasi untuk melakukan terapi sendiri.
Membantu
Cepi bekerja dalam sepi. Ia tak membawa rombongan ketika menyambangi kampung-kampung untuk mendapatkan informasi terkait anak atau orang dengan bibir sumbing sekaligus edukasi agar masyarakat tak mengucilkan mereka dari pergaulan sosial. Paling banter ia ”bertualang” bersama suaminya dengan sepeda motor.
Cepi mengaku senang dengan aktivitasnya sebagai pekerja sosial. Bekerja dengan menyambangi kampung-kampung sesuai dengan jiwa petualangnya. ”Saya niatnya mau membantu orang-orang yang memang perlu dibantu,” ujarnya.
Membantu orang lain adalah pesan yang selalu terngiang di benaknya dari almarhum ayahnya, Bambang D Matoru, yang mengabdi sebagai polisi semasa hidup. ”Pesan ayah yang selalu saya ingat, kita tak punya uang, tetapi punya tenaga dan waktu untuk membantu orang lain,” ujarnya.
Meskipun jalan yang dilaluinya sepi, Cepi bahagia. Ia bahagia bertemu dengan banyak orang. Mereka menjadi anggota keluarga. ”Ketika ada anak atau orang dengan celah langit menjalani operasi, saya bahagia sekali. Mereka akhirnya bisa tersenyum dengan lebar, tidak lagi minder,” ujar perempuan kelahiran Palu, 20 September 1981, itu.
Cepi telah menunjukkan salah satu cara membantu sesama yang membutuhkan. Dia mengukir senyum manis dan lebar anak dengan bibir sumbing agar mereka termotivasi untuk tetap belajar mengejar impian, bersosialisasi, dan menjalani hidup secara layak.
Data diri
Nama: Selfina
Lahir : Palu, 20 September 1981
Pendidikan: Sarjana Strata 1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Tadulako, Palu
Suami: Mohammad Muhsen Saleh (35)
Pekerjaan: Pekerja sosial Smile Train Wilayah Sulteng